“Hah, apa-apaan dia!?” gumamku kebingungan dengan perkataannya. Ucapannya itulah tanpa maksud dan tujuan, dan kita pun baru juga bertemu. Seharusnya dia sadar apa yang selama ini kita lakukan.
Setelah dia melewatiku begitu saja dengan perkataannya, aku mulai mengikuti jejaknya sembari membawa buku-buku mata kuliah yang dipelajari nanti. Aku ikuti dan kejar sampai titik tujuan yang dia lakukan.
Aku termenung dan terpaku. Mengapa ini tidak sesuai pikiranku, kukira dia akan melakukan hal tidak-tidak. Ternyata dia menuju ke kelas mata kuliah yang sama denganku. Segera saja aku masuk dan langsung duduk di kursi kosong. Kulihat sekeliling kelas, dia si Dila itu ternyata duduk di bangku belakangku. Aku tersentak tak karuan saat melihatnya dengan tatapan sinis.
“Hai, kawan!” Serunya dengan nada mengejek diikuti tawa dari teman-temannya. “Ihh, Dila… Kau dulu cerdik sekali ya!” kata salah satu temannya. “Iyaa ihh, bisa mengelabuhi si polos Ida tuh!” kata yang lain dengan pakaian nyetriknya. “Hei! Ada apa kalian, hah!? Kenapa kau Dil??” marahku tak tertahankan. Seisi ruangan di kelas terkaget dan langsung menoleh ke arahku. Dosen yang barusan masuk ke kelas pun kaget keheranan yang kemudian melerai. “Apa ini!! Kenapa di kelas saya ribut-ribut!?” “Hufft… Tidak apa-apa Bu, maaf dia sedang dapet jadi lagi ingin marah saja Bu…” jawab Dila dengan polosnya. “Baiklah.., sudah mari kita mulai kelas ini.”
Setelah kejadian ini seperti tidak ada apa-apa, dan terasa normal. Aku heran dengan sikapnya Dila, aku jadi berpikir dahulu aku tidak lebih mencari tahu tentangnya. Malah seperti salah paham setelah mendengar telepon itu dan meninggalkan dirinya.
Beberapa menit kemudian, jam istirahat telah datang. Seperti biasanya para mahasiswa langsung datang ke kantin yang ada di kampus ini. Aku pun begitu, terlihat kantin selalu ramai ada yang makan sambil fokus belajar, kerja kelompok, dan lain-lain. Menurutku kantin kampus adalah tempat yang nyaman untuk istirahat sejenak. Namun… Kemudian kenyamanan di kantin ini terasa buyar begitu saja, semenjak kedatangan si dia, Dila. Terlihat ia sedang jalan sendirian untuk memesan makanan dan langkah kakinya itu menuju ke bangku dekatku.
“Eh, ketemu lagi kita Ida!” senyum nya dengan nada ramah. Hah? Kenapa sih dia, pasti lupa dengan kejadian tadi. “Hei, kamu kok tidak menjawab? Apa kamu lupa denganku Ida?” tanya nya keheranan. “Eh… iyaa, haloo. Hei, kamu lupa dengan kejadian tadi?” terpaksa aku pun menjawabnya dan bertanya untuk hal tadi.
Drrt…. drrt…. “Oiya, sebentar ya Ida. Ada telepon masuk nih, aku tinggal dulu.” “Baiklah,” dan akhirnya tidak ada jawaban darinya lagi. Apa mungkin dia sengaja menghindarinya.
Libur setelah ujian semester telah dimulai. Rencana liburan sudah menungguku, setelah lelah capeknya belajar seharian menyiapkan ujian. Kini aku hanya memikirkan untuk liburan saja. Aku putuskan untuk keluar kost dahulu sambil membeli keperluan liburan. Tak disengaja aku berpapasan dengan Dila di jalan. Aku pun menghiraukannya dan lanjut jalan. Namun…
“Eh, Idaa!! Tunggu….” katanya, dan lagi-lagi suara ini dengan nada lembut. “Haa?” teriakku pura-pura tak terdengar dan melanjutkan berjalan.
Aneh sekali. Ada apa sih dengan sikap Dila sih, seperti memiliki kepribadian ganda saja. Itupun terlihat sekali lagi. Awas aja kalau itu hanya tipuan muslihat darimu. Pikiranku sudah kacau balau tidak tau harus gimana. Namun, pikiran itu buyar setelah aku berpikir rencana liburan untuk menjenguk kedua orangtuaku di desa.
