“Aku cinta kamu, Dek!” Ujar Aldi berterus terang. “Aku enggak bisa cinta sama kamu, Kak!” “Kenapa?” “Aku udah nyaman begini. Aku tahu gimana nanti alurnya, kita yang awalnya kakak-adik, tau-tau PDKT, terus pacaran, terus putus, terus asing lagi, akhirnya musuhan. Gak mau ah!”
Raya melipat tangan di dada sambil mengerucutkan bibir. Sedangkan laki-laki di depannya malah tersenyum manis. “Ya udah. Ok. Kakak ngerti. Jangan cemberut dong! Jelek nanti!” “Idih.. bisa banget ngerayunya,” Raya mendelik sebal menanggapi godaan ‘kakaknya’. Lantas mereka pergi ke kantin berlarian setelah Aldi mengacak kencang rambut Raya hingga mengundang geraman kekesalan dari si ‘adik’. “KAK ALDIIIIIII!!! AWAS, YA!!!!”
—
“Gue cabut, guys!” Aldi memasang helmnya sambil siap menancapkan kunci motor maticnya. “Jam segini biasanya lo beli martabak terus lo kasihin ke si Raya. Gak bosen lo, Di, hubungan tanpa status terus?” Umpat Rendi kesal. Aldi menggelengkan kepala namun bibirnya tetap mengulas senyum. Tak peduli lagi omongan para sahabatnya yang menyayangkan dirinya hanya menjalani hubungan tanpa status alias ‘adik-kakak’. Basi! “Ya seenggaknya adik yang di kost Pak Munir bisa dimesrain daripada yang di rumah!” Kelakar Dimas dengan tawa membahana. “Berisik, kalian. Udah ya gue cabut dulu. Bye!”
Sepeninggal Aldi membeli martabak seperti dugaan teman-temannya, Dimas dan Rendi masih saja mengumpati teman tongkrongannya yang bodohnya kebangetan.
Tidak bisa menjalin kasih dengan status pacaran, tak apa menurutnya. Toh, saat ini rasanya sama saja, Aldi bisa dekat-dekat dengan Raya meskipun tanpa ikatan apa-apa. Meskipun hanya ‘adik-kakak’ namun rasanya seperti pacaran seperti biasa. Jalan berdua, nonton, ngobrol, antar jemput sekolah, dan hal-hal lain yang biasa orang lain lakukan dengan status pacaran.
“Nih!” Sebungkus martabak manis terulur dari tangan Aldi untuk Raya tersayang yang terlihat sedang kelaparan. “Aaaaa makasih, Kak!” Pekik Raya senang. Sebuah pelukan mengagetkan Aldi saat ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan ‘adik-kakak’ mereka, Raya memeluknya dengan erat tanpa tanggung-tanggung. Dengan gugup, Aldi membalas pelukan itu. Sedetik canggung, namun detik berikutnya dengan yakin Aldi membawa tubuh mungil itu ke dadanya. Wangi tubuh Raya membuatnya tenang, tanpa sadar ia memejamkan matanya.
Tapi tak lama, karena kini Raya melepaskan pelukan itu seolah tersadar dengan apa yang ia lakukan. “E-eh, maaf Kak!” Cicit Raya sambil meringis. “Aku nggak sadar!” Lanjutnya gugup. “I-iya, gak apa-apa Ray. Maaf kakak juga terbawa suasana.” Bohong! Kalau boleh, Aldi ingin mengulang lagi. Boleh tidak? Aldi menggaruk rambutnya yang tak gatal. Begitu pun Dinda yang membawa rambutnya tuk ia tarik ke belakang telinga. Rasa canggung mendominasi mereka sekarang.
“Besok mau dibawain apa?” Tanya Aldi memecah keheningan di antara kecanggungan yang tercipta. “Hmm.. nggak usah ah, bikin repot kakak aja!” “Enggak, Dekkkkk!” Kilah Aldi lembut sambil tersenyum manis. Ah, apa ini nggak salah? Raya deg-degan ketika kata ‘adek’ mengalun merdu dari bibir Aldi. Lembut, menghanyutkan dan mendebarkan.
Meskipun terdengar sepele, Raya merasa sangat disayang ketika kata jimat itu terdengar. Mereka memang ‘adik-kakak’ tapi jarang sekali Aldi memanggil dirinya dengan sebutan itu. Biasanya Ray, Raya atau Rayanaka kalau ia sedang emosi ketika Raya tidak menurut atau bikin masalah. Tapi setelah kata jimat itu terdengar lagi, Raya merasa ada setitik perasaan aneh dalam hatinya.
