Sudah sedari tadi ibu mendengar ceramah dari seorang ustadz yang tengah mengisi acara Isra Mi’raj tahun ini. Beliau tidak tua dan tidak muda. Masih tergolong ditengah-tengah, beliau bersyiar tentang terjadinya malam Isra Mi’raj yang dialami Kanjeng Nabi. Bercerita tentang bagaimana Kanjeng Nabi melaluinya lalu menyampaikan kabar bahagianya tersebut kepada umatnya.
Ibu terharu, menyelami setiap kata yang keluar dari mulut sang ustadz. Menghayati setiap perjuangan beliau Kanjeng Nabi.
“Ibu kenapa menangis, Bu?” tanyaku kepada ibu. “Ibu sungguh sedih mendengar cerita perjuangan Kanjeng Nabi menebar tauhid, memberitahukan kabar gembira yang tak dipercaya oleh umat-Nya sendiri,” ucap ibu yang masih mengusap pipi tirusnya menggunakan punggung tangan. “Sudah, Bu. Kanjeng Nabi memang Masyaallah, perjuangan beliau untuk menegakkan nama Islam memanglah luar biasa,” ucapku sembari mengusap punggung ibu tercintaku.
“Ibu ingin bertemu Kanjeng Nabi, apakah Allah akan mengabulkan?” “Ibu, Kanjeng Nabi itu kekasihnya Gusti Allah yang sangat dicintai umat-umat-Nya. Mana mungkin Allah tidak akan mengabulkan permintaan ibu yang sangat mulia ini,” ucapku kepada ibu.
“Ya sudah, sekarang antarkan ibu ke toko tempat berjualan kain kafan,” kata ibuku yang masih tersenyum penuh cinta. “Ibu mau apa beli kain kafan, untuk apa nantinya. Uangnya di simpan saja, lagian ibu harus membeli obat lagi kan?” tanyaku yang mulai mengkhawatirkan kesehatan ibu. “Takdir itu hanya Allah yang tahu, barangkali setelah pulang ini ibu langsung bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi,” ucap ibu lembut.
Aku tak sanggup menjawab kata-kata ibu lagi. Entah, air mata telah muncul di pelupuk mataku. Ingin rasanya aku menjerit sepuas hatiku, meluapkan segala kata yang selalu ibu ucapkan lalu mampu membuatku tak sanggup meraup oksigen jernih.
“Ibuuuuu, tolong jangan katakan itu lagi. Aku tak sanggup mendengar pintamu kepada-Nya,” jeritku dalam hati.
Malam itu aku benar-benar merasa kalut akan perasaanku. Saat ini ibu benar-benar terlelap dan telah siap menjemput bunga tidur yang hinggap untuk sesaat sebelum matahari menyingsing. Aku kembali bersujud di atas sajadah lusuh yang teramat sangat kurengkuh. Sajadah itu, sajadah pemberian ayah sebelum maut menjemputnya. Beliaulah yang selalu memberiku wejangan setiap paginya, menyarankan ini dan itu. Sedangkan ibu, beliaulah penyemangatku. Pemberi vitamin plus untuk menuju mimpi indahku.
Penulis, iya. Itulah mimpiku sedari dulu, menulis berbagai hal yang mampu kuangan hingga pada akhirnya otakku benar-benar terbiasa dengan diksi dan juga sastra. Dan saat ini mimpi itu telah terwujud, Sang Kuasa mengabulkan segala permintaanku. Dengan berbagai genre cerita aku mampu menyelesaikannya dengan cepat. Tak perlu hitungan bulan, 4 minggu aku mampu menyelesaikan 5 genre sekaligus. Entah aku juga tak mengerti bagaimana otakku mampu berjalan sebagaimana mestinya.
Pagi ini ibu menjalankan aktifitasnya seperti biasa, membuatkan sarapan untukku. Beliau terlihat riang, senyum yang menghiasi bibirnya itu telah kembali memberi semangat untukku.
