“Rek.. aku dimintai bantuan pak likku untuk dekorasi ultahnya si ambar bantu ya?” pinta Gilang kepada tiga sahabatnya, Andi, Budi, dan Johan. “Si Ambar..? yang adik kelas kita itu ya?” tanya Andi. “He eh. Keponakanku itu. Bantu ya.. nanti malam kita ke sana” Budi segera menyahut, “Waduh.. minta maaf nih. Aku gak bisa, nanti malam ngantar mbakku ke gereja”. “Kalau kamu, Jo?” tanya Gilang pada Johan. “Gampaang, boskuh.. Asal ada kopi sama terang bulan, beereesslah..”, kelakar Johan. Ketiga temannya tertawa mengiyakan.
Gilang, Andi, Budi dan Johan, berempat mereka adalah sahabat dekat. Sejak kelas X, XI, sampai sekarang kelas XII, mereka adalah penyeimbang kelas. Jika kelas mereka diam, berempat akan membuat kegaduhan. Jika kelas mereka terfavorit dalam akademik, berempat mereka adalah penghambat nilai rata-rata kelas. Jika teman kelas lain adalah para pemikir ulung, siswa dengan kemampuan intelektualitas di atas rata-rata, beberapa ahli dalam bidang Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lain, maka… berempat mereka adalah ahli bolos pelajaran, tukang lompat pagar, pembuat onar, “trouble maker”, paling rajin datang ke ruang BK, lengkap dengan keluhan wali kelas. Ya.. mereka berempat adalah aib, bagi kelas terfavorit di antara kelas lain.
Setelah magrib, Gilang bersama dua kawannya menuju rumah Ambar. Sesampai di sana, mereka disambut keluarga Ambar, yang rupanya telah menanti. Setelah basa-basi dan diskusi kecil perihal dekorasi ultah Ambar, mereka mendata kebutuhan barang yang diperlukan untuk mendekorasi. Tampak Andi yang paling banyak memberikan ide, diikuti anggukan setuju Gilang dan Ambar. Si Johan? Asik dia dengan seruputan kopi dan terang bulannya. Sesekali mengangguk, “Iyaaa…”, “Setujuuuu…”. “Bagus itu..”, agar tampak seperti ikut andil berpartisipasi. Haha..
Finish. Diskusi selesai. Dibagilah tugas masing-masing, Gilang dan Johan membersihkan ruang tamu yang akan dijadikan tempat utama untuk acara ulang tahun. Sementara Andi dan Ambar pergi mencari barang-barang untuk keperluan mendekor, seperti pita, balon, foam, pewarna, dan barang-barang lainnya.
Andi segera menghidupkan motor bebeknya. Sementara Ambar membonceng di jok belakang motor Andi dengan posisi miring. Mereka bergegas keluar, menyusuri kota pinggiran dengan sedikit gerimisnya. Dingin tapi tidak terlalu. Angin memang berhembus, tapi juga tidak terlalu. Bulan dan bintang, menampakkan sinarnya, tapi juga tidak terlalu terang. Seperti hubungan kedekatan Andi dan Ambar. Kenal, tapi tidak terlalu dekat. Tahu, tapi tidak terlalu tahu. Akrab, tapi juga tidak terlalu begitu lekat. Biasa saja..
“Mbar.. sudah punya pacar belum?” Andi membuka percakapan. “Kenapa?”, agak kesal Ambar menjawab. “Wuih.. ko ketus banget jawabnya?” “Maksudnya apa tanya-tanya itu. Kalau sudah kenapa? Kalau iya kenapa?” sungut Ambar. “Iya deh.. maaf.. maaf kalau tersinggung”. “Ya sudah, basa-basinya cari topik lain saja”. “Ok, ganti topik nih! Mbar, tahu gak? Di film-film horror, hantu yang menakutkan adalah zombie. Tapi.. menurutku ada yang lebih menakutkan lo.. dari Zombie?” “Nah. gitu dong. Ganti topiknya. Memang apa yang lebih menakutkan?” “Yang lebih menakutkan dari zombie… adalah… zooommmbbloo… hahahaha”. Andi mencoba melawak. Ambar yang dibonceng tampak tersenyum sinis, tapi kemudian terlihat senyumnya berubah manis. Guyonan yang sebenarnya tidak lucu. Garing. Hanya bikin boring. Namun, Ambar segera sadar, Andi tampaknya ingin mencairkan suasana dengannya. Apalagi dia sudah repot-repot mau bantu mendekor ultahnya.
