“Kakak gak bisa kasih kepastian kapan Tyo masuk sekolah lagi, tapi kamu sama teman-teman gak usah khawatir, Tyo baik-baik aja, kok.” Gue menghentikan langkah yang hendak ke dapur untuk mengambil minum setelah mendengar suara Kak Tyco yang sepertinya sedang teleponan dengan teman sekolah gue, karena ia membahasakan atau menyebut dirinya ‘kakak’. Begitulah Kak Tyco. Bicara sama teman-teman gue ia lembut, sementara sama adik sendiri kasar banget.
“Tyo lagi gak mau ditemuin sama siapapun dulu. Ada sesuatu yang terjadi yang kakak gak bisa cerita ke kamu, jadi Tyo butuh menenangkan diri.” Gue terus memasang telinga baik-baik agar bisa mendengar jelas percakapan antara Kak Tyco dengan teman gue itu.
“Makasih banyak, ya, kamu sama teman-teman udah perhatian sama Tyo. Nanti kakak sampein salamnya ke Tyo,” Setelah mengatakan kalimat itu, telepon pun ditutup. Kak Tyco kembali meletakkan handphone gue di samping telepon rumah. Semenjak keadaan gue kayak gini, gue jarang banget menyentuh handphone karena gue udah gak bisa menggunakannya lagi.
Biasanya handphone gue gunakan buat mendapat pengetahuan yang mungkin gak didapat di sekolah dengan menjelajahi di google, sebagai media hiburan gue dengan menonton youtube dan membuka sosmed untuk menambah pertemanan di dunia maya. Kini, TV-lah pengganti handphone tersebut walau gue cuma bisa mendengarkan aja, yang penting ada hiburan yang buat hidup gue gak sepi-sepi banget.
“Telepon dari siapa?” tanya gue yang sebenarnya udah mengetahui jawabannya. “Dari temen lo, Cinta namanya. Dia nanya kapan lo masuk sekolah lagi,” jawab Kak Tyco yang juga memberitahu nama si penelpon itu. “Dia pacar lo, ya?” tambahnya. “Bukan… Dia sekretaris di kelas. Dia yang megang absen anak-anak, mungkin dia bingung mau kasih keterangan di absen gue apa selama gue gak masuk sekolah? Tapi tadi jawaban lo bagus banget, Kak. Ya… Walaupun ada bohongnya sedikit, hehehe,” “Iyalah, gue gitu! Masalah bohong, lo yang tanggung, ya? Gue, kan, berkata bohong buat melindungi elo,” “Enggak! Bareng-bareng, lah. Kita, kan, adik kakak,” “Terus hubungannya apa kalau adik kakak?” “Ada… Tuhan juga tahu, kok,” “Tuhan tahu apa?” “Siapa yang jadi juaranya, hehehe,” “Lagu kali, ah!” “Hahaha,” Iya, memang lagu yang gue maksud. Tapi liriknya bukan Tuhan, melainkan malaikat. “Malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya.” Nah, begitulah liriknya. Kalian pasti tahu, kan, lagunya? Tahu-lah, lagu sebagus itu dan menjadi soundtrack film Indonesia masa gak tahu?
“Emang lo kapan mau balik ke sekolah lagi?” Deg. Pertanyaan yang gak mau gue dengar akhirnya terlontarkan juga dari mulut Kak Tyco. “Mau sampai kapan lo mengumpat kayak gini? Emang lo gak kangen teman-teman lo? Guru-guru lo? Lo gak mau lulus terus kuliah kayak gue?” katanya kemudian.
Iya. Udah sebulan ini gue mengumpat dan menghindar dari semuanya seperti yang dibilang Kak Tyco tadi. Gue belum siap bertemu mereka dengan keadaan yang kayak gini. Setiap kali ada yang datang ke rumah menanyakan gue, Kak Tyco selalu berbohong akan keadaan gue. Sampai akhirnya mereka gak datang-datang lagi karena mungkin kecewa dengan usahanya untuk bertemu gue gak membuahkan hasil.
