“Jam pertama nanti apa?” tanya Johan kepada Gilang. “Lupa!”, jawab Gilang sekenanya. “Ee.. dasar tidak niat sekolah anak ini! Masak jadwal pelajaran gak hapal?” “Lah.. kamu sendiri?” “O.. iya.. ya. Eh.. Ndi, ingat gak nanti jadwal jam pertama?” “Olahraga.. sampai jam ketiga, setelah itu Fisika, Bahasa Indonesia, terus pulang”, jawab Andi, sambil mencopot spion sepeda motornya. “Anak pinter.. Gitu lo sekolah, Lang.. Cari pacar yang pinter, biar pinternya nular seperti Andi tuh.. Haha” Johan, Gilang, dan Andi berkelakar, sambil menunggu Budi.
Mereka berempat selalu bersama. Datang terlambat bersama, bolos bareng-bareng, satu kena kasus kena semua. Mungkin itulah yang dinamakan masa-masa solidaritas. Sebuah kebersamaan masa muda yang epik. Yang suatu saat nanti pantas untuk dikenang, lebih dari sekedar nilai yang tertera di rapor atau ijazah. Cerita kenakalan, kebandelan, urakan yang tak kan bisa terulang lagi nanti. Masa putih abu-abu memanglah masa yang menyenangkan, penuh petualangan, dan masa di mana tidak ada kekhawatiran akan masa depan. Kecemasan beban hidup yang terlupakan. The Golden Era.
Tidak berapa lama tampak Budi sudah datang dengan motor 2-tak nya. Berisik sekali. Suara yang melengking, diselingi asap knalpot yang menyengat dari oli samping eceran.
“Yo.. berangkat! Sudah jam tujuh lewat lima menit. Sudah telah, pasti kena hukum Pak Slamet”, Budi yang baru tiba, menyapa ketiga temannya. “Santaaaiii.. dimarahi ya didengarkan, dihukum ya dirasakan” Johan menjawab santai.
Mereka berempat pun berangkat menuju gerbang sekolah. Tembok yang mewadahi bagi kaum-kaum yang dianggap terpelajar. Meski beberapa anak, menganggapnya sebagai tembok ratapan. Suasana terlihat sudah sepi. Gerbang sudah ditutup. Pak satpam dan guru tatib bersiap menunggu para siswa pemberontak kedisiplinan. Mata Pak Slamet sedikit terbuka lebar melihat kedatangan empat kawanan yang baru tiba. Disemprotnya mereka dengan kata-kata tentang arti disiplin dan bangun pagi. Setelah sepeda motor diparkirkan, berempat mereka dihukum berdiri selama 15 menit.
Andi berbisik kepada Johan, “Jo.. aku punya rencana sore nanti?” Johan yang berdiri di samping Andi menjawab juga dengan berbisik, “Tentang apa, Ndi?” “Pintu gerbang!” Gilang dan Budi yang mendengar bisikan Andi ikut mengangguk. “Aku ikut!”, Gilang menyahut. “Idem!”, Budi tidak ketinggalan.
Hukuman telah selesai. Berempat segera menuju meja tempat guru piket. Selesai menulis lembaran surat izin masuk, mereka bergegas menuju kelas. Melihat Andi yang baru saja datang, raut muka Ana segera berubah kecut. Didekati Andi yang baru saja meletakkan tas di kursi.
“Bisa gak sih datang tepat waktu!” Andi yang kaget tidak melihat Ana yang mendekat jadi gugup. “Eh.. maaf.. maaf.. kelamaan Tahajud sampai kepagian terus ketiduran” “Alasan!!” Ana melanjutkan dengan rentetan nasihat yang begitu panjang. Andi hanya pasrah, diam dan memasang ekspresi mendengarkan. Demi untuk menyenangkan pacarnya, Ana. Sementara tiga sahabatnya yang melihat Andi yang seperti anak kecil sedang dimarahi ibunya, cengingisan menertawakan. Gilang dengan tanggap mendekati mereka berdua, untuk melerai.
