Aku belum lama pindah dan bersekolah di Jakarta ini karena mengikuti ayah yang dipindahtugaskan dari Semarang ke Jakarta. Sebagai seorang anggota TNI, ayah memang beberapa kali harus berpindah tugas dari satu daerah ke daerah lain. Maka aku dan adikku pun harus ikut pindah sekolah. Mau tidak mau kami harus membiasakan diri untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan baru.
Kami adalah dua bersaudara. Namaku Intan. Tahun ini aku duduk di kelas delapan atau kelas dua SMP sementara adikku, Rio, masih duduk di kelas lima SD. Aku beruntung di sekolah baruku ini aku mempunyai teman-teman yang baik dan ramah. Aku pun menjadi cepat akrab dengan mereka semua. Hambatanku saat ini bisa dikatakan hanya satu saja, yaitu logat Jawaku yang masih sangat medok. Beberapa kali di kelas aku menjadi bahan olok-olok dan guyonan teman-teman karena logatku yang medok ini. Aku sering mengadukan masalah ini kepada ibuku di rumah. Seperti biasa, ibu selalu bisa menenangkanku tiap kali aku ada masalah, terutama masalah di sekolah.
“Biarkan aja, teman-temanmu kan cuma bercanda. Nanti juga mereka akan bosan dan capek sendiri meledekmu. Nah, kalau sudah capek, pasti mereka juga berhenti sendiri.” Begitu kata ibu suatu sore saat kami sedang berkumpul bersama di ruang tengah. Dalam hati aku membenarkan apa yang ibu katakan. Aku sendiri berkeyakinan bahwa lambat laun nanti logatku yang medok juga akan hilang dengan sendirinya jika sudah lama tinggal di Jakarta.
Bulan Oktober ini sekolah kami kembali mengadakan beberapa lomba untuk dapat meningkatkan literasi para siswa terkait dengan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu diperingati tiap tahun. Sudah menjadi kegiatan rutin, untuk memperingati acara tersebut, sekolah kami mengadakan beberapa lomba berhubungan dengan keterampilan literasi, seperti lomba membuat cerita pendek (cerpen), menulis dan membaca puisi, lomba berpidato dan sebagainya. Bu Tetty, guru Bahasa Indonesia, mengumumkan siang itu di kelas kami bahwa seluruh siswa dianjurkan untuk ikut meramaikan kontes dalam rangka Bulan Bahasa itu.
“Bu, kalau mau ikut lomba membaca puisi tapi medok boleh gak, Bu?” tiba-tiba Aldo, temanku yang terkenal kocak mengajukan pertanyaan. Ia sengaja memberi penekanan pada kata “medok” sembari mengerling ke arahku sambil cengar-cengir. GEERRR…!! Seketika teman-teman sekelasku tertawa riuh mendengar pertanyaan Aldo, yang sebenarnya hanyalah dimaksudkan untuk memperolok-olok logatku yang medok, seperti biasa. “Ya Aldo, tiap siswa boleh ikut lomba apa pun yang ia sukai. Yang penting, ia bersunguh-sungguh ingin belajar dan mengembangkan bakat dan pengetahuan yang dimilikinya semaksimal mungkin.” Bu Tetty melanjutkan, “Kami sebagai guru akan selalu berusaha membimbing dan membantu kalian semua untuk mencapainya. Nah, nanti pengumuman lebih jelas akan segera dipasang di mading (majalah dinding) ya..” ia pun mengakhiri pelajaran hari itu.