“Jangan bilang lo gak mau balik ke sekolah?” tambah Kak Tyco yang seakan tahu apa yang dirasakan oleh sang adik saat ini. Sebenarnya gue pengin banget bisa sekolah lagi, tapi sekarang keadaan gue kayak gini. Gue takut gak bisa mengikuti pelajaran kayak biasanya, dan yang paling gue takutin adalah anak-anak gak mau temenan sama gue. Gue juga takut dicemooh mereka karena keadaan gue yang buta gini. Gue merasa jadi manusia yang gak berguna dan gak akan pernah bisa meraih apa yang udah menjadi tujuan hidup gue di dunia ini. Sekarang gue hanya bisa menyusahkan Kak Tyco, bukan membuatnya bangga memiliki adik gue. Gue juga cuma bisa menangis, menangis dan menangis seperti yang udah gue lakukan sebelumnya.
“Gue haus, Kak, mau minum. Gue ke dapur dulu, ya?” dalih gue untuk menghindari perdebatan dengan Kak Tyco, walau sebenarnya gue memang pengin minum. “Jangan mengalihkan pembicaraan! Gue masih ngomong sama lo dan lo belum jawab pertanyaan gue!” Kak Tyco menarik tangan gue ketika hendak berjalan ke dapur. “Jawab gue, Yo!” “Gu-gu-gue…” “Gue apa, Yo? Ngomong yang betul! Lo buta, bukan bisu!” “Gue gak mau balik ke sekolah!”
Setelah mengatakan itu, tubuh gue didorong dengan kencang oleh Kak Tyco hingga jatuh ke lantai. “Lo mau jadi apa gak sekolah?” ucapnya marah. “Mau jadi gembel? Pemulung? Udah cacat, gak ada pendidikan!” tambahnya. Gue membelalakkan mata mendengarnya. Bicara apa Kak Tyco? Gue yang sakit hati mendapat cemoohan dari kakak sendiri, buru-buru bangkit untuk meninggalkannya ke kamar. Sebelum itu, gue mencari tongkat penunjuk jalan yang tadi sempat terlempar ketika gue jatuh. Udah meraba lantai ke sana ke sini, gue gak menemukan tongkat itu. Ternyata benda itu diambil oleh Kak Tyco. “Tongkat ini gue ambil, lo gak boleh pakai ini lagi!” katanya.
Gue lalu berjalan meninggalkan Kak Tyco menuju kamar dengan meraba-raba sekeliling tanpa menjawab ucapannya. Tangan gue sempat gak sengaja mengenai tubuh Kak Tyco ketika mungkin gue berjalan di samping atau depannya. “Awas, depan lo ada bangku!” Gue gak mengindahkan peringatan dari kakak durjana gue itu dan memilih terus berjalan. Namun, ternyata benar, lima langkah di depan gue ada bangku. Gue pun jatuh dengan rasa malu. Malu? Enggak! Ini bukan salah gue karena gak mendengarkan ucapannya. Tapi ini salah dia karena mengambil tongkat gue! “Hahaha… Dibilangin sama kakak gak nurut, sih!” Kak Tyco tertawa melihat gue yang jatuh barusan. “Berisik!” balas gue kesal, lalu melanjutkan jalan menuju kamar dengan berpegangan dinding.
Gue memutuskan untuk gak keluar kamar setelah kejadian ini sampai ketiduran. Setelah bangun, rasa lapar dan haus menyerang gue. Gue benar-benar haus, lapar juga. Ludah gue bahkan gak bisa ditelan lagi karena udah habis, dan perut gue bunyi terus minta diisi makanan. Jika gue keluar dari kamar dan meminta Kak Tyco buatin makanan, dia pasti ngetawain gue dan sok-sok-an jadi pahlawan karena gue gak bisa melakukan apapun tanpa bantuannya.
Beruntungnya, gak lama kemudian, Kak Tyco datang ke kamar gue, mengetuk-etuk pintu sambil berkata. “Yo, buka pintunya! Lo gak mau makan? Udah malem nih… Emang lo gak lapar?” Hah? Udah malam? Pantes aja gue kelaparan. Udah waktunya makan malam.
“Yo, buka pintunya! Kalau gak dibuka gue dobrak, ya?” Kak Tyco kembali berkata, gua tetap gak mau menjawab. Gue masih agak kesal karena ucapannya tadi, tapi gue sayang sama dia, gue juga lapar, tapi gue gengsi karena tadi sempat marah-marah. Gimana dong? Sebelum gue menjawab, Kak Tyco udah berhasil membuka pintu kamar gue yang terkunci dengan cara mendobraknya. Ia lalu menarik tubuh gue untuk bangun dari kasur dengan kasar.
