“Anakku… anakku sing manis jo pijer nangis… sun gendong sun lelela lela…” seperti biasa senandung itu kerap dinyanyikan Bapak dipagi hari tepat di kursi kayu reyot depan rumah sembari meminum kopi hitam dengan spesifikasi gula dua sendok teh dan diaduk searah jarum jam.
“Pak… Bapak, itu tolong Pak Said suruh tunggu sebentar, Ibu mau beli sayur,” pinta istrinya yang sedang terburu-buru mencari kerudung dan dompet coklat bergambar wayang yang didapat dari membeli perhiasan di toko emas.
“Pak Said tunggu sebentar! Ini Ibu katanya mau beli sayur,” teriak Bapak untuk menghentikan Pak Said, seorang tukang sayur yang perawakanya seperti tukang sayur yang kita bayangkan. Dengan kaos polos, handuk yang dikalungkan serta gerobaknya yang kerap menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu. “Siap pak, ini saya titip sebentar ya, saya mau ngantar pesenannya Bu RT.” Pak Said menghentikan laju gerobak sayurnya didepan rumah Bapak dan berjalan menuju rumah Bu RT membawa sebuah bungkusan plastik yang berisi bahan-bahan masakan yang dipesannya sehari yang lalu. “Iya taruh situ saja, saya awasi dari sini,” jawab Bapak sembari menyeruput kopinya.
Tak berselang lama, sekitar tiga kali seruputan, Ibu keluar dengan daster motif bunga-bunga yang dilapisi jaket dan kerudung hitam yang masih disampirkan di bahunya. “Pak, mana Pak Said?” tanya Ibu sembari memakai sandal bermerk burung dengan warna putih biru yang sudah menjadi sedikit kecokelatan. “Itu gerobaknya masih disana,” jawab Bapak sambil mengangkat dagunya seakan menunjuk kedepan, “mau masak apa Bu?” “Nggak tahu Pak, Ibu juga masih bingung. Ibu lihat-lihat dulu di Pak Said ada apa saja.” Ibu berjalan keluar pagar menuju gerobak sayur Pak Said. Sepertinya ia bertemu dengan Jeng Siti, tetangganya yang memiliki mulut bersertifikasi dalam hal gibah-menggibah. Kalau di arisan Jeng Siti lah yang menjadi orang paling heboh dan suaranya paling nyaring.
“Mau masak apa Jeng?” sapa Ibu kepada tetangganya itu. “Ini lo say, suamiku minta dimasakin sayur asem. Kalau kamu say?” “Nggak tahu Jeng masih bingung mau masak apa?”
Sambil menunggu Pak Said datang mereka melihat-lihat sayur yang ada. Tak menunggu lama dari belakang mereka berdua, sekitar lima langkah dari gerobak, Pak Said datang menghampiri lapak berjalannya. “Ehh ada Jeng Siti dan Bu Asih,” sapa Pak Said pada pelangganya. “Heh… Said! Darimana kamu? Orang mau beli malah ditinggal.” “Ini lo Jeng nganter pesenan Bu RT,” jawab Pak Said sambil mengelap keringatnya dengan handuk kecil berwarna putih yang melingkar di lehernya. “Eh..eh..eh… namanya Bu RT kok beli sayur saja manja, apa sudah nggak mau ketemu sama tetangganya. Eh Bu Asih tau nggak…” Sepertinya Jeng Siti akan melakukan sebuah inisiasi gibah. “Eeesssstttttt… udah Jeng nggak usah ngomongin orang. Rumahnya deket lagi, nanti denger bagaimana,” Ibu nampak menghentikan inisiasi pembicaraan tersebut, karena ia masih bingung mau masak apa untuk hari ini.
