“Permisi, Mas. Masih ada yang bisa saya bantu?”
Gue terkesiap mendengar suara itu yang tiba-tiba masuk ke telinga gue. Sekarang, gue hanya bisa mendengar suara orang-orang di sekitar tanpa bisa melihat wajahnya. Iya, gue buta. Belum lama, baru sebulan yang lalu. Penyebabnya apa, gue gak bisa cerita karena itu buat gue jadi cengeng lagi. Yang pasti ada penyebabnya. Kan, gak mungkin gue buta secara tiba-tiba. Hehehe.
“Eng-enggak ada, Mbak. Saya cuma lagi nunggu kakak saya aja, dia lagi ke toilet.” jawab gue. Gue sedang berada di caffe, dan perempuan yang tadi pasti pelayan di sini. Gue yakin, dia mau ngusir gue dari sini karena udah kelamaan nongkrong di tempat kerjanya. “Kakaknya Mas yang bareng Mas tadi, ya? Saya lihat tadi dia udah keluar, Mas, 10 menit yang lalu,” “Udah keluar, Mbak? Beneran?” “Iya, Mas.” Kakak sialan! Ninggalin adiknya yang buta ini sendirian di sini.
“Kalau gitu saya pulang aja, Mbak.” “Tapi maaf, Mas. Makanan sama minumannya belum dibayar,” Deg. Jantung gue seketika berdetak kencang mendengar ucapan pelayan itu. Walau dia bicaranya ramah, namun bisa buat gue terkejut setengah mati. Astaga. Kakak kurang ajar! “Belum dibayar, Mbak?” “Iya, Mas.”
Gue langsung merogoh saku celana dan mengambil dompet. Tapi, tunggu. Masih ada gak ya isinya dompet gue? Kalau gak ada bisa mati gue. Awas lo, Kak. Udah buat gue kesusahan kayak gini. “Ini. Mbak ambil aja uangnya di dalam,” gue menyodorkan dompetnya kepada pelayan itu. “Gak apa-apa, Mas, saya ambil sendiri?” tanyanya. “Gak apa-apa, kok. Lagi juga saya gak tahu ada berapa uangnya,” “Saya ambil ya, Mas. Uang yang di dompetnya Mas ada 200 ribu, makanan dan minumannya semua 195 ribu. Jadi masih ada kembalian 5 ribu ya, Mas. Mas tunggu sebentar di sini. Ini dompetnya disimpan lagi,” Gue hanya mengangguk menjawab ucapan panjang kali lebar pelayan itu, lalu memasukkan kembali dompet ke saku celana. Akhirnya, gue bisa bernapas lega. Untung aja dompet gue ada isinya. Coba kalau gak ada? Bisa-bisa disuruh nyuci piring dulu gue di sini kayak di sinetron-sinetron.
Gak lama, pelayan itu datang dan memberikan gue kembalian uang 5 ribu seperti yang udah dia bilang tadi. “Mas mau saya antar keluar?” ia menawarkan bantuan ke gue setelahnya. “Boleh, Mbak.” jawab gue. Ia lalu menuntun gue perlahan berjalan menuju luar. “Makasih banyak, Mbak, udah bantuin saya.” “Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan ya, Mas.” Gue senyum-senyum sendiri karena udah mendapat pelayanan yang sangat baik dari pelayan caffe itu. Coba aja gua bisa melihat, pasti pelayan tadi sangat cantik. Bicaranya ramah, bikin hati gue tenang.
Cukup. Sekarang gue harus pulang ke rumah dan memberi pelajaran pada Kak Tyco, kakak durjana gue. Tapi, gue harus melangkah ke mana? Ke kanan, kiri atau depan ya? Argh, sial. Gue pun memutuskan melangkah ke depan, sesuai dengan posisi gue sekarang. Walau gue gak tahu, itu benar ke depan atau enggak.
“Maaf, Mas, di sini zebra cross ya? Maksudnya tempat penyeberangan jalan?” gue berkata pada orang yang ada di samping gue, setelah tahu ada dia di situ sedang bercakap-cakap dengan yang lain dan mendengar banyak kendaraan yang melintas. “Iya, Mas. Tapi masih belum bisa lewat,” jawabnya. Gue mengangguk. Gak lama, si Mas itu berkata, “ayo, Mas,” “Udah bisa lewat, Mas?” tanya gue. Gak ada jawaban. “Mas, udah bisa lewat?” Tetap gak ada jawaban. “Mas?” ‘Krik… Krik… Krik…’ Sial. Bukannya ngajak gue nyeberang bareng, malah ditinggal. Terus gue harus gimana ini? Aarrgghh.
Gue akhirnya memukul-mukulkan tongkat yang sedang gue pegang ke jalan, untuk memastikan gak ada sesuatu yang menghalangi jalan gue. Setelah yakin di depan aman, gue lalu melangkahkan kaki secara perlahan, bahkan sangat pelan. Maklum, orang buta baru. Jadi masih takut buat turun ke jalan sendirian. Hehehe.
