“Arsyan!” Dinda memanggil Arsyan sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Arsyan memutar bola matanya malas. “Apaan, sih? Ganggu banget dari tadi manggil mulu.” Sentak Arsyan sambil melotot ke arah Dinda yang cemberut. “Jahat banget sih. Tungguin dong aku kan pengen pulang sama kamu.” “Idih.. ogah. Emangnya gue sopir lo?” tunjuk Arsyan pada Dinda dengan tatapan mencibir. Dinda menekuk wajah dengan bibirnya melengkung ke bawah. “Aku bilang Bang Dinar baru tau rasa kamu!” “Terserah lo. Gue nggak peduli.” Bang Dinar adalah kakak tertua Arsyan juga sahabat dari Rama, kakak tertua Dinda.
Dinda berbalik arah meninggalkan Arsyan yang berlalu menuju tempat parkir kampus. Dengan air mata membasahi pipi, Dinda mengadukan apa yang dilakukan Arsyan kepada Bang Dinar. Kalau sudah begitu, Dinda tau Arsyan tidak akan bisa berkutik. Bang Dinar seperti bukan kakak kandung Arsyan ketika sudah membela Dinda habis-habisan. Kadang Arsyan merasa aneh, apakah benar dia adalah adik kandungnya? Meskipun konyol, pertanyaan itu sering muncul ketika sang Abang selalu memarahinya hanya gara-gara Dinda mengadu.
“Kamu perihal anterin Dinda pulang susah banget sih, Dek?” Bang Dinar duduk sambil membaca koran dan langsung melayangkan pertanyaan yang sukses membuat Arsyan jengkel. Gara-gara si Dinda, umpatnya dalam hati. “Aku ada urusan tadi.” “Kata Dinda kamu males!” ‘Bener-bener tuh anak!’ Arsyan mengusap wajahnya frustrasi. “Oke. Aku emang males. Trus Abang mau apa?” Bang Dinar menyimpan korannya dengan sedikit menghentak, kemudian menghampiri adiknya yang menyampirkan tas ranselnya di bahu kanan. “Perihal nganter doang kamu males banget. Rumah kalian searah, Arsyan. Apa susahnya, sih?” Bang Dinar berkacak pinggang dengan dada naik turun karena nada bicaranya sudah meninggi. “Kalau gitu Abang aja yang anter jemput dia. Beres kan? Lagian dia siapa sih, adik bukan saudara juga bukan? Enak banget minta anter jemput. Aku juga punya urusan yang nggak bisa ditinggal. Jangan egois dong, Bang.” Arsyan membalas kakaknya tak kalah emosi. Dua-duanya kini saling menatap tajam. Dinda selalu menjadi bahan pertengkaran antara ia dan Abangnya. Arsyan sampai tidak habis pikir.
Dinar memijat pelipisnya karena pusing. “Bisa nggak lain kali kamu iya-in aja kalau Dinda minta antar pulang?” “Nggak. Males. Dia selalu nyusahin!” ucap Arsyan meninggalkan Abangnya yang seketika berteriak lantang. “ARSYANNNN!”
Pertengkaran dengan Bang Dinar kemarin sore berhasil membuat kebencian Arsyan pada Dinda semakin menumpuk. Ia kira Dinda adalah sumber masalah. Hampir setiap Arsyan tak mengantar Dinda pulang, maka pertengkaran itu tak bisa dihindari.
Pagi menjelang siang ini, Arsyan mencari Dinda di kampus. Ke perpustakaan, ke kelas, hingga kamar mandi tak ia temukan. Hingga pada saat bertemu Edo, teman satu UKM dengan Dinda, baru Arsyan mendapat jawaban kalau Dinda sedang berada di kantin.
“Dinda, gue mau ngomong.” Dinda tersentak, tapi buru-buru ia mengangguk. “Ada apa? Mau ngajak pulang bareng?” “PD banget!” Arsyan mencibir. Dinda langsung menunjukan muka cemberutnya.