“Pak Said ada apa saja sayurnya?” tanya Ibu sambil melihat-lihat sayuran di atas gerobak Pak Said. “Biasa Bu, masih kaya kemarin. Ini saya belum belanja lagi,” jawab Pak Said sambil menunjukan daganganya. Sembari menunggu kedua pelangganya memilih-milih Pak Said melemparkan pertanyaan, “Eh Bu Asih, ngomong-ngomong sekarang Putri kabarnya bagaimana? Katanya bulan lalu pindahan ke Jakarta.” “Iya say, gimana kabar anakmu. Udah lama aku gak ketemu Putri,” timpa Jeng Siti.
Sebelum menjawab pertanyaan itu Ibu terdiam sejenak, seakan ia menemukan sesuatu dalam benaknya. Saat ia terdiam, seperti terdengar suara lirih yang membisikinya sesuatu. Suara itu seperti suara anak kecil yang sangat familiar di telinga Ibu dan seakan suara itu muncul dari memorinya. Sebelum suara itu terulang, ia tersadar dan menjawab pertanyaan mereka. “Iya Jeng, Alhamdulillah Putri sehat, baik-baik saja. Sering kok dia telepon dan ngabari.” “Alhamdulillah, kayanya Putri juga bahagia ya sama suaminya, apalagi suaminya juga kelihatanya sudah mapan. Cocok lah say sama anakmu.” “Iya Jeng,” senyum Ibu mengiringi jawabnya itu,
“eh Pak Said, ada sayur buat sop nggak?” “Emmm… ada, tapi nggak komplit Bu. Wortel, tomat, brokoli sama kentangnya belum belanja saya.” Pak Said mengeluarkan paket untuk sayur sopnya yang hanya berisi sawi, kol, kembang kol dan beberapa plastik bumbu. “Ya sudah nggak papa. Aku ambil yang ada aja.” Ibu sudah memutuskan akan memasak apa hari ini. Ia segera mengambil belanjaannya dan kembali. “Terima kasih Pak,” sambil membayar belanjaanya “Jeng aku duluan ya..” “Iya say, jangan lupa hari minggu datang arisan ya.” “Iyaa..,” jawab ibu sambil berjalan kembali ke rumah.
Ibu kembali masuk ke halaman rumahnya dan melihat Bapak yang masih ada disana bersama cangkir kopinya. “Sudah Bu? Jadinya masak apa?” “Ini Pak, mau masak sayur sop aja,” jawab Ibu dengan senyum yang terlihat jelas di bibirnya. Ibupun mendekat ke kursi di sebelah Bapak kemudian mereka duduk bersama di sana sebagai sepasang orang tua. “Ada apa Bu?” tanya Bapak dengan halus, seakan ia tahu ada yang Ibu pikirkan. Sepertinya Bapak ini seorang laki-laki yang peka. “Jadi teringat dulu Pak?” Ibu meletakkan belanjaanya di samping dan menoleh kearah Bapak yang sedang meminum kopinya sambil mengelus tangan kiri bapak yang berada di samping tubuhnya. “Teringat apa Bu? Utangnya Bu Mawar? Kemarin Bapak ketemu suaminya, katanya bulan depan mau dilunasin,” terkaan Bapak santai dengan gelas yang baru turun dari mulutnya. “Bukan itu Pak,” Ibu menjawab dengan sedikit gemas, “jadi keingat Putri Pak.” Ibu berkata dengan suara yang halus dan senyum tipis yang seakan melukiskan sebuah kenangan yang teramat manis. Mendengar itu Bapak meletakkan kopinya di meja depan mereka. “Kenapa Bu?” tanya halus Bapak dan menyenderkan punggungnya dengan perlahan kebelakang. “Iya Pak, tadi tiba-tiba teringat dulu waktu Putri masih kecil. Dia kan sering ikut Ibu belanja buat masak. Terus waktu pulang dia selalu minta bawain belanjaanya. Yang paling Ibu ingat itu, waktu bingung mau masak apa Putri selalu bilang kalau dia ingin sayur sop saja ditambah makaroni yang plastikan seribuan itu sama sosis,” Ibu menceritakanya dengan penuh kehangatan lalu ia menarik napas dan di akhir helanya ia berkata, “haduh Put..Put…” “Iya Bu, sepertinya dia memang seneng banget sama sayur. Tapi ngomong-ngomong mungkin sekarang dia yang ada di posisimu Bu, dia yang beli keperluan dan masak buat suaminya.”