“Haha.. berarti aku menakutkan ya, mas..?” “Hah! Masak kamu cantik-cantik jomblo sih Mbar.. memang perlu kaca mata rabun cinta tuh cowok-cowok di sekolah kita”, Andi cengengesan menanggapi. “Halah! Gombal! Mas Andi memang tukang gombal”. “Mbar.. meski gombal, tapi gombal tetap kain! Ada perbandingan kejujuran di setiap gombalan, meski sedikit sih..” “Huh! memang berapa perbandingannya, mas?” selidik Ambar. “Kejujuran 2,5%, sisanya adalah kebohongan! Haha..” “Ko seperti ukuran zakat saja mas..?” “La iya, Mbar! Jatah itu sudah standar takarannya. Cukup untuk diberikan kepada kaum dhuafa pemuja cinta” “Lebay mas!”
“Haha.. Ganti tuh sikap kamu, Mbar. Kamu si anaknya judes, galak, cerewet lagi” “Loh.. ko mas Andi tahu? Kalau aku judes. Kelas kita kan beda, mas Andi kelas 12 aku kelas 11, sok tahu nih..” “Yaaa..tau dong. Aku kan sering bolos pelajaran ke kantin atau kamar mandi. Nah.. pas nglewati kelasmu itu, aku sering liat gaya judes kamu. Hiii… seereemm…” “Lah! berarti mas Andi sering liatin aku ya. Wiiddih… perhatian banget sih? Jadi ge er. Nanti mbak Ana cemburu lo..”. Andi terkena skakmat, “Ehh.. iya yaa.. ko aku tahu ya? Berarti aku perhatian banget ya, sama kamu. Haha.. Tapi kok kamu tahu kalau Ana pacarku?” “Mas gilang besprenmu itu yang cerita” “Waduh.. matikan pasaran anak itu! Ember bener mulutnya! Ehmm.. Mbar, biasanya di acara ulang tahun kan ada acara nyerahin potongan kue spesial tuh, la.. kalau kamu jomblo kuenya mau kamu kasihkan siapa?” “Halah.. norak!!Gak pakai gitu-gituan. Kuenya nanti tak makan sendiri”, dengus Ambar sambil mencubit pinggang Andi. “Ooalah.. Mbar.. Mbar! Kamu itu lo, meski anaknya galak, tomboy.. tapi temanmu kan banyak, kamu juga aktif di ekskul, apa gak buka lowongan untuk mengisi hatimu, hahahaha” goda Andi. “Maaleesss!!! Memang aku cewek apaan mas? Ko mesti dipromosikan! Sebenarnya banyak yang antri mas, tapi sekarang kan masih sekolah gak boleh pacaran. Dosa!! Maksiat!!” Ambar semakin kesal. Cubitannya semakin kencang di pinggang Andi. Percakapan asik di atas sepeda motor terhenti, karena mereka berdua sudah sampai di tempat yang dituju. Ambar dan Andi lalu sibuk mencari barang-barang yang diperlukan.
“Mas Andi, nanti sebelum pulang, makan bakso dulu ya..Ambar belum makan, tadi di rumah lauknya gak sesuai selera” “Ok! tapi kamu yang bayarin ya. Bokek nih.. maklum anak kos. Beberapa hari ini saja aku numpang nginap di Gilang, supaya dapat makan gratis, hahaa..”
Setelah selesai membeli barang, Ambar dan Andi meluncur mencari warung bakso. Rintik hujan kecil-kecil masih saja turun. Gerimis. Dingin-dingin, makan bakso ditemani cewek cantik, waahh.. paket komplit nih, pikir Andi. Ketika asik menikmati bakso, Ambar tersedak sambal. buru-buru Andi sigap mengambil teh hangat dan menyodorkannya sambil menepuk-nepuk punggung Ambar. “Ahhh… makasih mas. Sudah lega” Andi tersenyum, tepukan di punggung Ambar tidak dihentikan, malah semakin dikeraskan.
