Ardan kembali menantang dirinya sendiri. Lagi-lagi saat ini dia menerapkan teknik berdikari untuk menjadi pria sejati dengan cara pergi ke kedai kopi sendirian. Dia ingat betul hari ini adalah Sabtu dan dia pergi disaat senja berakhir. Yang mana pada hari tersebut sangat sering ditemukan pasangan muda-mudi yang memadu kasih sembari menghiasi setiap bahu jalanan.
Ardan mulai muak dengan kebiasaannya yang cuman luntang-lantung di rumah dan mabar. Dia ingin mencari suasana baru dengan cara keluar rumah. Di sepanjang perjalanan, dia terpikirkan sebuah impian. Pandangannya bertaut kepada sepasang pengemudi motor di depannya.
Kepergiannya kali ini juga dalam rangka mencari petunjuk dari sejumlah perusahaan yang miskin pegawai. Petunjuk-petunjuk mereka semoga bertebaran di tempat tujuan Ardan. Tempat yang dituju Ardan bisa dibilang masih baru. Jarang sekali dikunjungi oleh sebuah keluarga dengan beberapa anak kecil, apalagi kaum lansia, mereka jarang bahkan tak nampak disitu.
Saat Ardan tiba di tujuan, dia merasa seperti bukan berada di kotanya. Bahkan dia merasa seperti di luar negeri. Bagaimana tidak, desain bangunan-bangunan di tempat itu nampak asing di matanya. Tempat itu oleh pemuda pemudi setempat kerap disebut “Golden Area”. Ya, begitulah derita seorang pengangguran nolep yang jarang keluar rumah dan ingin menghancurkan dunianya sendiri demi menemukan dunia baru. Ardan tak tau tren bangunan yang sedang naik daun. Dia hanyalah seorang anak kampung biasa. Dia bahkan merasa motor ulung-nya saja tak pantas berjejer dengan scooter matic, vespa keluaran terbaru, apalagi mobil mewah.
Hingga Ardan berdiri tepat di depan kasir, dia tetap menahan ucapannya untuk menanyakan WI-FI gratis. Khusus hari ini hingga seterusnya, dia ingin menikmati dunia nyata tanpa ada gangguan apapun dari gawai. Kala Ardan membaca menu, dia cukup asing dengan nama-namanya. Dia lantas memilih makanan dan minuman dengan total harga yang terbilang murah, meski tidak paham betul apa yang dia pesan. Tetapi dia yakin, bahwa di kafe itu tidak ada hidangan yang dapat membahayakan dirinya.
Seorang kasir pria bernama Leon baru saja membantu Ardan bertransaksi serta memberinya nomor 11 untuk nomor mejanya. Nantinya, pelayan akan mengantarkan hidangan ke meja Ardan, yakni nomor 11. Di struk tertulis total harga pesanan Ardan yang bahkan tidak mencapai tiga puluh ribu. Dia merasa miskin akibat memesan hidangan yang dianggap paling murah. Rasa kemiskinannya makin bertambah ketika dia melihat segerombolan pemuda Tionghoa modis yang saling memadu kasih satu sama lain pada meja nomor 17 serta segerombolan pemuda lokal kece yang ketawa-ketiwi sambil saling rangkul-merangkul pada meja nomor 6.
Pemandangan di kafe kala itu, minimal semeja ditempati oleh lebih dari seorang pengunjung. Berbeda dengan Ardan yang jangankan bersama pacar, teman saja tidak ada. Membahas soal pacar, dia terkadang suka membanding-bandingkan dirinya dengan kawan-kawannya dengan temannya yang telah memiliki pacar, bahkan sudah beristri. Saat yang lain asik berpegangan tangan, Ardan hanya bisa memegang tangannya sendiri. Saat yang lain asik berpelukan, Ardan hanya bisa berimajinasi melakukan pelukan dengan berbagai macam wanita. Bahkan yang paling membuatnya benar-benar “teraniaya” ketika Mukidi, salah satu temannya yang telah beristri iseng curhat colongan (curcol) melalui media sosial soal enaknya mandi bareng bersama istrinya yang bernama Aletta. Apalah daya Ardan yang hanya bisa mandi bareng “Citra”, sabun maksudnya.
