Aku selalu berharap masa-masa sekolahku berjalan mulus sesuai dengan skenario-skenario klise yang sering kuciptakan sebelum tidur. Aku ingin punya teman, ingin cantik dan populer, dan bahkan mungkin bisa memiliki kisah cinta yang mirip dengan film atau buku-buku romansa picisan yang pernah kulihat.
Saat itu, aku yang masih terduduk di bangku SD sama sekali tidak punya ide tentang apa saja yang akan kulalui. Ayolah, anak SD yang seringnya menonton film-film percintaan hollywood yang super klise, dengan polosnya berharap kisahnya di masa depan akan sama persis. Aku yang masih kecil bodoh sekali.
Sekarang aku tahu, bahwa semua skenario itu tidak akan bisa terwujud dengan mudah. Tidak semudah berbaring di tempat tidur, terdiam menatap plafon, menatapnya seakan-akan aku sedang menonton alur kisah kehidupanku yang sangat sempurna—persis seperti yang kuharapkan selama ini.
Andai semudah itu.
Aku terduduk di salah satu gazebo di area sekolahku, sambil mengayun-ayunkan kedua kakiku, memandangi keseruan teman-teman sekelas membuat video bersama—biasa, mengikuti tren—dan tersenyum ceria. Hari ini adalah tanggal pemotretan murid-murid kelas sembilan, sebelum akhirnya menembus pintu kelulusan. Benar, itu artinya aku akan segera memasuki masa SMA. Masa sekolah yang “kata orang-orang” adalah masa paling menakutkan setelah masa perkuliahan.
Sejujurnya, aku memang takut. Aku takut jika aku tidak akan punya teman di hari pertama, dan berakhir sendirian lagi di hari-hari selanjutnya sementara yang lain sudah punya teman dekat di kelas SMA. Aku lelah menjadi orang yang selalu diabaikan ketika berbicara. Ya, mungkin itu penyebabnya. Aku tidak tahu mengapa mulutku selalu mendadak terkunci rapat-rapat ketika isi kepalaku menyuruhku untuk menyapa duluan. Mulut dan otakku selalu bertengkar kala itu, akibatnya tubuhku tidak bisa berfungsi dengan baik. Mungkin karena itu, aku malas untuk membuka mulut karena aku tahu akan diabaikan lagi.
Aku mengukir seringai kecil, seringai yang miris. Aku sudah bela-bela menabung demi mempercantik diriku sebelum memasuki masa SMA. Orang-orang mengatakan bahwa fisik tidak penting, tapi kalimat itu bermakna kosong. Aku sudah muak dengan frase itu. Aku harus cantik supaya orang-orang fokus padaku. Setidaknya, supaya mereka tahu aku nyata. Dan jika itu tidak berhasil, maka aku sudah menyiapkan plan B. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh. Aku muak, aku memaksakan diriku untuk belajar bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk orang lain. Serumit itu hidup sebagai manusia yang tidak pernah dianggap.
Aku sudah tak lagi mengharapkan kisah romansa picisan di masa SMA-ku. Kalau memang terjadi, syukur-syukur, tapi aku tidak akan percaya itu. Toh, aku tidak mau mengharapkan hubungan yang long lasting pada cinta monyet. Aku sadar diri dan aku pasrah. Jika aku jatuh cinta lagi nanti, aku akan mengaguminya dalam diam. Tidak ada gunanya dia tahu. Aku sudah tahu jawabannya.
Monolog ini hanyalah sekedar curhat yang tidak bermaksud kulebih-lebihkan, karena memang itu adanya. Kuharap aku tidak sendirian di dunia ini.
Lantas aku memandangi teman-temanku yang kini tengah berkumpul di depan gerbang SMP, menunggu mobil pesanan online untuk ditumpangi bersama, hendak makan-makan di restoran terdekat dari sekolah. Aku menatap mereka datar.
Kuharap suatu hari nanti, aku bisa bergabung dengan lingkaran seperti mereka.
Cerpen Karangan: Zahra Kirana Blog / Facebook: Zahra Wirawan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com