Kalaava L. Minara adalah seni suara istimewa yang memikat hati orang-orang yang mendengarnya. Tak terkecuali dia, sang pedang api putih. Sedangkan, Brama C. Dwala adalah pedang api putih, sang pelindung. Pedang api yang akan menjadi pelindung Kalaava, agar Kalaava dapat terus bernyanyi tanpa merasa terganggu. – Da Azure –
—
Aku hanya tahu namanya. Aku tak tahu orangnya seperti apa, wajahnya bagaimana, apa dia punya lesung pipi atau tidak, apa dia punya senyum bulan sabit yang manis atau tidak.
Hari itu, terhitung lima bulan aku bekerja menjadi kasir di sebuah kafe dekat sekolahku. Aku bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maklum anak yang jauh dari orangtua dan memilih menuntut ilmu di kota lain.
Awal pertama, aku merasa biasa saja saat memanggil namanya. Walau namanya khas laki-laki sekali, yang selalu mengambil minuman pesanannya adalah perempuan.
Seperti saat ini … “Brama C. Dwala.” Aku memegang gelas berisi milkshake rasa cappucino itu. Membacakan nama yang tertera di gelas. Tak lama dua orang perempuan, mendatangi meja kasir. Aku menyerahkan gelas itu sembari tersenyum di balik masker biru yang kupakai. Dua perempuan itu ikutan tersenyum, salah satu dari mereka mengucapkan kata terima kasih. Lalu keluar dari kafe.
“Namanya lagi?” Suara dari belakangku membuatku menoleh. Seorang perempuan melipat tangan di dada, memandangku dengan alis yang dinaikkan. Aku mengangguk. “Gue jadi curiga deh Kak, jangan-jangan dia cewek. Atau mungkin–ADOH …” Aku tak melanjutkan kalimatku karena Kak Jingga, -nama barista perempuan itu- memukul bahuku lumayan keras. “Apa sih Kak?” Sungutku kesal sembari mengelus bahuku yang terkena pukulannya. Kak Jingga menuding wajahku. “Jangan ngada-ngada. Ntar kalo beneran nanges.” Ejeknya kemudian. Aku jadi mendengus sebal. Kan itu cuma pemikiranku saja. Toh, aku kan tidak koar-koar di depan kafe kalau pelanggan yang selalu memesan milkshake cappucino itu cewek, cuma namanya saja yang laki banget.
“Nih, udah jadi.” Kak Jingga menyodorkan kopi buatannya padaku. Aku menatapnya tak mengerti. “Hah?” Gantian Kak Jingga yang mendengus sebal. “Buat lo. Gue tau lo lagi sakit.” Walau heran, aku menerima kopi itu. Meminumnya setelah duduk di lantai. Bersender pada meja kasir. Ternyata kopi putih alias white coffe. “Heh, lo ngapain duduk di lantai?” Kak Jingga melotot, aku melempar senyum polos saja. “Ntar makin sakit. Disitu dingin.” Ujar Kak Jingga. Aku menaikkan maskerku kembali agar menutupi wajahku. “Gapapa. Enak.” “Dibilangin. Gue ga bakal mau nih buatin lo white coffe lagi.” Ancam Kak Jingga. Aku sontak menggeleng tak terima. Soalnya, racikan kopi Kak Jingga enak. Kak Jingga selalu membuatkanku white coffe tiap hari Selasa dan Jumat. Kenapa dua hari? Soalnya aku jarang minum kopi. “Iya Kak. Udah berdiri nih.” Aku pasrah saja. Namun, saat aku baru satu detik berdiri tegak, kakiku tak kuat menahan bobot tubuhku sendiri. Ditambah dengan pandangan yang tiba-tiba berputar-putar membuatku pusing dan mual. Yang kudengar terakhir kali, adalah suara Kak Jingga yang meneriakkan namaku. Aku pingsan.
—
Aroma kayu putih membuatku membuka mata. Aku memegang dahiku yang ternyata terasa panas. Ada sesuatu yang menempel di sana. Aku demam? Memindai sesekitar, aku tersadar ada di sebuah kamar. Ini bukan kamarku. Kamarku berwarna coklat Milo, bukan warna coklat hitam begini. Aku di mana?
“Masih pusing?” Pintu kamar yang kutempati terbuka, lalu munculah Kak Jingga yang tangannya memegang nampan. “Mual ga?” Tanyanya lagi. Aku hanya menggelengkan kepala. Kak Jingga menaruh nampan itu di meja sebelah ranjang. Menatapku lekat. “Kenapa ga bilang kalo semalem kamu kehujanan?” “Eng, itu anu …” Aku tergagap. Bingung mau menjawab apa. Dari mana Kak Jingga mengetahui kalau aku kehujanan saat pulang dari kafe?