“Maaf.. Bu Ana.. maaf.. Andi enggak salah. Tadi telat karena nunggu aku, yang bangun kesiangan”. Ana melihat ke arah Gilang. Kemudian kembali memfokuskan melihat wajah Andi, yang tampak memelas. “Ya sudah.. cepat ganti baju olahraga. Sekarang jamnya olahraga, kita disuruh berkumpul di lapangan untuk pemanasan”. Ana segera berlalu, bergabung dengan teman-teman ceweknya. Andi mengelus dadanya. “Selamat.. selamat… Trims, ya Lang.. Gak ada kamu, wahhh… ceramahnya bisa lebih panjang lagi tuh”. Johan yang sedari tadi cengengesan, mendekat dan mengelus kepala Andi. “Itu dilakukan karena Ana sayang, Ndi.. Kamunya saja yang bandel. Susah diatur. Jadi, anak tuh mbok ya yang rajin gitu loh, seperti aku..” Ketiga temannya bareng-bareng mendorong kepala Johan, yang berlaku sok bijak tapi bukan pada tempat yang tepat. “Eh.. aku gak bawa baju olahraga nih. Bolos ke kantin, yuk..”, ajak Budi. “Aku dan Gilang bawa. Johan tuh yang gak bawa. Gimana? Bolos atau ikut pelajaran”, Andi menanggapi. “Sudaah… bolos pelajaran lagi saja. Tadi sudah dimarahi, nanti kalau ikut pelajaran, pasti dimarahi lagi, karena gak bawa kostum olahraga. Kantin saja wess…”, Johan mengompori kedua temannya.
Andi bimbang. Baru saja Ana memarahinya karena datang terlambat. Jika bolos pelajaran olahraga, wahh.. marahnya pasti damage tuh. Andi melirik Gilang yang tampak juga bimbang. Namun, akhirnya mereka berempat memutuskan untuk tidak ikut pelajaran olahraga dan pergi ke kantin.
Melewati kantin, harus melewati kelas Ambar, adik keponakannya Gilang. Andi sengaja memperlambat langkah kakinya. Sementara ketiga temannya sudah jauh di depan menuju kantin. Suasana kelas Ambar tampak tenang. Ibu guru Kimia sedang asik menjelaskan. Andi yang di luar kelas mencoba mencari-cari tempat duduk Ambar. Ketemu!
Dilihatnya Ambar sedang serius mendengarkan. Sambil sesekali menuliskan catatan-catatan penting di bukunya. Entah.. memang sudah takdir atau memang karena ada chemistry. Ambar merasa ada yang memperhatikannya di luar kelas. Ia segera memutar kepala dan mencari seseorang yang berada di luar mengawasinya. Dilihatnya Andi sedang senyum-senyum sendiri. Bibirnya mencoba merangkai kata-kata untuk Ambar. Dibentuknya bibir sedemikian rupa, bermaksud Ambar mengerti apa yang ia ucapkan, meski tidak terdengar.
“Joommblooo…” dengan pelan Andi mengulanginya beberapa kali menuju tatapan Ambar. Ambar yang memahami arti dari bentukan bibir Andi, memasang senyum sinis. Tangannya dikepalkan ke arah Andi, sambil membuat sesuatu kalimat dari bibirnya, “Awasss yaa…!”
Andi yang senang karena mendapatkan respon, bersiap untuk membalasnya. Kali ini Andi menunjukkan telunjuknya sebagai tanda angka satu, diteruskan memberikan kode angka tujuh dari jari-jarinya. Kemudian ia menangkupkan kedua tangannya ke arah Ambar. “Selamat ulang tahun ke-17, ya…” begitulah kira-kira makna dari gesturenya. Ambar tersenyum simpul. Memberikan dua jempolnya ke arah Andi. Ibu guru Kimia melihat gelagat Ambar yang tidak memperhatikan penjelasannya, berteriak menegurnya. “Ambar..!! Apa yang kamu lakukan?!” Ambar kaget. Ia merasa malu. Karena ketahuan tidak memperhatikan pelajaran. Sementara semua teman kelasnya, menatap ke arahnya. Seperti seorang terdakwa yang terbukti melakukan kejahatan. Andi dari luar tertawa, kemudian berlalu untuk menyusul ketiga temannya yang sudah menunggu di kantin.
Selang beberapa lama. Ketika keempat sahabat sedang asik menikmati nasi pecel dan teh hangat di kantin. Tampak Vita, teman sebangku Ana tergopoh mendekati. “Ndi.. Andi.. Ana di UKS. Ana sakit. Kamu disuruh kesana”, Vita memberikan informasi. Andi sontak berdiri dan berlari menuju UKS. Disana dilihatnya Ana terbaring sambil memegangi perutnya. Wajahnya pucat, badannya lemas. “Kamu kenapa, An?” tanya Andi sambil duduk di kursi samping ranjang UKS. “Perutku sakit. Nyeri.. Efek dari menstruasi”, Ana menjawab lirih.
Andi bangkit menuju kantin. Ia memesan segelas teh hangat. Beranjak lagi menuju koperasi sekolah. Ia membeli obat untuk nyeri haid, yang memang disediakan sekolah. “Ini An.. Teh angetnya diminum.. Ini juga obat pereda nyeri haidnya”, sembari Andi memberikannya kepada Ana yang tergolek lemas.