Setelah selesai membeli perlengkapan yang akan dibawa untuk liburan, aku terkejut melihat Dila yang di depan toko sedang makan bersama teman-temannya. Apa-apaan sih dia, malah mengikutiku. Aku pun keluar toko dan langsung menghiraukan mereka. Namun, salah satu dari temannya mencegatku dan menarik lengan tanganku untuk duduk bersama.
“Haloo… wah, masih marah kah?” tanya Dila dengan nada mengacuhkan. “Maksud kamu?” tanyaku kebingungan “Apa sih, kamu itu buat penasaran deh.” “Hah? Gimana dengan kamu, hah!? Dari tadi tidak bisa tebak, mau kau apa!?” marahku padanya yang menganggap dia sedang tidak waras. Hanya tersenyum licik smabil terus mengejekku. “Ini tidak main-main ya Dila!! Jangan lagi bertemu aku kembali, oke!?” “Gimana tidak bertemu kembali, hah?! Kita kan satu kelas, cih!” katanya acuh dan pergi saja dengan teman-temannya. Aku yang sudah diambang kekesalan pun, mau tak mau pulang ke kost dengan muka yang masih penuh amarah.
Sesampainya di desa halamanku yang selalu kurindukan. Aku pun bertemu kedua orangtuaku dan memeluk keduanya. Sembari masuk ke dalam rumah, aku melihat halaman rumah Dila dulu terlihat bersih dan rapi. Seperti ada ornag yang menempati. Aku yang penasaran itu langsung akan kutanyakan kepada Ayah dan Ibu.
“Mah….” belum selesai aku memanggil, mama pun menyela dengan bertanya. “Nak, kamu di kota sudah bertemu Dila? Gimana nih, hubungan kalian, semenjak kamu sekolah di kota si Dila selalu kesepian loh,” kata mama sambil membereskan bawaanku. “Maksudnya gimana, Mah? Kan, Mama tau kalau sejak itu hubunganku dengan Dila sudah renggang?” tanyaku keheranan. “Ooh.., makanya Nak, saat itu kamu jangan langsung menyimpulkan. Sepertinya kamu belum mengerti juga ya,” kata mama dengan raut wajah yang sedang ada disembunyikan. “Menyimpulkan bagaimana, Mah? Sudah jelas waktu itu telepon Dila dengan seseorang ingin membunuhku, Mah! Kenapa tidak percaya sih!?” bentakku marah sambil kembali ke kamarku. “Hei! Ada apa ini, Mah? Kakak kenapa, kok membentak!?” tanya papa keheranan yang baru saja masuk ke dalam rumah. “Itu, Pah, masalah sepele dulu, ternyata Ida belum paham juga.” “Ooo, begitu Yaa. Apa sebaiknya kita segera memberitahunya?” “Jangan dulu, Pah. Biar dia tahu sendiri saja dan mengerti keadaannya.” “Baiklah, Mah.”
Keesokan harinya, aku terbangun dengan nikmat. Tidur semalam sangatlah nyenyak. Aku putuskan untuk pergi keluar mencari udara segar di desa, sudah lama tidak merasakan angin yang segar dengan bau khas pepohonan. Aku pun melewati halaman rumah Dila, terlihat ibu Dila yang sudah renta itu menyapu di halaman.
Pada akhirnya… “Eh, Nak Ida… Apa kabar?” sapa ibuknya dari balik pagar rumah. “Sehat Bu, gimana kabar Ibu?” tanyaku sopan. “Sehat juga kok, Nak. Masuk dulu sini yuk, kangen gak nih sama Dila?” katanya menawarkan aku masuk dan terpaksa mengiyakan karena pagar rumahnya sudah dibukakan. “Iy… iya.. dong, Bu…” jawabku ragu-ragu. “Sudah tidak perlu malu, kamu duduk dulu ya. Ibu panggilkan Dila.”
Beberapa menit kemudian, datanglah seorang perempuan yang separuh baya denganku. Ia memakai pakaian hangat yang terlihat berlapis, aku berpikir kalau dia terlihat kedinginan padahal itu baju tak nyaman. Ya, itulah Dila. “Halo.., Ida” sapanya dengan tersenyum. Dan lagi-lagi aku seperti tertipu oleh perkataannya.
