Aroma tanah di pagi hari seusai hujan semalam menusuk kedua lubang hidungku, aku pun bergegas menuju sebuah langgar kecil dengan sarung yang kubalutkan ke tubuh dan peci hitam yang menutupi helaian rambutku. Sang mentari mulai menampakkan dirinya dan membawaku ke sebuah himpitan sawah dan pepohonan asri yang nantinya akan jarang aku rasakan lagi.
”Aku akan kembali lagi dan siap menjunjung tinggi martabat keluargaku nanti,” gumamku dalam hati sambil menatap senyum indahnya sang mentari.
Hari ini aku mulai menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke tempat di mana aku menempuh jenjang pendidikan kuliah. Ya, malam nanti aku berangkat ke Jakarta dan mulai menjadi seorang perantau untuk mengasah otakku agar lebih berisi. Seharian penuh itu aku membantu pekerjaan rumah keluargaku, aku tak punya pembantu, jadi pekerjaan rumah adalah suatu kewajiban yang harus dikerjakan bagiku.
Tak henti-hentinya aku merasakan keresahan di hari itu, rasanya hati tak siap meninggalkan seluruh isi perkampunganku, terutama keluarga dan saudara-saudaraku termasuk teman-teman masa kecilku. Tapi ketika hati merasakan itu, otak menyangkalnya dengan penuh gebuan bahwa aku harus menerima ini dan ikhlas menjalaninya. Ini demi diriku sendiri dan kedua orangtuaku.
Hari sudah menjelang petang, ayah dan ibuku satu persatu mulai datang dari mencari uang. Wajahnya yang ranum membuatku sedih dan tak tega akan meninggalkannya. Seperti biasanya, ketika mereka datang aku pasti mencium tangan dan kedua pipinya. Bau keringat halal merekalah yang selalu mendorongku untuk hidup yang lebih maju.
Meskipun aku seorang lelaki, tapi memasak adalah salahsatu hobiku di rumah. Sore itu aku membantu ibu menyiapkan hidangan lezat untuk makan malam ayah dan adikku. Memasak dengan sepenuh hati membuatku sadar kalau ini akan menjadi romantisme masak aku dan ibuku untuk yang terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke perantauan.
Detikan jam dinding sudah berteriak kepadaku, itu tandanya aku harus berangkat meninggalkan kedua orangtua dan adikku. Menangis, iya aku tak kuat menahan linangan air mata ini. Mencium dan memeluknya adalah suatu kebahagiaan yang tak bisa oranglain berikan kepadaku.
Sepanjang perjalanan menuju tanah perantauan, tak henti-hentinya aku berdoa untuknya agar selalu diberi kesehatan dan semoga dapat kujumpai kembali nanti saat aku pulang.
Setelah tiba di Jakarta, aku mencoba menghilangkan kesedihan itu dan mengganti dengan rasa semangat dan penuh keikhlasan. Ternyata masa-masa kuliah adalah suatu batu loncatan yang sesungguhnya untuk menuju kesuksesan.
Hari demi hari aku menjalaninya, bertemu orang-orang dan kebiasaan baru membuatku butuh waktu setahun untuk beradaptasi dengannya. Aku dari kampung, banyak yang menertawakanku ketika aku berbicara alias medhok. Dan aku tak pernah menganggapnya ia mengejekku, karena itu suatu hal yang wajar dan pasti akan mereka rasakan juga saat tinggal di tanah kelahiran orang.
Alhamdulillah di samping hal itu, semua teman-teman yang aku temui berlaku baik kepadaku. Mereka mengerti bagaimana kebiasaanku di kampung setelah aku menceritakannya. Aku selalu ramah kepada orang-orang yang baru kukenal, tentunya ini salah satu bagian dari yang diajarkan orangtuaku kepadaku.
Ternyata kehidupan di perantauan tak jauh beda dengan kehidupanku di kampung. Hanya aku lebih berat memikirkan bagaimana kondisi kedua orangtuaku di rumah. Tak henti-hentinya aku selalu menanyakan bagaimana kesehatan mereka. Ketika aku sedang merasakan lelah karena tugas kuliah, merekalah yang menguatkanku lagi supaya menjadi berkah.
Semester demi semester aku lalui, nilaiku selalu pas-pasan, aku memang tidak terlalu lihai dalam bidang akademik, namun aku bisa menjadi diriku sendiri di bidang sosial. Menurutku jenjang kuliah tak lagi harus memikirkan bidang akademik saja, tetapi bakat dan minat harus mulai aku temukannya di sini.
Aku cuma berbekal bisa beladiri pencak silat yang diajarkan Ayahku saat di kampung, sampai akhirmya aku memberanikan diri untuk mengikuti beberapa kejuaraan namun kejayaan di pencak silat belum berpihak kepadaku. Selain pencak silat, aku juga gemar membaca dan bermain musik. Aku suka bermain gitar sejak SMP dan aku juga belum pernah menoreh prestasi dalam bidang itu.
Sempat berfikir kalau aku ini memang tidak pernah membanggakan kedua orangtuaku dengan prestasi, namun setelah aku bisa menjadi diri sendiri dan mulai memahami arti hidup yang sebenarnya membanggakan orangtua tidak hanya lewat sejumlah prestasi dan medali. Tidak neko-neko dan selalu nurut kepadanya adalah hal terpenting untuk membanggakannya. Meskipun aku juga seorang idealis bagi diriku sendiri, namun perkataan orangtua menjadi suatu hal yang paling aku takuti.
Setelah selama 2 tahun aku duduk di bangku perkuliahan, tiba masanya aku harus menghadapi tantangan baru, yaitu magang. Berhubung aku kuliah di Jurusan Jurnalis, aku harus mengabdi kepada media dan membantu masyarakat mendapatkan informasi atas peristiwa yang terjadi. Awalnya menjadi budak media tak seseru apa yang aku pikir, namun setelah aku menjalani magang ternyata menjadi jurnalis adalah sesuatu pekerjaan yang nantinya harus aku coba meskipun cita-citaku sesungguhnya bukan menjadi jurnalis.
Melatih mental, tenaga, bertemu orang-orang penting, wawancara, dan menulis berita dengan waktu yang singkat. Itulah yang aku rasakan ketika magang menjadi reporter di sebuah media di Jakarta. Jujur aku tak pernah kepikiran akan seperti ini sebelumnya. Semua jalan yang diberikan Tuhan kepadaku selalu berwarna, meskipun terkadang lelah dan membosankan. Itu manusiawi.
Terhitung sudah berbulan-bulan aku tak lagi pulang setelah terakhir pulang waktu lebaran tahun lalu. Aku disibukkan dengan tugas-tugas kuliah pada masa akhir semester. Dan insyaallah aku lulus tahun ini. Amin. Sudah tak tahan menahan rindu tawa bersama orang-orang di rumah, harapku semoga kedua orangtuaku masih bisa menyaksikan anaknya memakai toga dan menempuh gelar-gelar selanjutnya.
Rasa semangat selalu aku tularkan kepada teman-temanku dan terimakasih serta rasa syukur tak ada habisnya aku curahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga orang-orang yang menjadi saksi kehidupanku di tanah perantauan ini selalu sehat dan berkah dalam lindungan-Nya. Amin…
Cerpen Karangan: Habib Awwaluddin Blog: Perindurasa.blogspot.com Namaku Habib Awwaluddin Rizqiwanto, lahir di Pati, 1 Januari 2000. Sekarang tinggal di Depok, Jawa Barat. Aku mempunyai hobi membaca, menulis, bermusik, beladiri, olahraga.