Yang namanya cinta kadang diatas kadang dibawah, semua orang tau itu. Sesempurna apapun kita mencintai, selalu ada ujian untuk pembuktiannya. Tidak sekedar omong kosong dan janji belaka. Terkadang, orang menganggap iba sebagai cinta, nafsu sebagai rindu. Banyak hal yang maknanya tidak berfungsi seharusnya.
Hari ini cinta memihakku, kuharap begitu. Seseorang terlintas begitu saja sejak bell istirahat berbunyi. Aku temui seorang siswa 2 tahun lebih muda dariku, yang belakangan ini menjadi tokoh utama di kisahku yang monoton ini. Sosok tinggi gagah, tatapan tajam memikat. Dan kulit hitam manis menjadi penambah keindahannya. Nama yang tertulis jelas di bajunya, tak pernah bosan kubaca. “Dewa, liat tugasmu dong, boleh ngga?” ucap perempuan teman sekelasnya.
Rasa panas dalam hati, saat seseorang menyebut namanya. Bukan cemburu, hanya gugup saja. “Ambil sendiri di tas” jawab dewa cuek. Matanya yang memandang kearahku sembari menggerakan kakinya bergantian. Tiap-tiap langkahnya menambah kecepatan detak jantung yang semakin keras pula suaranya. Sampai pada waktu kami berhadapan. Hal yang tak pernah kuduga dari seseorang yang dingin sepertinya. Dengan senyuman indah yang dia punya, ia mengusap kepalaku pelan. Dari sudut pandangnya saat ini, mungkin wajahku sudah merah seperti tomat. Pandangan iri terselimut jelas di sekitar kami. Tatapan sedih dari salah satu teman sekelasnya. Hanya tebakanku saja, kurasa perempuan yang berdiri di depan kelas 10 multimedia 3 itu menyukai Dewa.
Kami duduk di gazebo belakang ruang bahasa yang 3 hari belakangan ini menjadi tempat pertemuan ketika istirahat. Hanya perbincangan ringan dan mencoba mengenal lebih baik lagi. “Kamu, abis ini mapel apa?” Tanyaku gugup. Tidak seperti biasanya aku yang selalu banyak bicara, di depannya, entah mengapa. Menjaga image sebagai perempuan feminin itu penting. “Pemrograman dasar” Jawabnya santai. Suara lirih yang selalu menjadi sound favorit sejak awal mendengarnya. Candu, mungkin itu kata yang paling tepat. Aku mengangguk paham, setelahnya hening…
“Mau pulang bareng?” tawarnya menatap mataku. Seketika kupalingkan wajah menolak kontak mata dengannya, tak lama mengangguk mau.
Bel pulang sekolah berdering, serentak seluruh siswa keluar kelas menuju pintu gerbang. Kulihat perempuan yang tadi ingin berbicara dengan Dewa. “Kalo ngga salah namanya bela yah” Monologku lirih.
Mereka berjalan kedepan toilet yang memang tidak jauh dari kelas mereka. Buru buru aku memutar jalan menuju tangga tepat di bawah mereka. Naik sedikit lagi sampai pembicaraan mereka terdengar jelas. “Wa, jujur ya, aku itu udah suka sama kamu dari lama” Aku bela. Mataku membulat kaget. Memang belum lama ini aku mengenalnya, dan rumor tentang dia yang menyukai dewa… Ternyata benar. Pertama kali yang kurasakan adalah rasa bersalah. “Sejak kamu pulang nganterin aku, aku jadi kepikiran terus sama kamu”
Kusenderkan punggungku pada tembok pembatas tangga. “Kadang aku suka nangis kalo keinget sama kamu” Lanjut bela. Tanpa pikir panjang aku menuruni tangga menahan air mata yang bisa terjun kapan saja. Kuputuskan pulang lebih dulu.
15 menit berlalu, aku baru saja sampai di rumah. Kubuka ponselku, 5 panggilan tak terjawab dari Dewa dan pesan yang menanyakan keberadaanku. ‘maaf ya, aku pulang duluan’ balasku, tak lama telepon masuk menampakan nama Dewa. Awalnya ragu untuk kujawab tapi sungguh ku berharap mendapat kejelasan dari kejadian tadi. Setelah terangkat, tidak ada pembicaraan apapun sampai dia membuka suara. “Aku mau ngomong sesuatu” “Kenapa?” Jawabku “Kita temenan aja ya” Ucapnya. Dari nadanya tidak ada keraguan sama sekali. Ketika orang yang dulu kamu sukai datang kembali, wajar saja seperti ini. “Kenapa?” sautku mencoba membendung air mata yang sudah di ujung tanduk. “Aku mau fokus belajar, kamu juga harus fokus belajar kan udah kelas 12” “Yakin?” “Lanjutin hoby gambar kamu tuh” tambahnya
Seketika kumatikan telepon itu karna tak ingin tangisanku terdengar olehnya. Tangis tak bersuara yang begitu menyayat hati. Tak ingat waktu hingga akhirnya tertidur dalam kelelahan. Patah hati yang tak seharusnya terjadi secepat ini.
Satu minggu berlalu. Ku tau dia menyesali keputusannya. Ku tau dia masih mengharapkanku lagi. Ku tau dia merindukan sosokku. Akupun begitu, bahkan melebihi yang dia tau. Aku berangkat sekolah seperti biasa. Hanya saja, kali ini aku menghindari kontak mata dengan siapapun. Aku selalu berjalan nunduk dan menjauhi teman teman kelasku. Tidak seperti orang yang bisa menyembunyikan kesedihannya, aku justru bisa menangis dimana saja. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 10 menit lalu namun aku masih duduk di kelas sendiri.
Tak ada yang bisa kulakukan. Hanya melamun dan teringat sosok seorang kekasih yang kini sudah tidak dapat kusebut miliku lagi. Kutenggelamkan wajahku menatap meja. Ketika air mata yang sudah kesekian kalinya jatuh. Tiba tiba seseorang mengusap kepalaku. Sontak kulihat pemilik tangan itu. Sosok yang sangat ingin kupeluk. Namun dia yang menyebabkan luka ini. Seketika pikiran dan hati tak bisa selaras. Aku terpaku di depannya. Hanya menunduk tak berani menatap netra tajam itu.
“Aku mau balikan” cetusnya. Kepalaku mendongak dengan sendirinya. Untuk yang kesekian kalinya air mata ini terjatuh. Namun kali ini. Kebahagiaan yang kurasakan. Masih ada kesempatan.
Akhirnya pikiran dan hatiku selaras lagi. Kudekap dia dengan erat “Yaa” jawabku. Sejauh apapun dia pergi. Selama namaku dan namanya tertulis sejajar dalam takdir untuk bersama. Kuyakin dia akan kembali padaku.
Cerpen Karangan: Felisya instagram: @fzroase
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com