Siang itu saat akan pulang sekolah, aku melihat Aldo berada di depan mading. Rupanya ia sedang membaca pengumuan mengenai kontes literasi yang baru saja terpasang. “Opo kowe arep melu, Al?” tanyaku. Waduh kelepasan aku pake bahasa Jawa lagi. “Eh.. Maksudku, apa kamu mau ikut lombanya Al?” kataku sambil berusaha sebisa mungkin menutupi logat Jawaku yang masih terdengar medok. “Eh belum tau nih, aku belum ada ide.” Jawabnya. “Enaknya ikutan lomba apa ya?” Ia balik tanya. “Gimana kalau buat cerpen aja, tapi yang kocak ceritanya, bisa gak?” Aku menantangnya. Dia kelihatan berpikir. “Hmm.. sulit kalau bikin cerpen.. Kan butuh waktu lama persiapannya. Belum lagi untuk mencari ide ceritanya.” “Yo wis kalo gitu bikin puisi wae lah!” kataku sengaja terus mendesaknya. “Ya udah, liat nanti aja deh!” katanya akhirnya. “Yuk balik dulu aja, udah laper nih.” Kami pun kemudian pulang bersama-sama.
Esoknya di kelas, Bu Tetty meminta perwakilan dari kelas kami untuk segera mendaftar lomba. “Karena lomba dalam rangka Bulan Bahasa sudah akan dimulai, Ibu minta nama-nama peserta perwakilan dari kelas ini diserahkan siang ini kepada Panitia Lomba ya.” “Nanti kalau karya kalian sudah siap, baik itu puisi, cerpen atau lainnya bisa dikumpulkan juga sekalian. Nanti akan langsung dipasang di mading.” Lanjutnya. “Baik, Buu..!” Jawab murid-murid serempak.
Pagi itu beberapa teman-teman kelasku berkerumun di depan mading. Sebagian dari mereka senyum-senyum ketika membaca salah satu puisi yang terpampang di sana. Didorong rasa ingin tahu, aku segera menyeruak ke depan mading untuk mengetahui apa yang dipasang di sana sehingga membuat teman-temanku cekikikan. Mataku terbelalak membaca salah satu puisi yang terpampang di sana:
“M E D O K” Karya: Muhammad Rivaldo Medok bukanlah kedok bukan pula gaok sang kodok Serumpun lisan medok namun apik Serupa raut lugu nan cantik Sungguh dalam medok tersemat makna tulus nan elok Sebab medok sejatinya budaya bestari Nusantara Medok ataupun tidak Bahasa lisan kita satu: INDONESIA! Mari bersama kita ramaikan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia!
Aku sempat senyum-senyum sendiri membaca puisi buatan Aldo itu. Lumayan menarik dan lucu juga, demikian pikirku. Ada rasa salut juga kepadanya yang di akhir puisi itu sempat juga berpetuah mengenai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tapi… perasaanku merasa ada sesuatu yang “ganjil” selesai membaca enam bait puisi di mading itu. Entah mengapa, aku merasa, dibalik puisi itu ada maksud tersembunyi dari bocah nakal itu untuk mengolok-olokku lagi dengan kata-kata “medok” itu. Bagaimanapun juga, seberapa pun besar rasa salutku terhadapnya, tetap saja aku tidak bisa tinggal diam dengan sikap kurang ajar dan olok-oloknya yang konyol itu. Batinku tetap tidak bisa menerimanya.
Aku harus menunjukkan bahwa aku tidak mau dia terus mengusikku karena logatku yang medok ini. Kuarahkan pandangan mataku menyapu sekeliling mencari bocah gemblung itu. Nah! itu dia sedang berusaha sembunyi di ujung lorong. Seolah bisa menduga reaksiku, dia segera ambil ancang-ancang untuk lari. Tanpa berpikir dua kali, dengan sigap aku mengejarnya.
“Sialan kamu, Aldo..! Kamu jadiin aku obyek puisi kamu ya?!” Aku mengumpat sambil terus mengejarnya. “Hahah.. Sori deh, jangan marah dong, kan kemarin kamu yang nantangin aku, suruh bikin puisi.. Heheheh…!” Ia terus lari menjauh sambil tertawa terpingkal-pingkal. Aku terus memburunya. Aku pasti akan membuat perhitungan dengannya kalau tertangkap nanti.
Depok, 20/11/21
Cerpen Karangan: Ahmed Adrianov Facebook: facebook.com/akhmad.adriana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com