Tak terasa usia Dewi sudah berkepala tiga. Dia terlalu sibuk bekerja sehingga melupakan urusan cinta. Baginya, mungkin itu bukan soal, tapi bagi orangtuanya itu masalah.
Di masa pandemi covid 19 badannya bertambah subur karena bekerja dari rumah membuat makan dan ngemilnya kurang terkontrol. Ditambah lagi ia jarang olahraga.
“Dik sampai kapan nih kerja dari rumahnya?” “Ya sampai korona habis.” “Waduh, korona kayaknya makin parah.” “Ngapain sih Ma nanya gitu?” “Kamu itu lo enggak kontrol makannya. Coba timbang badan. Perasaan sih kamu tambah gemuk,” kata Mamanya di suatu siang. “Biarin,” jawab Dewi cuek. Dia tidak berpaling dari laptopnya. “Enggak capek ngadep laptop dari pagi?” tanya Mamanya lagi. “Jam empat sore Ma, selesainya. Sama dengan kerja biasa.” “Waduh, delapan jam ngadep laptop?” “Udah biasa Ma…”
Pak Jono, papanya yang sudah lima tahun ini pensiun dari abdi negeri kebingungan menjawab jika kawannya bertanya tentang berapa cucunya saat ini. “Anak sekarang memang tidak seperti jaman kita,” kata Pak Alex, sesama pensiunan ketika bertemu di BRI untuk mengambil gaji pensiun. “Menikah itu nomor sekian, mereka menunggu mandiri dulu baru mau nikah,” jawab Pak Jono. “Betul, Anak sekarang memang begitu. Kalo sudah kerja, punya rumah, motor, mobil, dan lainnya baru mikir nikah,” kata Pak Wiji yang tiba-tiba ikut nimbrung ngobrol. “Tidak seperti kita, jadi pegawai negeri golongan dua saja sudah ngebet kawin,” kata Pak Jono. “Hahaha,” tawa mereka meledak kemudian diikuti batuk-batuk. Ya, mereka tak muda lagi. Tapi dengan bertemu di bank setiap bulan untuk ambil pensiunan adalah obat anti pikun yang mujarab. Dan lagi mereka meyakini bahwa silaturahmi memperpanjang umur.
Satu per satu para pensiunan itu dipanggil teller bank untuk menerima gaji pensiunnya. Ada yang terima utuh, dan ada pula yang harus dipotong cicilan hutang. Tinggal Pak Jono dan Bu Tutik yang belum dipanggil.
“Gimana Jon, kapan mantu lagi?” tanya Bu Tutik “Entahlah Tut, dua anakku gila kerja semua,” jawab Pak Jono. “Anak zaman now,” kata Bu Tutik. “Dulu yang mbarep juga telat nikahnya. Kini adiknya kok juga gak kepikiran nikah. Sibuk kerja mulu,” kata Pak Jono sedih. “Jadi belum nimang cucu nih?” tanya Bu Tutik sambil tersenyum. “Belum dikasih,” jawab Pak Jono. “Cucuku sudah sebelas. Sebentar lagi satu lusin pas.” “Ya, doakan putriku cepat dapat jodoh.” “Dijodohkan saja?” “Sama siapa?” “Sama anak-anak teman kita ini sesama pensiunan, masak sudah menikah semua?” “Entahlah, aku ndak tahu.” “Coba kirim foto putrimu, biar aku bantu carikan jodohnya.” “Nantilah aku fotokan, di HP-ku kayaknya tak ada.”
Dewi mendapatkan jodoh. Untungnya calon suami Dewi bukan dari kalangan anak-anak para pensiunan itu. Itu melegakan Pak Jono. Pak Jono menggelar pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga saja dan kalangan terbatas karena situasi pandemi covid 19 yang semakin menggila.
“Kapan papa nimang cucu nih?” kata Pak Jono ketika semua anak dan menantunya berkumpul di rumahnya. “Belum dikasih Pa,” jawab Shanti, putri sulungnya. “Pokoknya semua jangan kerja mulu ya,” kata Pak Jono. “Siyap Babe,” jawab Dewi melucu.
Meski cengkrama keluarga itu belum lengkap karena belum hadirnya seorang cucu di antara mereka, suasana akrab dan bahagia selalu terpancar di keluarga itu. Pak Jono selalu berdoa agar Tuhan segera memberinya cucu supaya semakin lengkap dan sempurna kebahagiaan mereka.
Namun, tahun demi tahun berlalu tanpa tangis bayi di antara keluarga anak-anaknya. Segala ikhtiar sudah mereka lakukan tetapi semuanya masih nihil. Masih belum berhasil.
“Anak-anak kok tak segera ngasih cucu sih?” kata Pak Jono. “Memang biar genetikmu berhenti sampai di sini saja,” jawab istrinya jengkel. “Maksudmu?” tanya Pak Jono “Biar gak banyak orang cerewet seperti kamu,” jawab istrinya sambil tertawa.
Cerpen Karangan: Suwar Blog / Facebook: Suwarsono S.