Tanpa menunggu berlama-lama, aku pun menanyakan dengan sikapnya. “Sebentar Dila, kau jangan berkata halus lagi deh. Kau apa tak sadar hah, kalau kemarin sifatmu begitu menjengkelkan?!” kataku berseru sambil berbisik. “Eh, kenapa Ida? Aku kemarin tidak begitu. Oh… Ap…” katanya lalu kata-kata akhirnya terhenti sejenak dan dilanjutkan dengan ketawa renyahnya. “Yaa… itu sifatmu kemarin! Seperti itu saat kau sedang tertawa ini!!” “Baiklah, Ida. Maafkan aku, ini memang kesalahanku. Seharusnya kamu patut diberitahu.” “Apa maksudmu, hah? Udah jelas!” “Sabar, Ida. Sebentar ya. Dillian!” katanya sambil memanggil nama seseorang, siapa sebenarnya itu.
Beberapa menit kemudian, orang yang dipanggil itu pun datang. Aku tercengang melihat tampangnya sambil bergeser melihat ke Dila lagi. Kemarin waktu perkataannya menjengkelkan, pakaiannya orang itu sama persis. Dan saat sedang berbicara halus, pakaian tersebut terlihat sopan. Ada apa ini sebenarnya!?
“Apa, ini? Jangan menipuku!” kataku kebingungan. “Eh, hai kawan! Jangan sok marah dulu lah, huh!” kata orang itu. “Sudah…, Dillian kamu duduk dulu sini. Mari kita luruskan kesalah pahaman ini.” “Haah… gak usah lama-lama!” “Baik, Ida. Jadi, sebenarnya kalian berdua ini salih salah paham. Waktu sebelum ada telepon seperti itu, aku sempat tidak masuk beberapa hari kan Ida?” Kata Dila mulai menjelaskan. “Iya, terus?” “Lalu kamu memutuskan untuk menjengukku setelah pulang sekolah. Namun, kamu malah mendengar yang kurang baik untukmu. Dan itu, sebenarnya bukan aku, Ida…” “Hah? Lalu siapa?” “Dia itu adalah saudara kembarku, yakni dia ini Dillian.” kata Dila sambil menepuk lembut paha orang itu yang disebutnya saudara kembar. “Hah? Emang iya? Kenapa tak bilang?! Pantas saja mirip, lalu gimana?”
“Nah, waktu itu Dillian bukan beneran mau membunuh seseorang. Namanya kan sama, Ida kan. Itu nama temennya di seberang, dan itu masih ada kata lanjutannya. Apa sih itu Dil?” “Aku akan membunuh kekagetannya si Ida dengan kejutan yang tak terduga saat hari ulang tahun, hahaha” katanya melanjutkan. “Jadi…” kataku mulai mencerna pembicaraan tadi. “Iyap, benar. Aku semenjak itu sakit-sakitan dan makin parah. Aku berpikir kamu mau datang, tapi aku tunggu tidak ada karena takut tertular. Jadi selama itu hanya di rumah saja, sampai akhirnya aku bertemu kamu kembali di kampus, Ida…” Katanya menjelaskan dengan tersenyum.
Perasaan ini tiba-tiba terasa lega. Tidak tahu kenapa, tapi mendengarnya aku merasakan seolah kejadian dari itu sudah menghilang begitu saja. “Ya sudah, deh. Aku minta maaf dengan perkataanku yang kasar selama ini, kenalin aku Dillian.” katanya sambil mengulurkan tangan. “Okela, aku juga ya. Malah sering marahin kamu tanpa sebab!” balasku dan kami bertiga pun saling berpelukan.
“Oiya, perkataanku waktu itu yang hidup itu tanpa arti maksudnya kasihan si Dilla dia di rumah terus berharap kamu akan datang kembali untuk melihatnya, begitu Ida!” serunya. “Oohh…, Wah aku salah paham lagi deh!” “Hahahaha” tawa pecah kami bertiga pun akhirnya berakhir dengan manis dan tidak ada lagi namanya permusuhan.
Pesan: Jangan melihat dari covernya yang buruk saja, belum tentu isi buku itu keburukan pasti ada kebaikan yang bermakna.
Cerpen Karangan: Salma Nur Hanifah Hai, saya Salma Nur Hanifah sekarang sudah duduk di bangku kelas 11 SMA. Mari berteman denganku, bisa follow @salmaxxhan_
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com