“Plak…!!” Begitu kerasnya tamparan yang mendarat di pipiku, kepalang bukan main sakitnya, terasa perih, panas dan pegal tentunya. Pipiku langsung merah lebam. Tapi aku tidak peduli dengan kondisi fisiku karena lebih sakit lagi hatiku yang bila digambarkan seolah tersayat sembilu setelah mendengar umpatan yang diucapkan Bapak sembari berlalu setelah menamparku.
“Dasar anak tidak tau diuntung! Gara-gara kamu lahir di dunia ini istriku jadi pergi untuk selamanya!”
Kata-kata itulah yang selalu Bapak lontarkan sehabis menampar atau memukulku apabila hasil setoranku kurang, dalam hatiku bergumam, mengapa aku ada bila akhirnya tidak diinginkan seperti ini? Aku hanya beban bagi Bapak, Akulah yang telah menyebabkan Ibu pergi tepat setelah berjuang mengeluarkan aku ke dunia yang penuh kebengisan ini. Untuk apa sebenarnya aku diadakan oleh yang Maha mengadakan bila pada akhirnya nanti akan ditiadakan. Mungkin masih terlalu naif pemikiran seperti itu bercongkol di pikiran bocah bego nan dungu sepertiku. Terduduk sembari menahan sakit di kursi biru tepat di belakang pintu, aku mulai menyeka bekas air mata yang sudah mulai mengering.
Aku bergegas mengambil koran yang belum selesai kuantar ke rumah-rumah elit di blok B, memungutinya satu per satu kemudian berjalan setengah berlari menuju sepeda usang yang kusenderkan didekat pohon pisang. Kulihat matahari belum terlalu tinggi. Kutaruh koran di keranjang depan dan berlalu meninggalkan rumah yang penuh dengan kebisuan.
Sepanjang perjalanan menuju perumahan tempat diamana biasanya ku mengantar koran, aku hanya termenung, berfikir dengan keras dan berharap menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan yang selalu kupikirkan sedari dulu. Mengapa Bapak sebegitu bencinya kepadaku? Bilamana memang sedemikian benci, mengapa dahulu waktu aku lahir tidak sekalian buang saja aku di panti asuhan? Ah… hanya pupus yang kudapati setelah pikiran berkunang-kunang memikirkan hal yang tak semestinya terjangkau oleh nalarku.
“Tiiiiinnnnttttttt!!!!” Bunyi klakson sepeda montor membuyarkan pemikiranku. “Jangan melamun woy! Bahaya tau, untung saja Tuhan masih sayang denganmu, cek, cek, cek.., dasar bocah edan!” Bentak pengendara montor yang hampir saja menabraku sembari berlalu menggelang-gelengkan kepalanya. “Maaf” kataku lirih. Hanya kata itu yang spontan keluar dari mulutku, entah si pengendara mendengar atau tidak, yang penting aku sudah mengutarakan permintaan maaf.
Sebenarnya dalam hati masih mengganjal akan pertanyaan, pernyataan dan kenyataan yang berkaitan dengan keberadaanku di dunia ini. Tak butuh memakan waktu yang lama, aku sudah tiba di perumahan Bumi Arca Indah, perumahan mewah nan megah yang diperuntukan oleh orang-orang elit, Rumah-rumah yang tertata rapi, tersusun dengan elegan dan berkelas. Didalamnya terdapat patung seorang sedang menyunggi bumi letaknya tepat setelah pintu masuk perum. Saat awal aku mengantar koran ke perumahan Bumi Arca Indah, aku sebenarnya heran akan makna dan filosofi patung tersebut, mengapa ada patung Atlas di perumahan elit itu? Padahal Atlas adalah sosok titan yang dihukum oleh Zeus untuk menyunggi langit, akan tetapi mengapa hal demikian malah menjadi maskot? Entahahlah…, seiring berjalannya waktu aku tidak terlalu mempedulikan akan hal tersebut.
“Selamat pagi Pak” sapaku ramah pada satpam yang sedang jaga, sembari menuntun sepedaku bergegas masuk. “Tumben nak Rangga, jam 8 baru sampai sini, kamu tidak masuk sekolah?” tanya Pak Mansur, satpam perum Bumi Arca Indah yang selalu ramah. Walaupun perawakan pak Mansur berkumis tebal dan berbadan besar, bisa dibilang mengerikan bagi orang yang belum mengenalnya, akan tetapi dia adalah orang yang baik. “Saya mengantar koran ke perum Saphire dulu Pak, kalau urusan sekolah saya sudah ijin ke wali kelas akan masuk walau terlambat” jawabku sembari menyeka peluh yang sedari tadi bercucuran membasahi sekujur mukaku. “Walau keadaanmu demikian, tetaplah semangat nak. Aku yakin Tuhan selalu bersamamu” Pak Mansur memberi motivasi dengan mata yang berkaca-kaca tanpa ku mengerti maksud dari setiap tindakannya kepadaku. Di mataku, Pak Mansur seperti halnya sosok Bapak yang kuimpikan. Pak Mansurlah yang selalu memberiku Roti karena mungkin ia tau bahwa aku selalu tidak sarapan pagi.