“Lo nanti sakit kalau gak makan! Lo mau nambah nyusahin gue?” katanya kemudian yang udah duduk di samping gue. Lagi-lagi gue gak menjawab ucapannya dan memalingkan wajah darinya. “Gue minta maaf, Yo, karena tadi udah keterlaluan sama lo. Ini, gue balikin tongkat lo. Lo pasti butuh tongkat ini,” Kak Tyco meletakkan tongkat penunjuk jalan gue yang udah dilipat olehnya di telapak tangan kiri gue. Enggak cuma butuh, Kak, tapi butuh banget. Diibaratkan kursi roda, gue gak bisa berjalan tanpanya, begitu juga dengan tongkat tersebut. Tanpa tongkat itu, gue gak bisa berjalan dengan baik karena gue gak tahu ada apa aja di depan gue.
“Lo maafin gue, kan?” Kak Tyco kembali melontarkan kalimat itu sambil menarik wajah gue yang mungkin untuk di hadapkan ke wajahnya. “Gue yang minta maaf, Kak. Gue selalu nyusahin lo,” gue menjawab sambil berusaha menahan tangis yang ingin pecah, karena merasa bersalah udah kesal sama Kak Tyco. Padahal, dia kakak gue yang baik. “Apaan si lo? Lebay, ah! Gue senang, kok, disusahin sama lo, hahaha.” “Maafin gue, Kak,” “Udah, udah… Sekarang kita makan yuk! Gue udah beli mie ayam sama es kelapa,” “Mie ayam sama es kelapanya masih ada udah malam gini?” “Masih, Yo. Ini belum terlalu malam, kok. Baru jam tujuhan,” “Biasanya lo nyuruh gue buat beli, kok sekarang enggak?” “Enggak! Lo bodoh tahu gak? Ditipu mau aja! Gue, kan, udah kasih tahu lo buat mengenal dan membedakan uang kertas kayak gimana, Ini masih aja kena tipu,” “Hahaha… Sorry, Kak. Gue, kan, baru jadi orang buta.”
Iya, pernah suatu siang Kak Tyco menyuruh gue untuk membeli mie ayam dan es kelapa yang tempatnya gak jauh dari rumah. Ia memberikan gue uang selembaran lima puluh ribu. Ia bilang, uang segitu cukup untuk membeli mie ayam dua dan es kelapa dua buat makan siang kita hari itu.
Gue yakin Kak Tyco memberi gue uang lima puluh ribu, namun, si penjual tersebut berkata bahwa uangnya hanya cukup untuk membeli es kalapa aja. “Saya bawa uang lima puluh ribu, kan? Kakak saya bilang, uang ini cukup buat beli mie ayam dua sama es kelapa dua,” sangkal gue pada penjual itu saat ia mengatakan hal tersebut “Gak cukup, Mas. Kakaknya bohong kali?” Penjual itu tetap kekeh dengan apa yang ia bilang. “Tapi kakak saya bilang, uangnya lima puluh ribu,” “Emangnya Mas bisa melihat uangnya ini berapa?”
Gue yang pada saat itu gak tahu berapa uang yang gue bawa pun pasrah menerimanya dan kembali ke rumah hanya dengan membawa dua kantong es kelapa. Bisa jadi Kak Tyco bohong sama gue tentang uang yang ia berikan, atau mungkin juga penjual itu yang bohong, gak jujur dan menipu gue.
“Kok cuma es kelapa aja? Mie ayamnya mana?” Kak Tyco berkata setelah gue tiba di rumah dan melihat gue yang hanya membawa minuman itu. “Lo bohongin gue, kan? Penjualnya bilang uangnya gak cukup buat beli semuanya,” gue menjawab seperti apa yang udah gue alami tadi. “Bodoh banget, sih, lo, Yo! Lo yang dibohongin sama tuh penjualnya. Emang lo gak ngerasain garis-garis yang ada di pinggiran uangnya?” Kak Tyco agak kesal menjawabnya karena memang gue yang salah, sih. “Lo, kan, baru ngajarin gue sekali. Mana mungkin langsung bisa,” bela gue.