Bagi Ardan, Mukidi bukanlah teman yang pas untuk diajak ngopi bareng. Kelakuannya memang sejak dulu begitu. Suka curcol, tapi gak pernah mau dicurcolin. Keadaannya yang menyendiri tanpa teman seorang makhluk pun saat ini jauh lebih nikmat. Dirinya jauh lebih bisa merasakan kebebasan kala sendirian. Selalu ada risiko dari pilihan. Pikir Ardan, jika menginginkan kebebasan, maka risikonya adalah menjadi sendiri dan sepi, seperti yang Mukidi ceritakan dulu ketika jaman SMA.
Seorang pelayan bernama Angel menghampiri Ardan dengan membawa segelas kopi hitam dan kentang goreng berlumuran saos keju lada hitam. Betapa manisnya senyuman wanita itu, meski hanya formalitas sebagai pelayan yang ramah. Rambutnya yang berwarna hitam kecoklatan mengingatkan Ardan akan Raynia, wanita impiannya di kampung ketika dia SMA dulu. Ardan tahu betul, di balik senyuman Angel yang manis kepada setiap pelanggan, ada luka yang berat bahkan tak tertolong. Luka yang tercipta dari setiap derap langkahnya demi memgumpulkan berlian-berlian kehidupan. Sambil menyeruput kopi yang sangat pahit, Ardan berharap agar nama-nama wanita itu menjadi kenyataan. Baik itu Raynia ataupun Angel. Semoga senyuman manis Angel tak hanya formalitas di lingkungan kerja saja.
Apa yang dipikirkan Ardan kini masih fiktif belaka. Seperti sinetron. Dia mendadak berimajinasi tentang dirinya yang semeja berdua dengan Angel, si pelayan tadi. Pandangannya makin kosong dan pikirannya melayang. Diambillah sebuah kentang di wadah, lalu meniupkan perlahan agar tidak panas. Perlahan jarinya mencoba untuk menyuapi Angel. Kini giliran Angel yang menyuapi Ardan. Bahkan setelahnya, dia mengelus lembut dagu Ardan. Ardan semakin merasakan hal itu seakan-akan nyata.
Memang benar nyata. Angel benar-benar berada di dekat Ardan. Tetapi dia bukannya akan bermesraan dengan Ardan. Dia sekadar melintas dan berdiri tepat di dekat Ardan untuk memperingatkan seorang di kafe yang bernama Ardan Ilhamsyah untuk segera melapor pihak berwajib akibat telah terjadi curanmor. Mengetahui namanya disebut, Ardan seketika peka. Lalu dia bertanya kepada si pelayan cantik Angel perihal apa yang membuat namanya dipanggil? Kemudian dia bilang kepada Ardan bahwa dua orang pencuri berhasil menggasak motor dengan stiker bertuliskan “Ardan Ilhamsyah” yang terpampang di bodinya. Ardan sangat tak menyangka, lantas menanya Angel perihal apa yang menyebabkan motornya digondol pencuri.
“Kontaknya tadi belum dilepas, kak! Sekarang orang-orang lagi pada nyariin pencurinya.” kata Angel.
Ardan melangkah perlahan untuk keluar dari kafe itu. Sesekali ia memandangi langit lalu merenungi kejadian barusan, tetapi bukannya memikirkan motornya yang baru saja dicuri. Dia malah memikirkan, apakah dia hanya bisa memiliki kekasih dalam khayalannya? Apakah seorang perempuan hanyalah fiksi bagi diri seorang Ardan? Menjaga motor miliknya sendiri saja tidak becus, apalagi menjaga anak orang.
Cerpen Karangan: M. Falih Winardi Blog / Facebook: Falih Winardi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com