“Ibu ada apa, tidak biasanya ibu sebahagia pagi ini?” tanyaku dengan lembut. “Tadi malam ibu benar-benar bermimpi bertemu dengan ayahmu, katanya ibu tak lama lagi akan menyusul ayah, Nak,” tuturnya. Senyuman yang kucipta pagi itu seakan-akan luntur dengan sendirinya. Ibu kembali mengungkit-ungkit masalah kematian di depan anak semata wayangnya ini.
“Ibu, kan itu hanya mimpi. Siapa tahu ayah minta dijenguk, nanti kita jenguk dan kirim doa untuk ayah,” ucapku sembari msngusap bahu ibu lembut. “Tidak, Nak. Mimpi ibu benar-benar nyata, ibu seperti benar-benar merasakan kehadiran ayah,” tolak beliau. “Ibu, ini masih pagi. Kematian itu hanya Allah yang tahu, rahasia Sang Kuasa, Bu,” ucapku lalu duduk di kursi tempat kami menghabiskan makan bersama.
Lagi, ibu tak menjawab hal ini. Ibu selalu saja seperti itu, membahas masalah kematian dengan raut muka yang nampak teramat bahagia. Padahal aku tak mampu menanggapinya bahkan meresapi, aku benar-benar ingin tutup telinga saat kata itu terucap.
Lantunan qiro’ah mengalun begitu lembut dari toa masjid. Suaranya begitu menenangkan, mampu membuat penghuni jagat ini betah berlama-lama dalam lantunan sajadah cinta-Nya. Ibu masih bersujud dalam diam, hingga air mata keluar dari pelupuk matanya. Beliau terisak sesaat setelah menyudahi sujudnya tersebut.
“Ibu kenapa?” tanyaku lalu tersenyum. “Ibu rindu dengan ayah, Nak. Benar-benar rindu,” ucapnya. “Ibu, cukup doakan ayah itu sudah lebih dari cukup untuk membuat ayah merasa aman di sisi-Nya,” tuturku.
Kembali, tak ada jawaban yang mengisyaratkan bahwa ibu mengiyakan ucapanku. Diam, beliau lebih memilih untuk diam dan termenung daripada mengungkapkan semuanya kepadaku. Penyakit ibu yang semakin hari semakin menggerogoti tubuh rimpuhnya, semakin membuatku was-was akan kesehatannya. Obat kapsul yang biasa ibu konsumsi kini tak mampu memberi efek apa-apa terhadap kesehatan ibu. Aku menangis dalam diam, meresapi setiap bulir yang menetes pada rengkuhan pagi ini. Sepagi ini ibu kembali mengucapkan kata itu.
Hingga satu tahun kemudian, ibu masih terlihat begitu sehat. Akan tetapi jauh dari tahun kemarin, badannya benar-benar kurus dan kulitnya mulai mngeriput. Wajah teduhnya berubah menjadi sendu, dan lebih anehnya pembahasan masalah kematian adalah perbincangan terakhir waktu itu, waktu dimana ibu benar-benar menangis sendu.
“Ibu, satu hari ini Lays harus bekerja di kota. Mungkin nanti sore Lays sudah pulang, Lays ingin mengurus segala keperluan cetak semua buku Lays. Jangan kemana-mana bila memang tidak sangat mendesak ya, semua keperluan ibu sudah Lays sediakan. Maaf karena hari ini Lays harus pergi jauh,” ucapku pagi itu. “Iya, ibu doakan semoga segala urusanmu lancar dan dipermudah oleh-Nya. Ibu tidak apa-apa, Nak. Ibu sehat, buktinya pagi ini ibu makan dengan sangat lahap dan minum obat dengan teratur. Iya, ibu tidak akan kemana-mana. Tapi ibu nanti malam ingin datang di acara pengajian Isra Mi’raj di masjid,” tutur ibu panjang lebar. “Iya, baik nanti malam pergi ke pengajian bersama Lays. Lays harus berangkat sekarang ya, Bu. Takut kalau tidak ada angkutan umum,” ucapku lalu mengecup tangan kanannya. “Iya, hati-hati. Doa ibu menyertaimu,” ucapnya lalu tersenyum.
Malam itu setelah pulang dari pengajian ibu memintaku untuk memijitnya, beliau mengeluh kepalanya sakit. Akan tetapi tak lama kemudian ibu memintaku untuk tidur bersamanya, memeluk tubuh hangatnya yang mulai menggigil. Padahal udara malam ini tidak sedingin malam-malam biasanya.