Setelah meminum obat nyeri dan teh hangat, tampak wajah Ana berangsur pulih. Ana menatap Andi yang sedang mengelus rambutnya. Dipegangnya tangan Andi, sambil berkata “Sudah telat! Bolos pelajaran lagi!!” Andi kaget, ia mengira akan meluncur kata-kata mesra. Ia keliru. “Sudaah.. marah dan ceramahnya ditunda saja dulu. Yang penting kamu baikan. Nanti, ceramahnya bisa dilanjutkan lagi. Aku siap mendengarnya, An..” Ana terdiam. Ia kembali menatap Andi. Ana bertanya-tanya dalam hati. “Apa aku sudah keterlaluan? Selalu saja memarahi Andi. Ia tidak pernah membalas kemarahanku”.
“Ndi… kamu marah ya..?” Ana bertanya. “Ah.. tidak! Aku memang pantas kamu marahi, An. Akunya saja yang nakal. Maafkan aku ya, An… Aku pikir kamu malu punya pacar seperti aku”. Ana tersenyum. Ia tidak malu punya cowok seperti Andi. Memang urakan, sering bikin kegaduhan. Tapi, Ana tahu.. Andi sebenarnya anak yang baik. Ana tahu, Andi sebenarnya punya potensi. Mereka cukup lama berpandangan, saling menatap untuk saling memahami. Jika bukan UKS, mungkin saja mereka berpelukan. Ah.. satu lagi cerita masa putih abu-abu yang berkesan, selain persahabatan, yaitu “cinta SMA”.
Bel berbunyi. Tanda pelajaran telah usai. Andi bergegas menjemput Ana yang masih berada di UKS. Andi meminta izin kepada tiga temannya, untuk mengantar pulang Ana terlebih dahulu. Tanpa disadari, ada sebuah mata yang menyimpan rasa iri, melihat Andi membonceng Ana. Andi tidak menyadari, sepasang mata itu mengawasi seperti memendam sesuatu.
Andi telah tiba di rumah Gilang. Rumah Gilang sebagai pusat, titik kumpul. Markas bagi keempat sahabat. Mereka sedang asik bercanda sambil menyeduh kopi. Menikmati alunan musik band Padi kesenangan Andi. Belum sampai selesai, giliran Gilang menggantinya dengan Gigi. Menyisakan, satu menit selesai, Johan sudah ikut mengganti, giliran band Slank memainkan bluesnya. Selesai, Budi penikmat Iwan Fals memilih lagu “Ibu” di playlist komputernya Gilang. Barulah.. mereka bertiga selesai bertikai. Mereka diam menikmati, sambil sesekali ikut menirukan liriknya.
“Loh… sudah setengah tiga. Jadi gak kita ke pesta ultahnya Ambar?”, Andi berteriak, setelah mengetahui waktu dari jam dinding yang terpasang di tembok kamarnya Gilang. “Eh.. aku tidak bisa, Ndi.. Bapakku ingin aku menemaninya mancing”, Budi menyatakan ketidaksanggupannya. “Sama, Ndi.. aku juga tidak bisa. Aku terlanjur janju mengantar adik sama ibu beli mainan”, Johan juga ternyata tidak bisa. “Kalau kamu, Lang..? Ambar kan keponakanmu, kamu bisa ke sana sekarang?”, tanya Andi dengan wajah sedikit kecewa. Berharap ada yang mau menemaninya pergi ke sana. “Waduuh.. maaf, ni Ndi.. Aku sama dengan Budi dan Johan, tidak bisa ke sana. Ada acara selamatan di Saudaranya Bapak”, ternyata Gilang juga tidak bisa.
Andi kecewa. Ketiga sahabatnya menyatakan ketidakbisaannya untuk menghadiri pesta ulang tahun Ambar. Andi ingin sekali pergi ke sana. Tapi, ia malu. Tentu yang diundang adalah teman-teman sekelas Ambar, yang jelas Andi tidak begitu mengenalnya. Andi juga berusaha menutupi diri. Ia memendam. Takut ketahuan ketiga temannya, bahwa ia memendam rasa dengan Ambar.
Sementara, di pesta ulang tahun, sebuah paradoks terjadi. Kemeriahan pesta, dengan sedikit hura-hura. Berseling canda-tawa yang renyah dalam suasana. Ada hati yang kecewa, menunggu. Antara haru, sedih, dan bahagia. Bercampur aduk dalam hati Ambar yang entah bagaimana melukiskannya. Kekecewaan ketidakdatangan seseorang, beradu dengan kegembiraan sweet seventeen lewat sebuah perayaan. Jika ada seorang narrator atau pelukis untuk menggambarkannya secara abstrak, tentu akan menjadi karya seni perasaan yang luar biasa.
Cerpen Karangan: Anang Zunaidi Blog / Facebook: Anang Zunaidi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com