Hembusan angin memberikan pesan berbisik, pesan itu lewat begitu saja di telinga pemuda SMA itu sedang asyik berjalan seraya mendengarkan musik di headset kecilnya dan matanya dimanjakan oleh pemandangan segar yang menyejukan dirinya. Lalu ada telepon masuk mengganggu kesenangannya itu, “ah… , apaan sih,” gerutunya sambil memicingkan layar smartphone.
“Rumiah, cewe itu bener-bener brengsek cari cowo lain kek.” Kemudian ia menjawab, “orangnya nggak mau menerima pesan tolong tinggalkan pesan atau temui orangnya langsung,” kata pemuda itu menirukan pesan suara. “tutt,” imbuhnya menyempurnakanya. “Kampret lo Helma, udah bagus ada orang peduliin kamu,” kata gadis itu dengan amarah, “lo di mana sekarang!?” “…” Pemuda itu diam sejenak sambil mengdengkus, “telinga lo masih berfungsi kan, kok kamu masih ngeyel telpon gua sih.” “Dasar helm! Peka dikit kenape sih, lo tuh susah banget diajak ngobrol damai, bikin orang panas melulu.” “Salahmu sendiri cok, trus nama gua bukan helm, HELMA!.” “Sudah males debat dengan kamu, kalau lo sayang sama dia telpon dia kek, atau temui dia langsung, masa lo udah pacaran setahun ga ada progressnya sih, heran gue?” “Sudah?” Kebisuan dalam telepon, lalu gadis itu menutup telepon, dan pemuda itu tampak lega, ia telah menunggu ini sedari tadi.
Ia diam sejenak melihat ke langit mencoba menerka apa yang akan terjadi pada dia nanti, seandaikan dia tidak menerima ucapannya bila dia tahu kebenarannya selama ini. Langit biru berganti kuning telur yang silau menyinari kota ini. Pemuda berada di ruang keluarga sedang asyk dengan permainan catur dengan CPU, namun ia tetap memainkan papan catur yang asli. Sunyi seorang diri, tidak ada siapapin kecuali dia dan papan caturnya yang menghidupkan suasana. Walau dia tampak berkosenterasi, namun perasaannya terus beceloteh yang ngawur. Pikiran dan hatinya tidak di tempat yang sama. Kemudian ia mengambil smarphonenya dan menelepon kontak.
Suara telpon berhenti, dan seseorang mengangkat telpon itu, “bisakah kita berdua temuan, kita perlu bicara empat mata.”
Malam hari, dingin, sepi, tidak hewan, dan serangga untuk bersuara. Pemuda berdiri di perempatan jalan di gang kecil. Tak lama kemudian sosok gadis keluar kegelapan menuju ke tempat pemuda itu. Mereka berdua saling bertatapan dan mematung. Mulut mereka juga merekat seolah ada sesuatu yang tertempel di dalam mulut mereka.
“Ayo mulai kau itu seorang pria,” kata pemuda itu untuk menyakinkan dirinya sedang berbisik pada dalam dirinya.” Namun wanita terlebih dahulu untuk membuka kebisuan mereka, “kau tidak usah mempersulit dirimu sendiri.” Pemuda itu beralih ke arah gadis itu. “Sudah cukup, aku pikir kita memang ditakdirkan untuk berpisah, mungkin ini terdengar membosankan, karena kita memang tidak berjodoh.” Kata gadis itu melanjutkan. Makin lama wajah pemuda terlihat khidmat seolah ia sedang mendengar khotbah. Pemuda itu hanya menekuri sandalnya; sementara gadis memandangnya dalam-dalam—ingin sekali pemuda itu untuk memandanginya saat dia berbicara. Alhasil gadis itu tampak cuma-cuma untuk kemari melihat hasil sesuai ia duga.
Gadis pamit untuk terakhir kalinya pada pemuda itu. Namun ada sesuatu menyambar pemuda itu. “Tunggu!” Sontak pemuda itu. Gadis membalikkan badannya dan berharap ini sesuatu sia-sia lagi tak perlu ia dengar. “Aku tahu, aku salah, membiarkan dirimu terlebih dahulu menjalin hubungan kita. Setidaknya terima kasih mau berbagi waktu untukku selama ini. A—aku harap kau mendapatkan penggantiku yang jauh lebih baik dariku”. Pemuda itu terdiam. “Itu saja? Kalau begitu—” “Kau tahu kenapa aku ingin kesini,” pemuda itu menyelanya, “aku ingin kau tahu bahwa sebenarnya ‘aku tidak mencintaimu.” Gadis tidak sedikit menganga untuk responnya, bahwa dia sendiri kaget dia telah mengucapkan hal itu. Namun hati gadis itu lega dan bebas seolah ada yang terbang dari dirinya, dan dia tahu itu memang dia inginkan; sebuah kejujuran dari mulut pemuda itu.
Gadis itu tersenyum padanya. “Sama, aku tidak mencintaimu.” Dia tergelak lalu berlari menuju kegelapan yang masih menyisakan sinar di dalamnya. Dia lenyap, namun bukan kegelapan tapi cahaya yang akan membimbingnya untuk keluar dari kegelapan menuju ke tempat lebih terang dan bercahaya.
Pemuda itu bingung, lalu ia sama hal dengan gadis itu: tersenyum. Tak ada ikatan, tak ada beban, sebab masa depan akan menghapus itu demi kebaikan mereka berdua.
Tamat
Cerpen Karangan: Yudha Hoeliman
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com