“Rasanya cepet banget ya Pak, Ibu jadi ingat waktu Putri mau lahir, ingat nggak Pak, dulu jam sebelas malam, perut Ibu rasanya sakit banget. Terus Ibu bangunin Bapak, ngajak ke rumah sakit. Bapak langsung panik dan langsung antar Ibu ke rumah sakit naik motor.” “Ya pasti ingatlah Buk, itu pertama kalinya Bapak mau punya anak. Untungnya dulu kita masih tinggal di sana jadi dekat kalau mau ke rumah sakit. Tapi Putri itu lahirnya pagi jam tujuh ya Bu?” “Iya pak sekitar jam tujuh.” “Bapak aja juga masih ingat Ibu dulu ngidam apa.” “Ngidam apa lo Pak?” dengan tawanya yang malu-malu Ibu mencoba menguji Bapak sambil menepuk pundak suaminya itu. “Ibu dulu ngidam rujak pedes jam sebelas malam. Mintanya aja sambil ngerengek manja manja, katanya harus dibeliin saat itu juga, iya kan?” “Hehehehe..,” balas Ibu sambil tertawa.
Obrolan itu memicu otak mereka untuk menggali kenangan-kenangan yang tersimpan dalam ingatan mereka. “Waktu nunggu Ibu di rumah sakit itu, rasanya Bapak khawatir, mondar-mandir nggak bisa tenang Bapak. Setelah itu susternya keluar Bapak diberitahu kalau proses persalinannya sudah selesai. Bapak langsung masuk, liat Ibu sudah gendong Putri,” ucap bapak dengan suara yang semakin lirih. “Aku juga masih ingat Pak, Ibu nangis waktu pertama kali liat dia keluar. Apalagi waktu susternya suruh diletakan ke dada Ibu. Itu Ibu bener-bener…” Ibu tertunduk kehabisan kata-kata untuk menjelaskan perasaanya saat bercerita.
Bapak yang melihat Ibu bercerita hal itu mengelus-ngelus tangan Ibu sambil berkata, “Bapak waktu itu juga nangis Bu, bahkan sampai lemas dan duduk di lantai. Dalam hati Bapak itu berkata, ‘Ya Tuhan akhirnya aku menjadi seorang ayah’. Bapak juga bener-bener tersentuh. Terus bapak peluk Ibu sama bayinya, tangis dan rasa bahagia campur aduk waktu itu. Itu jadi kali pertama keluarga kita berkumpul, bener-bener masih ingat Bapak. Setelah itu kita nggak bisa tidur dibuatnya, dia selalu rewel malam-malem. Sampai-sampai dulu pernah dia rewel ternyata popoknya penuh dan isinya kemana-mana kena kasur. Haduuhh itu, akhirnya bener-bener nggak tidur.” “Hahahahahha… iya Pak, sering banget ya kaya gitu. Ibu itu masih ingat rasanya waktu nyuapin dia, gendong dia, momong, ngajak main sampai dulu pernah waktu mandiin dia lalu tiba-tiba waktu masih di bak ehh kok dia malah BAB. Haduuhh.. mandi sama eeknya sendiri itu dia.” “Hahahahah… setiap kita ceritain itu dia pasti malu.” “Iya pak, hahahaha…,” canda mereka berdua, “tambah besar, mulai bisa jalan dan bisa ngomong terus mulai belajar baca tulis. Ibu ingat juga dulu waktu dia baru bisa baca, waktu liat buku-buku di pasar dia selalu minta dibeliin.” “Oh iya Bapak ingat, dulu juga sempat Bapak belikan buku sama puzzle. Itu seneng banget dia. Malah saat itu setiap hari minta dibeliin buku baru.” Mereka berdua terus saling berbalas cerita yang telah mereka rajut bersama-sama sebagai keluarga.