“Jawab jujur Kala.”
Hampir dua tahun aku mengenal Kak Jingga, aku menyadari jika dia marah saat ini. Terbukti dari kosa kata yang Kak Jingga pakai. Aku meringis takut. “M-maaf, kemarin Kakak kan kerja kelompok ngerjain tugas kuliah. Aku takut ganggu. T-terus hpku juga low bat.” Aku menundukkan kepala, merasa bersalah. “Akhirnya aku milih nerobos hujan aja daripada nunggu hujan reda.” Ujarku mengakhiri penjelasan. “Kalo Kakak ga dikasih tahu sama Pak Bos, Kakak juga ga bakal tahu. Kakak minta maaf ga jemput kamu, padahal Kakak bawa mobil.” Kak Jingga menghela napas. Perempuan itu mengelus puncuk kepalaku pelan.
“Pak Bos siapa?” Tanyaku heran. “Yang punya kafe tempat kita kerja?” Kak Jingga mengangguk. “Iya. Kamu makan dulu. Udah malem gini.” Kak Jingga menyalakan ponselku, memperlihatkan jam yang tertera di sana. Aku ternganga, berapa lama aku pingsan? “Duduk. Kakak suapin.” Memilih untuk menurut sebab badanku masih lemas, aku membuka mulut, menerima suapan dari Kak Jingga. Bubur ayam.
“Udah Kak. Aku mual.” Aku menutup mulut saat suapan ke lima. Menggelengkan kepala. Uh, coba saja kalau aku tak sakit, pasti sudah kuhabiskan. Bubur ayam itu makanan favoritku. “Minum obat dulu.” Dengan telaten, Kak Jingga memberiku minum. Menyodorkan obat berbentuk sirup. Sirup rasa jeruk. Aku jadi merasa seperti adik kecilnya jika diperlakukan seperti ini.
“Kak, ini di mana?” Diriku tak bisa menahan rasa penasaran. “Kafe?” Kak Jingga mengangguk. “Kita di lantai dua.” Eh? Satu tahun lebih bekerja di sini, aku baru tahu ada kamar yang jujur saja, terasa nyaman untuk diriku. Padahal ini bukan kamarku. “Ga usah dipikirin. Tidur Kala.” Kak Jingga membaringkan paksa tubuhku. Menyelimutiku dengan selimut tebal berwarna abu-abu. Entah karena efek tepukan pelan di kepalaku atau karena efek obat yang aku minum, aku mulai merasa mengantuk. Namun, aku masih bisa mendengar langkah kaki yang memasuki kamar, disambung sebuah percakapan.
“Kalaava demam?” “Kehujanan. Kenapa kamu ga nganterin dia waktu itu sih Sa?” “…” Sa? Siapa dia? Aku tak bisa berpikir, rasa kantukku membawaku tenggelam di alam mimpi.
—
Satu bulan semenjak kejadian aku pingsan, satu bulan pula aku tak lagi mendapati namanya di gelas milkshake. Merasa kehilangan? Sedikit. Aku jadi tak semangat bekerja. Aku ini, kenapa?
“Kalaava L. Minara woii …” Aku hampir terjungkal dari kursi tempatku duduk akibat tepukan tiba-tiba dari arah belakang. “Apa dah Kak?!” Sewotku pada sang pelaku, Kak Jingga. Perempuan itu berdecak. “Galau ya Kal?” “Engga!!” “Lah kok ngegas?” “Udah sih Kak, jangan gangguin aku mulu.” Aku menggerutu. Kak Jingga malah tertawa, menepuk-nepuk kepalaku. Btw, perempuan itu posisinya berdiri sedangkan aku masih ada di posisi duduk.
“Kamu itu adalah seni suara, Kalaava.” Hah? Maksudnya? “Seni suara istimewa yang memikat hati orang-orang yang mendengarnya. Tak terkecuali dia. Sedangkan, dia adalah pedang api putih. Pedang api yang akan menjadi pelindung kamu, agar kamu dapat terus bernyanyi tanpa sedikitpun merasa terganggu.” Kak Jingga menatapku sembari mengulas senyumnya. “Dia telah menaruh hati padamu, Kalaava. Sang pedang api putih telah lama mengagumi dirimu.”
“Pedang api putih itu siapa?” Aku bertanya pelan, hampir berbisik pada Kak Jingga yang kini menatap senja. “Pedang api putih itu seseorang yang namanya kamu ketahui, namun orangnya tak pernah menampakkan diri.”
Apakah dia …
Bersambung
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da Dapat ditemui di Wattpad Akun pribadi: @Daa_zure Akun bersama bestie: @Filila_3
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com