“Sudah, kepala ibu sudah tidak sakit, Nak. Nanti juga sembuh sendiri, sekarang ibu ingin dipeluk kamu. Ibu merasa dingin sekarang,” ucap ibu yang sudah menarik selimut setelah memintaku untuk memeluknya. “Iya, Bu. Ini Lays peluk, ibu tidur ya. Mimpi yang indah agar besok badannya lebih segar, tadi ibu sudah minum obat kan?” tanyaku dengan nada khawatir namun kututupi dengan nada lembut yang kuucap. “Sudah, ibu minum seperti biasa. Ibu tidur dulu ya, nanti kalau sudah tidur jangan panggil ibu lagi. Ibu lelah rasanya,” ucap ibu sebelum akhirnya terlelap menjemput mimpi indahnya.
Waktu masih menunjukkan pukul 23.00, biasanya aku lebih suka menghabiskan waktu malamku untuk menulis sajak baru. Bermonolog ria dengan ide-ide baruku. Akan tetapi malam ini entah mengapa aku ingin berada di sisi ibu. Memeluk erat ibu yang perlahan mulai teratur nafasnya. Tak lama aku pun ikut terlelap, menyambang mimpi-mimpi indah yang bersemayam di keheningan malam.
Pukul 03.00 dini hari aku terbangun, aku ingin menunaikam sholat malamku. Setelah wudhu, sholat dan juga berdoa memohon segala ampunan dan juga pertolongan aku membangunkan ibu. Karena tidak biasanya ibu bangun lebih dari jam 3, jikalau aku bangun pun ibu sudah lebih dulu bangun lalu menunaikan sholat malamnya dan berakhir pada mushaf Al-Qur’an yang setia beliau baca.
“Ibu, bu bangun yuk. Sudah jam empat kurang lima belas menit lhoo, biasanya ibu sudah lebih dulu bangun,” ucapku lembut sembari menyentuh selimut yang ibu pakai. Akan tetapi ibu tak bergeming sama sekali, beliau masih tidur dengan nyenyaknya. Terlelap dengan syahdunya udara yang mulai merambat masuk melalui ventilasi kamar.
“Bu, bangun yuk. Lays sudah selesai sholat tahajjudnya,” ucapku lagi lalu membuka selimut ibu. Aku terheran ketika tangan ibu dingin seperti habis hujan-hujanan, aku tersadar dan mulai khawatir. Kupegang kedua kaki ibu, hasilnya sama dingin dan mulai memucat. Aku mulai berkaca-kaca, tak kuasa menerima takdir Tuhan jika ini benar-benar terjadi.
Kemudian kubalikkan badan ibu untuk rebahan biasa, tak ada suara nafas di sana. Bibirnya mencetak lengkungan tipis yang terlihat sangat jelas, aku benar-benar tak kuasa menahan sesak ini. Akhirnya kuberanikan untuk menyentuh hidung ibu, merasakan deru nafas dan juga detakan jantung ibu.
Air mataku perlahan luruh, mengalir dengan sangat deras hingga aku membungkam bibirku sendiri. Ibuku telah tiada, beliau telah meninggalkan diriku beserta dunia untuk selamanya. Menyusul kepergian ayah dan bersiap bertemu dengan Sang Pencipta dan juga Baginda Rasulullah. Ibuku pahlawanku, malaikat tanpa sayap yang tak pernah hirap dalam pekatnya malam pun. Aku terjatuh di lantai tempatku berdiri, mencium mayat ibuku yang telah dingin disapu oleh angin malam. Senyum terakhir yang kulihat pagi ini begitu mengiris relungku. Beliau pergi menuju negeri antah berantah yang tak akan pernah kembali.
Aku menangis dalam balutan sepertiga malam yang terasa sangat panjang. Merenungi kepergian ibu, mengingat segala kata yang telah terucap dari bibir ibu tadi malam. Dan itu semua kusadari saat ibu telah pergi meninggalkan dunia ini.
Cerpen Karangan: Putripurr Blog / Facebook: Purnama
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 12 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com