Suasana pagi yang hangat itu seakan mendukung mereka untuk mengenang hari-hari yang telah mereka lalui sebagai orangtua. Udara yang segar dan suasana yang menenangkan, mereka berdua duduk bersebelahan di kursi kayu reyot depan rumah mereka. Memandangi awan yang berombak-ombak diangkasa. Terlihat mereka bercengkrama dengan bahagia, Ibu terus melayangkan ingatan-ingatanya dan Bapak mendengarkan dan sesekali membalasnya, disertai seruputan kopi hitam di setiap jedanya.
“Put…put sekarang sudah dewasa, sudah bisa hidup sendiri. Padahal Ibu dulu sering banget kamu buat jengkel, kadang Ibu juga sampe marah-marah, tapi sekarang kok rasanya sepi semenjak kamu pindah.” Raut muka Ibu benar-benar menunjukan apa yang ia rasakan saat ini. Keriput di dahi dan pipi serta matanya seakan ikut bersuara. “Memang sudah waktunya Bu, kita juga sudah nggak muda lagi. Gantian, anak kita yang akan menjalani hidupnya sendiri,” Bapak mengambil cangkirnya untuk satu tegukan dan melanjutkan kalimatnya, “sebenarnya Bapak juga merasa kesepian. Dulu Bapak yang antar jemput dia waktu sekolah, sekalian berangkat kerja, lalu Bapak sempetin keluar sebentar untuk jemput dia pulang. Dulu di jalan, teman ngobrol Bapak ya Putri, terus waktu dia kuliah sudah bisa keluar sendiri, ya Bapak merasa sedikit kesepian Bu. Waktu masih SD setiap Bapak pulang dia juga selalu nunggu di depan rumah terus Bapak selalu beliin jajan habis pulang kantor.” “Terus dia bawa jajan itu dan panggil Ibu, Bu bapak sudah pulang.” “Lalu kita bertiga makan itu bareng-bareng, jajanya kalau nggak gorengan yaa…” “Roti-rotian,” sahut Ibu. “Dulu Ibu juga setrikain bajunya dari putih merah sampai putih abu-abu. Sebelum berangkat selalu Ibu perhatiin dari atas sampai bawah, Ibu juga bedakin dia, sekarang bedak aja sudah nggak cukup semenjak kenal make up. Ibu liat dia semakin besar semakin dewasa,” Ibu semakin dalam mencurahkan ceritanya. Ia mengingat hari-harinya bersama Putri, anaknya dengan jelas. Dengan penuh ketulusan disetiap jedanya Ibu melanjutkan kalimatnya, “mungkin sebentar lagi dia juga akan melakukan itu kepada anaknya. Nyiapin baju, sarapan, antar jemput.” lanjut Ibu. “Kita dulu juga setiap tahun ajaran baru selalu beliin dia perlengkapanya. Walau disempet sempetin utang ke tetangga.” “Hahahahah… Iya Pak, tapi enggak sia-sia kita biayain dia habis-habisan. Dia selalu masuk ke sekolah sekolah favorit. Oh iya Pak, setiap Bapak nggak bisa jemput itu kan Ibu yang jemput dia, sejujurnya Ibu itu selalu merasa bangga liat dia keluar dari gerbang sekolah yang dia inginkan. Ibu liat sekolahnya bagus, murid-muridnya juga kelihatan pinter-pinter Ibu bangga anak Ibu bisa masuk di sana, berprestasi pula. Mungkin kalau seragam-seragamnya bisa bicara pasti juga berkata seperti itu. Karena mereka juga yang nemenin Putri dari SD sampai SMA,” cerita Ibu panjang sambil mengangkat kembali belanjaanya tadi “aduh Pak, nggak jadi masak ini nanti. Ayo masuk aja Pak, ini mau Ibu olah.” “Iya Bu,” jawab Bapak sambil beranjak dan masuk menuju ruang tengah yang mana bersebelahan dengan dapur.
Cerpen Karangan: Adhivana