“Gue mau minta sama lo, mulai hari ini sampai seterusnya lo jangan pernah ganggu gue. Gue capek tiap pulang kuliah lo ngerengek minta anter pulang. Lo tau nggak kemarin sore gue lagi-lagi berantem sama Bang Dinar gaga-gara lo. Gue pengen bebas, Dinda. Nggak melulu nganterin lo saban hari.” Peringat Arsyan panjang lebar dengan satu tarikan nafas.
Dinda membeku. Tak mampu membalas apa yang barusan Arsyan sampaikan. Lidahnya kelu, hatinya begitu sakit, tenggorokannya tercekat. Hingga wajahnya memanas, ia yakin kalau bulir bening di sudut matanya ingin cepat meluncur. Namun sekuat tenaga Dinda tahan.
“Lo ngerti kan maksud gue, Dinda?” Dinda mengangguk paham. Ia tak bisa berkata-kata lagi. “Good.” Army melenggang pergi ke kelas. Hatinya lega, bebannya terasa hilang karena rengekan Dinda yang setiap hari meminta anter pulang sudah tak akan ia dengar lagi.
Empat hari berlalu Dinda sedikit terbiasa. Dari ucapan Arsyan tempo hari membuat Dinda berubah lebih berani. Benar kata Arsyan, Dinda tak seharusnya mengandalkan dirinya untuk sekedar melindungi. Satu hari setelah ia tak diantar Arsyan, Dinda diserempet motor. Sikunya berdarah hingga harus dijahit. Kakinya pun terluka dengan cukup dalam di betis bagian depan. Bagian yang terluka diperban hingga empat hari ini lukanya benar-benar belum sembuh.
Dinda dan Arsyan bertemu ketika mereka hendak ke kantin. Sejenak mereka saling tatap. Mata Arsyan tak sengaja melihat ke arah siku juga betis yang berbalut perban. Seketika hati Arsyan mencelos. Dilihatnya Dinda hari ini lebih diam dari sebelumnya. Namun akan ceria jika bersama dengan teman-temannya.
Dinda yang selalu merengek tak peduli di depan mahasiswa lain yang selalu membuat Arsyan malu, sekarang tidak ada lagi. Dari ucapan Arsyan tempo hari benar-benar mengubah Dinda menjadi pendiam. Dinda yang lebih dulu memalingkan muka dan mengubah arahnya menjadi ke ruang perpustakaan. Yang menjadi bingungnya, kenapa hati Arsyan sedikit tidak terima diperlakukan seperti itu.
Pagi ini Bang Dinar mengajak Dinda sarapan bubur di alun-alun kota. Wajah Bang Dinar mengerut ketika kain perban membalut bagian tubuh Dinda yang terluka. Ketika ditanya, Dinda mencoba untuk mencari jawaban lain meskipun harus berbohong. Niatnya tak ingin membuat Arsyan dan Abangnya bertengkar lagi.
“Ini gara-gara waktu malem aku laper, Bang. Dan nggak tau kenapa pengen beli martabak sebrang komplek. Tapi mungkin emang harus begini, aku keserempet motor sampe kepental ke jalan. Untungnya ada yang nolongin.” Dinda cengengesan demi menyembunyikan suatu kebenaran bahwa kecelakaan ini terjadi sore hari ketika pulang kuliah. Beberapa jam setelah Arsyan sudah tak mau mengantarnya pulang lagi.
—
“Kamu tahu nggak Dinda keserempet motor malem-malem pas mau beli martabak?” Deg! Bang Dinar bertanya ketika Arsyan tengah melihat-lihat layar ponselnya. Baru saja ia tahu soal fakta Dinda keserempet motor bukan malam hari. Melainkan sore hari setelah Arsyan mengatakan rasa keberatannya mengantar Dinda pulang dan tak mau diganggu lagi. “E-enggak, Bang.” Arsyan bohong. Nyatanya itu bukan malam-malam. Satu hal yang dia tahu, Dinda tak memberitahu kepada Bang Dinar kalau Arsyan sudah tak mau mengantarnya lagi. Dinda benar-benar tak mengadu lagi. Kenapa?