Bugh! “Awww!” Baru dua langkah, gue udah jatuh tersungkur di jalan, setelah melewati jalanan yang ternyata itu trotoar. Kalian tahu, kan, di setiap zebra cross pasti ada trotoarnya? (Enggak semua zebra cross, sih). Iya, trotoar itu adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut dan digunakan untuk pejalan kaki. Argh, pake acara jatuh segala lagi. Gak becus banget gue jalan doang. Ternyata, jadi orang buta begini, ya?
‘TIN… TIN… TIN…’ Gue membelalakkan mata setelah mendengar klaskon para pengendara yang menandakan lampu lalu lintas berwarna hijau. Gue panik. Itu artinya waktu buat mereka melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti karena lampu merah. Perasaan baru tadi lampunya berwarna merah, kok udah hijau aja?
“Woi, minggir! Gue mau lewat!” “Buta lo ya?” Setelah klakson dari kendaraannya, kini mulut-mulut pengendara itu mulai berkoar buat mencemooh gue. Apa? Dia masih nanya gue buta? Sebenarnya yang buta itu gue atau dia? Jelas-jelas gue emang buta. Gue harus segera pergi dari zebra cross ini sekarang! Tapi tunggu, gue seperti kehilangan sesuatu. Tongkat gue? Astaga. Gue lupa kalau sekarang harus pake tongkat jalannya. Tongkat gue mana? Gue meraba-raba jalan mencari tongkat penunjuk jalan itu. Ke sana ke sini gak ketemu. Malah aspalnya panas banget lagi, tangan gue bisa melepuh kalau lama-lama begini. Argh.
“Woi, cepetan minggir! Gue mau lewat!” “Dasar buta!” “Kalau gak bisa lihat jangan sok-sok-an jalan sendirian,” “Mau mati lo?” Kalimat-kalimat itu kembali dilontarkan oleh para pengendara. Mendengar itu, seketika gue ingin berteriak, “BACOT LO SEMUA! BUKANNYA BANTUIN GUE, MALAH MAKI-MAKI GUE KAYAK GINI!” Enggak, enggak. Gue bukan manusia yang kayak gitu. Tuhan kasih gue mulut buat bicara yang baik, bukan bicara kasar kayak yang gua pikirkan.
Cukup. Gue nyerah buat mencari tongkat gue. Gue beneran gak tahu di mana tongkat gue berada. Tangan gue udah panas banget ngeraba-rabain jalan dari tadi, ditambah sama bacotan orang-orang sekitar yang buat gue pengen meledak rasanya. Dasar manusia!
“Mari saya bantu, Mas.” Gue mendengar suara seseorang yang gak lama kemudian memegang tangan ini. “Ini tongkatnya Mas, tadi ada di sana. Mas mau nyeberang? Biar saya bantu ya,” orang itu berkata sambil membantu gue berdiri dan memberikan tongkat yang sedang gue cari-cari ke gue, lalu membawa gue ke tempat yang lebih aman. Ternyata masih ada orang baik di negara ini, gue kira udah gak ada setelah mengetahui sikap orang-orang tadi ke gue.
“Iya, Mbak. Makasih banyak ya udah mau bantuin saya.” jawab gue. “Telapak tangan Mas merah, sakit gak?” “Eng-nggak terlalu kok, Mbak. Cuma panas aja,” “Mas lain kali hati-hati ya jalannya. Tadi jalan yang Mas lewatin itu trotoar, terus juga di sini jalannya agak rusak. Takutnya nanti Mas jatuh lagi,” “Iya, Mbak. Sekali lagi makasih banyak ya.” “Yaudah, yuk, saya antar pulang. Rumahnya Mas di mana?” “Rumah saya di Permata Bintaro, Mbak.” “Oh, di sana. Gak terlalu jauh dari sini,” “Iya, tadi sebenarnya saya sama kakak saya. Cuma tadi dia pulang duluan, ada urusan kayaknya.” Si Mbak itu hanya menjawab ‘oh’ dengan panjang sambil menganggukkan kepalanya. Sepertinya menganggukkan kepala, soalnya gue gak tahu. Tapi biasanya orang jawab ‘oh’ gitu sambil kepalanya dianggukkin. Hehehe. Sok tahu banget gue. Ia lalu mengantarkan gue pulang sampai depan rumah dengan selamat tanpa ada luka sedikit pun. Ia benar-benar melindungi gue selama perjalanan, memberitahu jika ada batu atau jalannya berlubang yang bisa buat gue jatuh dan celaka. Selamat gue. Untuk Mbak tadi, terima kasih banyak udah bantuin gue.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam Blog / Facebook: Siti Mariyam
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com