Jasit diminta untuk menemui Pak Kyai di ndalem. Maka dengan tunduk dan patuh, pemuda berusia 20 tahun itu lekas-lekas meninggalkan masjid pusat menuju ke ndalem. Baginya, perintah Pak Kyai adalah perintah dari seorang raja yang tidak boleh dibantah. Sendiko dawuh atas semua titah Pak Kyai adalah sebuah keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Para santri, termasuk dirinya harus bersikap tawadhu kepada sang guru yang telah mengajarkannya ilmu agama. Sebab tanpa barakah dari Pak Kyai, dirinya tidak akan mampu memahami ilmu yang telah dipelajarinya selama di pesantren.
Sesampainya di luar teras ndalem, ia menguluk salam. Lalu seorang pria paro baya mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dengan bawahan kain sarung kotak-kotak hijau tua membalas salam dari balik tirai bambu yang menutupi teras ndalem. Pria paro baya itu lalu memintanya agar masuk. Jasit pun melepaskan sandal jepitnya di luar ndalem dan ia pun masuk. Ternyata di sana Pak Kyai sudah duduk di atas karpet biru tua yang membungkus lantai. Pemuda itu berjalan dengan jongkok saat menghampiri Pak Kyai. Lantas ia mencium punggung tangan beliau dengan takzim.
Pak Kyai adalah seorang pria paro baya berusia 54 tahun. Rambutnya sebagian telah beruban. Garis-garis lurus sudah terlihat di tepi kedua mata beliau yang selalu menggambarkan kesejukan. Hidung mancung dan wajah yang oval. Beliau selalu mengenakan kopiah putih tandanya kalau sudah naik haji ke tanah suci. Beliaulah pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Darullughoh itu. Sebenarnya, beliau adalah pimpinan kedua setelah abahnya meninggal dunia.
“Anakku, Jasit,” kata Pak Kiai mengawali pertemuannya sore itu dengan berkata kalem. “Enggih, Pak Kiai. Ada maksud apa Pak Kyai sehingga memanggil saya ke ndalem?,” tanya pemuda itu dengan menundukkan kepalanya ke lantai. “Jasit, tadi siang Pak Kyai dapat kabar dari Pak Kusmanto. Beliau menelepon Pak Kyai kalau nenekmu sedang sakit di desa,” ujar Pak Kyai melanjutkan dengan memasang wajah bermuram durja. Jasit yang mendengar kabar itu tersentak kaget. Lantas wajahnya dihinggapi mendung kelabu kehitaman. Lalu rintik-rintik hujan jatuh membasahi hatinya. “Apa, Pak Kyai?!,” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Iya, Jasit. Bu Kasimah jatuh sakit. Pak Kusmanto, Pakdemu yang mengatakan begitu pada Pak Kyai,” Pak Kyai berusaha menjelaskan untuk meyakinkan hati Jasit. Jasit tidak bisa membendung tangis yang merobek pertahanan jiwanya. Begitu juga dengan Pak Kyai yang telah merawatnya seperti anak kandungnya sendiri.
“Lantas oleh sebab itu, Pak Kyai meminta kamu supaya pulang ke kampung untuk menengok nenekmu, Le. Rawatlah nenekmu. Mengabdilah kepada beliau di ujung sisa-sisa umurnya,” tutur Pak Kyai memberinya nasehat. “Lalu bagaimana dengan hafalan Alquran saya, Pak Kyai?,” tanya Jasit dengan berat hati. “Merawat orangtua adalah lebih baik daripada menghafalkan Alquran, Jasit. Benar Alquran adalah kalamullah, tapi orangtua adalah wakil Allah di atas muka bumi. Kamu bisa melanjutkan hafalan Alquranmu sambil merawat nenekmu. Insya Allah kamu akan dengan mudah menghafal Alquran dengan cara merawat beliau,” tukas Pak Kyai dengan berkata lembut. “Sendiko dawuh, Pak Kyai. Titah Pak Kyai adalah titah Allah buat saya”
Jasit menginjakkan kakinya di Pesantren Darullughoh sejak ia berusia 8 tahun. Kedua orangtuanya telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat ketika naik haji ke tanah suci. Saat itu ia masih berusia 7 tahun. Ayahnya adalah seorang petani lada. Sedangkan ibunya pedagang rempah-rempah di pasar. Namun untuk mengobati neneknya yang menderita penyakit paru-paru dan jantung, ladang ladanya dijual kepada salah satu orang terkaya di kampungnya. Sejak itulah kehidupan keluarganya jatuh miskin. Namun Pakde satu-satunya yang ia miliki tidak ingin keponakannya itu tidak bisa mengenyam bangku sekolah. Lalu ia dimasukkan ke Pesantren Darullughoh. Sementara neneknya dirawat di rumah pakdenya.