Ia pernah mengajari gue buat bagaimana mengenal dan membedakan uang kertas. Jadi selama ini gue baru sadar kalau garis-garis arsir pada sisi kanan dan kiri uang kertas itu ternyata ada fungsinya, bukan hanya didesain begitu aja oleh Bank Indonesia. Mungkin di antara kalian masih ada yang gak tahu sama seperti gue fungsi garis-garis yang ada di pinggiran uang kertas, padahal setiap hari kita menggunakannya sebagai alat tukar pembayaran.
Blind code, nama garis-garis arsir tersebut. Jadi setiap uang kertas memiliki banyak garis arsir yang berbeda-beda sesuai besar nominalnya. Contohnya uang kertas seratus ribu memiliki sepasang garis arsir, lima puluh ribu; dua pasang garis, dua puluh ribu; tiga pasang garis, sepuluh ribu; empat pasang garis, lima ribu; lima pasang garis, dua ribu; eman pasang garis dan seribu rupiah; tujuh pasang garis. Kalian bisa cek sendiri untuk tahu lebih jelasnya.
Bank Indonesia menyetak uang kertas dengan blind code pada tahun 2016 kalau gak salah. Kalau salah, mohon maaf. Omelin aja Kak Tyco, karena dia yang beritahu gue. Kalau mau, kalian browsing aja, ya, di Google. Hehehe. Dengan tujuan untuk memudahkan para tuna netra bisa membedakan uang kertas agar gak tertipu seperti yang gue alami. Gue nyesel banget ketika bisa melihat gak mau cari tahu tentang itu.
Kak Tyco yang gak terima gue ditipu kayak gitu ya, bukan karena uang lima puluh ribunya, mengajak gua kembali ke penjual tadi. Ia gak memarahi sebenarnya, hanya memberi semacam teguran atau nasihat agar menjadi pedagang yang jujur. Karena dampak dari perbuatannya itu bukan hanya menimpa dirinya sendiri. Sekalipun gak langsung ke dirinya, bisa jadi ke keluarganya, anak dan istrinya. Masa kita tega memberi nafkah untuk mereka dengan hasil menipu. Enggak, kan?
“Lo emang kapan mau masuk sekolah lagi?” Kak Tyco kembali bertanya hal itu ketika kami sedang menyantap makan malam dengan mie ayam. “Gue mau balik ke sekolah, kalau gue udah bisa melihat lagi,” dengan sangat hati-hati gue menjawab pertanyaannya, agar ia gak terbawa emosi lagi seperti tadi.
Memang benar, sih. Gue butuh mata untuk bisa belajar di sekolah, karena bagaimana cara gue bisa menerima pelajaran kalau gue gak bisa melihat? Yang ada gue tertinggal jauh dengan yang lain. Sekalipun gue pindah ke sekolah khusus, butuh proses juga untuk gue bisa mempelajarinya, sebab dari awal gue bersekolah di sekolah umum.
“Gue ke kamar duluan, ya. Kalau udah selesai makannya, lo langsung istirahat juga. Mangkuknya taruh di sini aja, biar besok gue yang cuci.” Kak Tyco langsung meninggalkan gue yang masih makan setelah mengatakan itu. Ia gak lagi menyinggung tentang jawaban gue tadi. “Iya, Kak,” jawab gue sambil menganggukkan kepala dan langsung cepat cepat menghabiskan makanan gue.
Selesai makan, gue langsung ke kamar seperti yang diperintahkan oleh Kak Tyco tadi. Sebenarnya gue pengin menaruh dan mencuci mangkuknya sendiri agar gak merepotkan Kak Tyco, tapi gue takut memecahkannya lagi seperti sebelum-sebelumnya. Udah banyak piring dan gelas yang pecah karena gue yang tanpa sengaja menjatuhkannya. Maklum, lah. Gue, kan, gak bisa melihat. Jadi wajar kalau menjatuhkan barang tanpa sengaja, hehehe. Tapi kalau gue lebih berhati-hati lagi, piring sama gelasnya gak akan jatuh sampai pecah. Ah, gue yang salah. Gue yang ceroboh, gak becus dalam melakukan segala hal.
Cukup. Udah waktunya gue harus istirahat sekarang. Kak Tyco juga pasti udah berkelana di dalam mimpinya. Selamat istirahat, Kak. Selamat malam, Gue sayang Lo.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam Blog / Facebook: Siti Mariyam