Arsyan seketika merasa bersalah. Selama ini ia selalu merasa kesal dan jengkel pada perempuan manja itu, tapi Dinda malah membalasnya dengan hal sebaliknya. Dinda menjaga hubungan keluarga antara Arsyan dan Bang Dinar dengan baik. Army bertekad, besok sore ia akan mengantar Dinda lagi demi menebus kesalahannya. Juga dua minggu ini ia merasa ada yang kosong setelah waktu itu ia memarahi Dinda hanya karena merasa terganggu dengan Dinda.
“Dinda kemana?” “Udah pulang, Syan.” “Oke, makasih!”
Arsyan berlari ke parkiran kampus sekuat tenaga. Namun belum sampai tempat Arsyan melihat Dinda sudah dibonceng Rizky dengan motor gedenya. Buru-buru Arsyan menyusulnya. Dengan jarak aman, ia mengekori di belakang mereka. Hingga pada saat sampai di depan gerbang rumah minimalis, Dinda turun dan melepaskan helm lalu ia berikan ke sang pemilik helm, Rizky. Dari kejauhan, Arsyan melihat tawa diantara mereka hingga Rizky benar-benar pergi setelah mengacak gemas rambut Dinda dan melambaikan tangan.
Arsyan buru-buru keluar dari mobilnya. Dan berlari menggapai Dinda yang hendak masuk. “Dinda!” Yang dipanggil tersentak karena tak menyangka kalau Arsyan akan mengikutinya. “Kamu ngikutin aku?” tanya Dinda masih memasang wajah terkejut. Tanpa menghiraukan pertanyaan Dinda, Arsyan langsung memeluk tubuh mungil itu dengan erat. Sambil sesekali mendaratkan kecupan di pucuk kepala Dinda yang mana sanggup membuat Dinda merona dan lemas dalam waktu bersamaan. Apalagi, harum tubuh Arsyan benar-benar membuat Dinda terhipnotis. Sebenarnya Dinda tidak marah, namun kecewa saja. ia sadar kalau rengekannya setiap sore benar-benar kelewatan dan sadar membuat Arsyan merasa terkekang.
“Maafin gue, Dinda. Maaf.” Sesal Army dalam pelukannya terhadap Dinda. Dinda mengangguk, dan Arsyan bisa merasakan itu. “Gue yang salah, kok. Gue seharusnya nggak ngerepotin lo tiap sore yang mana itu bikin lo terkekang. Tapi.. lo gak usah khawatir, Rizky udah mau anterin gue tiap hari tapi syaratnya harus bawain dia sarapan pagi.” Kekeh Dinda yang malah ditanggapi Arsyan dengan tatapan tidak suka.
Arsyan melepaskan pelukannya demi melihat raut wajah Dinda yang kini merasa lega karena sudah ada teman yang mau mengantarnya pulang. “Nggak usah, Dinda. Besok gue anterin lo lagi sampai seterusnya.” Rasanya tidak rela ketika ada pria lain yang mau mengantar Dinda tiap sore, apalagi Dinda mau-maunya disuruh membuat sarapan pagi setiap hari? Apa-apaan? Dinda tersenyum sambil menggeleng. “Nggak apa-apa, Arsyan. Lagian Rizky juga udah sanggup kok. Rumah aku sama di—” Sebelum Dinda melanjutkan bicaranya yang bisa membuat Arsyan emosi, Arsyan lebih dulu membungkam mulut Dinda dengan sebuah pagutan. Beberapa detik Dinda tersentak. pagutan Arsyan yang lembut membuat Dinda malah semakin terhipnotis. Dia membalas pagutan itu hingga keduanya terhanyut.
Dan sebuah deheman keras membuat keduanya melepaskan diri masing-masing. “Ehhmm. Gawat ya udah main nyosor aja kamu, Dek!”
Itu Bang Dinar. Yang beberapa detik lalu sampai dan langsung disajikan penampakan yang membuat jomblo meronta-ronta. Mereka tersipu malu, Dinda meletakkan keningnya di dada bidang Arsyan yang ikut terkekeh.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ig: @ipeeh.h
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com