“Sudah mas.. sudah! aku sudah tidak tersedak lagi” “Oooh.. iya.. iya. Tadi tepukan untuk hilangkan sedaknya, kalau ini tepukan hukuman. Mbar..” “Hah! hukuman? Untuk apa? Wong aku tidak salah ko. yang salah tu sambalnya, pedas kok gak bilang-bilang”. “Haha.. Mbar.. ambar. asik juga kamu ternyata. Namanya sambal ya pedas, kalau manis itu ya kamu…” “Gooombaalll… lagi. Pantess, mbak Ana cinta banget, La digombali terus sama mas Andi” “Yang penting laku, mbar! Timbang kamu? cantik tapi jomblo. Aib besar tuh..” Mereka terus saja bercanda. tanpa tahu, Gilang dan Johan telah lama selesai dengan tugasnya.
“Mbar.. serius nih. Aku mau bilang sama kamu soal hukuman tadi. Jadi gini, bukan sok wise nih.. aku cuma mau ngingetin saja. Masakan yang disajikan di rumah, sesuai gak sesuai, dinikmati saja Mbar! Jangan lihat masakannya, tapi lihat siapa yang memasak, oke?”. Ambar hampir saja tersedak dua kali. Pentol yang tinggal separo jatuh dari mulutnya, karena mencermati kalimat yang baru saja dia dengar. Sejenak ambar menghela napas. “Widiiih.. selain jago gombal, mas Andi jago juga nih bikin quote”. Andi terkekeh sambil mengambil dan memakan separo pentol yang Ambar jatuhkan di piringnya. “Iiiih.. joroookkkk” “Biarin.. yang penting kenyang!!”
Keakraban hangat diantara keduanya. kedekatan yang selama ini tidak pernah terlihat. Ketika di sekolah, Ambar dengan teman-temannya sementara Andi yang juga asik dengan habitatnya. Cerita-cerita tentang Ambar, Andi hanya mendengar dari Gilang. Kalaupun ketemu dengan Ambar di sekolahan, jarang mereka ngobrol. Yang ada hanya saling berpandangan sebentar, mendekat lalu saling mengolok. Itu saja tanpa ada cerita ataupun rasa yang berkesan.
Malam ini kedekatan mereka tersemai tumbuh. Dengan pentol bakso sebagai saksinya. Ambar dan Andi merasa nyaman saat dekat, dengan keseruan yang ditunjukkan. Tawa mereka renyah sekali. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa ada jaim ataupun pencitraan. Kedekatan yang hangat, menampar tipis-tipis gerimis yang turun. Memang, yang tidak terlalu, hanya biasa-biasa saja, justru bisa menimbulkan efek yang luar biasa. Hanya saja, mereka belum menyadarinya. Entah lusa, besok, atau esok nanti.
Sesampainya di rumah Ambar, Andi kena marah Gilang dan Johan, karena sudah terlalu lama keluar. Andi diam saja, tanpa memberitahu dua sahabatnya, kalau mampir sebentar, untuk makan bakso dengan Ambar. “Waahh.. bisa ramai ini di kelas kalau mereka berdua tahu. Ana, kalau dengar pasti marah cemburu nih..” pikir Andi.
Ambar setelah meletakkan barang-barang bawaan, bergegas menuju ruang makan dan menyantap menu yang telah disediakan ibunya. Andi dari balik tirai ruang tamu tersenyum. ia kagum, meski sudah kenyang, rupanya Ambar ingin melegakan ibunya yang telah memasak.
Ambar yang tahu diintip, segera melirik, sambil mengelus-elus perutnya, mengacungkan telunjuknya ke Andi sambil memonyongkan mulutnya, seolah ingin berkata, “Ini lo mas.. aku sudah makan masakan ibu, meski sudah kenyang bakso” Andi tersenyum dan dibalas senyum manis oleh Ambar. Momen yang luar biasa!
Cerpen Karangan: Anang Zunaidi Blog / Facebook: Anang Zunaidi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com