“Sate mau?” Raya menggeleng. “Ayam bakar?” Tanya Aldi lagi. Raya menggeleng lagi. Aldi mengusap dagunya berpikir. “Sop iga?” Raya menggeleng lagi. “Terus mau dibawain apa?” “Nggak usah bawa apa-apa.” “Loh kenapa?” “Nanti uang kakak habis.” Aldi tertawa keras melihat tingkah ‘adiknya’ yang cemberut tampak tak enak hati karena Aldi selalu membawa makanan setiap hari di waktu sore. “Enggak lah Raya. Tenang aja. Besok suprise deh kakak bawa apa! Kamu tinggal makan yang banyak!” Raya masih memperlihatkan wajahnya yang tidak enak hati, sekaligus raut wajah protes karena Aldi sama sekali tak mau mendengarkannya.
“Ya udah, kakak pulang dulu, ya.” Ujarnya sambil siap memasang helm lagi. Raya mengangguk lesu. Kemudian bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. “Hati-hati bawa motornya. Jangan ngebut! Cepat istirahat! Jangan kecapean!” Dan seabrek peringatan jangan ini dan jangan itu akan menggaung bagai irama musik yang mengalun merdu. Aldi sampai menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan setiap peringatan itu keluar dari bibir mungil adiknya. “Iya Rayaaaaa.” putus Aldi sambil mencubit pipi Raya gemas yang membuat Raya mencebik. Tuh kan! Lagaknya sudah seperti orang pacaran saja. Pantas, Rendi dan Dimas sampai geregetan karena melihat kelakuan mereka yang katanya hanya ‘adik-kakak’, tapi kelewat mesra.
Waktu terus bergulir, dimana Raya yang sebentar lagi akan naik ke kelas 12, dan itu artinya Aldi akan lulus. Otomatis akan menjadi sebuah hal tidak biasa untuk keduanya. Yang biasanya apa-apa berdua, nanti tak akan lagi. Dan itu membuat Raya tidak nyaman.
“Sebelum kakak meninggalkan sekolah ini, kakak mau bilang, kakak cinta kamu, Raya.” Raya menggigit bibir bawahnya gelisah. “Kamu harus tahu itu.” Lanjut Aldi lagi. Jarak mereka hanya dua meter. Terpisah benteng tak kasat mata. “Hmm.. kalau gitu kakak pulang dulu, ya!” Kata Aldi berpamitan.
1 langkah, 2 langkah, 3 langkah kakinya meninggalkan halaman sekolah yang sudah sepi dari acara perpisahan kelas 12. Raya termasuk panitianya. 4 langkah, 5 langkah derap kakinya semakin membuat dada Raya sesak. Aneh. Itu yang dia pikirkan. Hingga langkah ke 6, Raya mengejar laki-laki itu dan memeluknya dari belakang dengan posesif.
Aldi tersenyum penuh kemenangan. Hatinya bersorak, karena sejak dulu ia mengungkapkan cinta, namun tak kunjung dibalas. Dan kini, cintanya bersambut. “Aku mau jadi pacar, kakak.” Lirih Raya dengan pelan, namun Aldi masih bisa mendengarnya. Secepat kilat Aldi membalik tubuhnya hingga kini berhadapan. Ia memeluk Raya dengan erat, menyalurkan rasa bahagianya yang teramat dalam. Diterima cintanya setelah beberapa kali mengungkapkan cinta tapi ditolak. “Terima kasih, Raya. Kakak benar-benar cinta sama kamu.” Raya tersenyum dalam dada Aldi, sambil mengangguk, Raya berucap, “Raya juga cinta sama Kakak.” “Bukan sebagai kakak, kan?” tanya Aldi memastikan. Raya tersenyum penuh arti. “Bukan, tapi sebagai seorang lelaki.”
Seketika senyum bahagia terpancar dari bibir tipis Aldi. Lantas dibawanya lagi Raya ke dalam pelukan dengan sama eratnya. Dikecupnya kepala itu dengan bertubi-tubi. Hingga mereka sepakat mengurai pelukannya, dan menyisakan mata yang saling menatap dalam. Entah siapa yang mengikis jarak hingga wajah mereka saling berdekatan. Hingga sebuah deheman keras membuat mereka saling menarik diri. Terciduk. “Ekhem! Masih siang, woy!” “Sialan Rendi!” Umpat Aldi mengeram.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ipeeh.h (instagram)
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com