BUK! Alin membanting bukunya diatas meja cokelatnya. Dia lantas membanting tubuhnya diatas kasur empuk miliknya. Perlahan air matanya pun keluar. Alin tidak menahannya sekarang, karena sekarang Alin sendirian. Ini waktunya ia meluapkan semua rasa hatinya. Ini Alin yang sebenarnya. Alin yang asli ada disini!
Sekitar sepuluh menit tenggelam dalam tangisannya, tiba-tiba ponsel Alin berbunyi. Vera: Lin, nanti malam aku ke rumah ya. Ajarin aku tugas IPA. Pesan yang membuat Alin makin benci dengan dirinya. ‘Kenapa harus aku yang seperti ini?’ Tanya Alin dalam hatinya. ‘Kenapa… kenapa bukan orang lain saja..’ Ya, Alin benci dirinya sendiri.
Alin adalah seorang anak yang pintar. Hampir setiap semester ia mendapat peringkat satu. Dia anak yang mudah memahami pelajaran dan cepat menghafal. Alin menguasai semua mata pelajaran, kecuali olah raga. Alin mempunyai kekurangan pada fisiknya. Dia terlahir prematur. Dia terlahir dengan kaki yang panjangnya tidak sama. Jadi bisa dibilang kaki Alin pincang. Meskipun selisih panjang kakinya tidak terlalu banyak, tetapi tetap saja membuat Alin berbeda dari lainnya. Tetap saja membuat jalan Alin menjadi terlihat aneh, dan Alin tidak suka itu.
Sejak kecil, Alin sangat dimanja oleh keluarganya. Alin benar-benar disayang dan dijaga. Apalagi oleh ketiga kakaknya, ia sangat dilindungi. Dulu Alin bangga diperlakukan seperti itu. Tapi sekarang, Alin benci dengan perlakuan itu. Dia merasa seperti kanak-kanak jika terus diperlakukan seperti itu. Apalagi dia tahu jika keluarganya memperlakukannya seperti itu, selain karena sayang, juga karena kondisinya.
Alin sering sekali merepotkan teman-temannya di sekolah. Karena kondisi fisiknya, Alin tidak bisa berjalan dengan kecepatan berjalan orang pada umumnya. Alin juga tidak bisa berlari. Bukannya tidak bisa, hanya saja ia tak mau. Karena kalau berlari, gerak Alin terlihat semakin aneh. Seperti bebek kalau menurut Alin sendiri. Alin sering meminta temannya untuk menungguinya ketika berjalan. Kadang ia juga meninta mereka agar tidak berjalan terlalu cepat. Beruntung Alin memiliki teman yang mau mengerti dirinya. Banyak teman-teman Alin yang mendekatinya hanya untuk memanfaatkan kepintaran Alin saja. Munurutnya, hanya Shila dan Zora yang mau berteman dengannya secara tulus.
Shila dan Zora mengerti, sebenarnya Alin juga enggan seperti ini. Ia tidak mau terus-menerus merepotkan orang lain disekitarnya. Mereka tahu Alin juga belajar untuk memperbaiki ini semua. Belajar untuk lebih mandiri. Hanya saja, jarang ada orang yang menyadarinya.
“Lin udah dong, jangan nangis.” “Iya Lin udah, gak usah dengerin mereka.” “Disini masih ada kita. Kamu jangan sedih, udah ya nangisnya?”
Setelah kejadian di sekolah tadi, Alin benar-benar jengkel pada dirinya. Bodoh sekali! Pidato seperti itu saja dia tidak bisa, payah!
Alin memiliki perasaan gugup yang berlebihan jika dia berdiri ditempat yang menurutnya tidak nyaman. Hal itu membuat kakinya bergerar hebat saat berdiri. Itulah yang terjadi di sekolah ketika ia berpidato.
Alin ditunjuk untuk mengikuti lomba pidato antar kelas. Ia sudah berusaha menolaknya karena ia tahu hal ini akan terjadi. Namun tetap saja ibu kepala sekolah memaksanya ikut. Pada akhirnya apa yang ditakutkan Alin pun terjadi. Alin sangat malu. Ia ditertawakan satu sekolah. Alin langsung kabur pulang ke rumah setelah turun dari panggung, yang ternyata disusul oleh Shila dan juga Zora.
Sekarang ketiganya berada di kamar Alin…
Shila dan Zora masih berusaha menenagkan sahabatnya itu. Mereka tahu Alin pasti sangat malu. Tapi mereka yakin Alin pasti sudah berusaha sangat keras agar hal ini tidak terjadi.
“Shila.. Zora..” panggil Alin pelan disela tangisnya. “Iya?” “Aku segitu bodohnya sampai berdiri begitu saja aku tidak bisa ya?” Ujar Alin merutuki dirinya sendiri. Shila dan Zora termangu mendegar ucapan sahabat mereka.
“Lin kamu jangan bilang gitu. Kamu hebat kok. Jangan dengerin mereka. Mereka gak tahu seberapa besar perjuangan kamu. Mereka cuma bisa ngatain doang tanpa tahu yang sebenarnya.” “Benar apa kata Zora. Kamu gak usah peduliin mereka. Udah ya, jangan nangis lagi.”
Sekarang sebuah senyuman perlahan terukir di bibir Alin. Dia benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Disaat seperti ini, mereka tetap ada disampignya dan menghibur dirinya.
“Terima kasih, teman-teman.” Kata Alin seraya memeluk kedua sahabatnya. Dia berjanji dalam hati untuk terus berusaha memperbaiki semuanya.
Cerpen Karangan: Azka Blog / Facebook: umi