Selama di pesantren, Jasit dikenal sebagai anak yang mudah menangkap pelajaran. Ia cepat menghafal apa yang dijelaskan oleh para ustaz. Bahkan ia paling kuat ingatannya. Di usianya yang saat itu masih 9 tahun, ia sudah hafal Nazhom Imrity. Selain itu ia juga telah bisa menulis tulisan huruf pegon, yaitu tulisan Arab Jowo ketika sedang mengikuti pelajaran kitab di kelas. Saking dari pintarnya ia bahkan menjadi buah bibir di pesantren maunpun di ndalem. Sampai-sampai kabar tentang kecerdasannya terdengar di telinga Pak Kyai. Penasaran, Pak Kyai lantas meminta pada salah satu ustadz agar membawa Jasit kecil untuk menemui beliau di ndalem.
“Namamu siapa, Nak?,” tanya Pak Kyai kala itu. “Jasit, Pak Kyai. Muhammad Jasit,” jawab Jasit kecil. Pak Kyai manggut-manggut. “Siapa yang mengantarkanmu mondok di sini, Nak?” “Pakde saya, Pak Kiai” “Lho orangtuamu kemana?” “Jasit ini anak yatim piatu, Pak Kyai,” kali ini ustadz yang menemani Jasit yang menjawab. Pak Kyai mengerutkan keningnya. “Memangnya apa yang menjadi penyebab kematian kedua orangtuanya, Taz?” “Kedua orangtua Jasit mengalami kecelakaan pesawat saat hendak berangkat naik haji ke tanah suci saat ia masih berusia tujuh tahun, Pak Kyai,” ustaz itu kembali menjawab. Mendengar jawaban itu, Pak Kyai meneteskan airmata. Lalu ia memeluk tubuh kecil Jasit dengan penuh kasih sayang.
“Mulai detik ini, kamu akan saya anggap layaknya anak sendiri, Nak” Ustaz yang menyaksikan momen itu juga ikutan menangis. “Kamu yang pandai selama nyantri di sini ya, Nak!,” kata Pak Kyai sambil mengelus-ngelus rambut bocah itu.
Sejak itu Jasit mendapat perhatian khusus dari Pak Kyai. Setiap pagi dan sore, dengan telaten Pak Kyai mengajarinya tata cara membaca Alquran dengan baik dan benar. Beliau juga mengajarkannya cara membaca kitab kuning. Jasit tidak sendiri. Ia belajar bersama-sama anak-anak Pak Kyai yang usianya sepantaran dengannya. Di situlah ia akhirnya bersahabat baik dengan anak-anak beliau termasuk dengan anak perempuan Pak Kyai yang bernama Neng Hulya. Sebab itulah, sangat berat bagi Jasit untuk meninggalkan Pak Kyai dan pesantren. Karena di sana banyak kenangan indah selama dua belas tahun.
Sesampai di kampung halamannya, Jasit tinggal di rumah neneknya yang terbuat dari rumah panggung kayu. Penerangan rumah itu hanyalah lampu petromaks. Setiap hari ia harus merawat sang nenek yang tengah terbaring sakit. Termasuk menanak nasi dan memasak. Untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari, Jasit rela bekerja dengan menjadi loper koran. Ia menjajakan koran lokal dan nasional di persimpangan lampu merah di pusat kota. Dari hasil menjual koran yang tidak seberapa, kadang untung, kadang buntung, dia bisa membeli sekilo beras dan lauk tempe. Sedangkan sisanya ia kumpulkan di dalam celengan untuk dibuat membeli obat. Setiap bakda Subuh ia harus berangkat kerja untuk mengambil koran yang akan ia jual di lampu merah.
“Koran, koran! Koran, koran!,” teriaknya dari mobil ke mobil. “Dek, koran!,” panggil seorang bapak-bapak berpenampilan klimis memanggil Jasit. Lalu pemuda itu segera menghampiri mobil warna silver tersebut. “Koran, Pak?” “Berapa harga korannya satu?,” tanya bapak-bapak itu seraya membuka kacamata hitamnya. Jasit kenal dengan pria itu, tapi tidak dengan pria tersebut. “Enam ribu rupiah, Pak!” “Enam ribu rupiah? Bukan lima ribu rupiah?” “Harga koran saya dengan koran milik teman saya itu sama saja, Pak” “Jangan bohong kamu! Nak, koran!,” pria itu memanggil temannya Jasit. “Koran, Pak?,” tanya anak lelaki berambut merah. “Berapa harga koran ini?” “Lima ribu rupiah, Pak” Pria itu lantas melihat ke arah Jasit dengan sorot mata tajam. “Lima ribu rupiah dibilang enam ribu! Mau menipu saya kamu ya?! Awas kamu! Saya penjarakan kamu!” Jasit melihat ke arah temannya itu. Dan anak lelaki tersebut tersenyum dengan licik padanya.
Pulang dari berjualan koran, Jasit langsung membeli sekilo beras dan lauk tempe untuk makan siang dirinya dan nenek di rumah. Namun siang itu, ia kaget karena ternyata di rumahnya ia melihat seorang gadis berkerudung yang sedang menengok neneknya. Nama gadis itu adalah Humaira.
“Eh, ada Mas Jasit!,” seru gadis itu seraya mengulum senyum. “Eh, Ira. Sudah lama?,” sapa Jasit. “Barusan, Mas. Oh iya, Mas. Aku bawakan serantang nasi lengkap dengan lauknya buat makan siang sampeyan dan nenek,” kata gadis itu.
Jasit merasa kalau gadis yang membawakan makanan itu hanya karena iba kepada dirinya. Dan ia tidak mau mendapatkan empati dari orang lain. Tapi dengan berkata lembut, gadis itu mengatakan kepada Jasit kalau dirinya sama sekali tidak terbebani. Bahkan ibu sang gadislah yang menyuruh putrinya itu untuk membawakan makanan buat nenek dan Jasit. Sejak itulah, ketika Jasit keluar kerja, gadis itulah yang bergantian menemani Nenek Kasimah.
Dua bulan kemudian, Jasit meninggalkan pekerjaannya sebagai loper koran. Dengan ijazah SMA yang ia miliki dari pesantren, ia ditawari sebuah pekerjaan dengan menjadi guru Madrasah Diniyyah Takmiliyah yang berada di masjid dekat dengan rumahnya. Jadi setiap sore, Jasit mengajar ngaji anak-anak kampung hingga menjelang pukul lima sore. Dari mengajar ngaji, ia memperoleh honor yang cukup untuk membeli bahan-bahan sembako selama satu bulan. Dan sisanya ia tabungkan. Dengan pekerjaannya saat ini, Jasit bisa melanjutkan cita-citanya yang sempat tertunda yaitu menghafalkan Alquran Karim. Bahkan tidak sampai tiga bulan, ia telah hafal 30 juz Alquran.
Namun, ketika ia berhasil mewujudkan impiannya untuk menghafal Alquran, kondisi kesehatan neneknya semakin memburuk. Lantas bersama pakdenya, Jasit melarikan neneknya ke rumah sakit kota agar mendapatkan pertolongan. Sayang seribu sayang, nyawa neneknya tidak bisa tertolong. Neneknya mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Pagi itu, Jasit mengantarkan jenazah neneknya ke peristirahatan terakhir. Dan ketika para pentakziah sudah pulang, ia masih berdiri dengan ditemani oleh Humaira. Gadis itu tampak setia pada Jasit karena sejak kecil telah jatuh cinta padanya. Pada saat yang sama, seorang gadis berkerudung datang tiba-tiba. Dan saat Jasit menoleh, ternyata gadis itu tidak lain adalah Neng Hulya. Jasit benar-benar dirundung dilema. Dua gadis cantik saat itu berdiri menemani kesendiriannya. Mereka berdua sama-sama mencintainya. Tapi, siapakah yang dipilih oleh Jasit?. Hanya dirinya yang tahu.
Ruang Hampa, Februari 2021
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Khairul Azzam El Maliky, Auhtor and novelis. Penulis novelette Sang Nabi (Liezer Publisher,2021), Metamorfosa(Galaxystar Publishing,2021) dan ke 20 novel lainnya. Fb: @khairulazzamelmaliky. Twitter: @kh_elmaliky. Peraih penghargaan double sebagai penulis terbaik untuk cerpen Lima Belas Tahun & Dia Berlabuh ke Lain Hati: nasional 2021.