Aku bergegas bergerak maju ke perumahan-perumahan megah nan elit itu. Aku melempar tiap-tiap gulungan ke atas pagar besi bertralis. “Koran.. koran… koran…” Aku berteriak lantang sembari mengelilingi perumuhan hingga tak tersisa sedikitpun bangsal kertas koran di keranjang sepedaku.
—
Tetes demi tetes berjatuhan dari langit, tak terlihat hanya seperti titik berwarna putih yang mengumpul kemudian bersimfoni membentuk suatu pemandangan fatamorgana yang banyak orang aksarakan dengan nama kabut. Dingin menusuk menghujam menelanjangi kulit sampai ke tulang rusuk dan hampir menembus ke jantung.
Pagi itu memang kemarau sedang melanda kota Purwokerto. Suhu sekitar tujuh belas derajat ini tidak mempan bagiku, karena aku sudah keliling mengayuh sepeda kesana-sini jadi hanya hangat yang kurasa. Tanpa terasa akupun sudah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun dengan kekakuan dan kebekuan sikap Bapak yang masih tetap sama saja tanpa ada perubahan sedikitpun, bedanya di aku, aku yang dulu bilamana sehabis digampar menangis sekarang lebih kearah yang lebih realistis, yaitu menuliskannya sebagai suatu kisah yang bertujuan untuk memotivasiku agar lebih maju dan koreksi diri.
Keberuntunganpun rasanya memihak kepadaku, sekolahku walau sering absen tapi nyatanya aku lulusan dengan nilai UN terbaik, predikat pelajar dengan nilai rapor terbaik selama tiga tahun berturut-turut dan selama tiga tahun belajar aku tidak dipungut biaya sepeserpun. Hingga aku direkomendasikan untuk ikut bidikmisi di sebuah universitas ternama di Jogja. Nyatanya aku diterima di fakultas yang aku memang impikan dari kecil.
“Rangga! Mana hasil setoranmu bulan ini?” tanya Bapak menagih “Ini Pak, tapi maaf masih kurang” Aku agak beringsut menunduk karena sudah siap dengan konsekuensi yang diterima, yaitu dipukul atau di tampar.
“Sini duduk!” Bentaknya dengan nada kasar, aku sudah terbiasa dengan menebak apa yang akan terjadi, pasti ditampar gumamku dalam hati. Aku segera bergegas duduk di samping Bapak takut emosinya kian menjadi dan imbasnya aku yang nantinya babak belur lagi seperti tempo waktu kelas empat Sekolah Dasar dulu.
“Plak!!” Yah, memang sudah kutebak endingnya akan ditampar. Rasanya masih sama seperti tamparan-tamparan yang kuterima waktu dulu. Perih, pegal dan jelas langsung memerah pipiku. Bapak juga masih memakai umpatan kata-kata yang sama,
“Dasar anak tidak tau diuntung! Gara-gara kamu lahir di dunia ini istriku jadi pergi untuk selamanya!” sembari berlalu meninggalkanku di ruang tamu. Dalam hati ku bergumam “apakah Bapak tidak ingin memujiku walau hanya sekali? Ah.. mungkin terlalu berharap lebih bila demikian kan Tuhan? Padahal hari ini adalah hari terahirku di Purwokerto. Biarlah…” Sembari memejamkan mata menahan sisa rasa sakit.
Aku bergegas menuju kamar, prepare segala keperluan untuk berangkat mengenyam pendidikan di Jogja tanpa mempedulikan kejadian tadi, toh itu sudah biasa terjadi dalam setiap pergantian bulan dalam kehidupanku. Paginya, sehabis jamaah shubuh aku menyalami Bapak niat berpamitan dan minta doa restu walaupun selama ini Bapak membenciku. Ini adalah sebagai wujud takdim darah kandung karena Bapak merupakan satu-satunya pelita yang berharga dalam hidupku.
“Pak, Rangga pamit, minta doanya agar diberi kelancaran” Aku mencium tangan dan memeluk Bapak sebagai tanda perpisahan. Bapak hanya terdiam seribu bahasa dengan segala kekakuan dan kebekuan yang khas. Tapi sewaktu aku menoleh kebelakang untuk memberi salam yang terakhir, aku lihat mata yang gagah perkasa itu berkaca-kaca. Seumur aku hidup, baru kali ini aku melihat mata yang gagah dan tajam seperti mata elang itu berkaca-kaca seakan tak kuasa menahan kepedihan dan kesedihan ditinggal anak semata wayangnya.
Cerpen Karangan: Yahya Mahesa Blog / Facebook: Yahya Mahesa Yachya Mutohir Nama pena: @yahya_mahesa28 Saya adalah aku, seorang Nolep yang hidupnya morat-marit. Tanpa kejelasan dan rekaan masa depan yang pasti. Sedang meminum ilmu di IAIN Purwokerto jurusan sejarah di fakultas FUAH. Berusaha menekuni dunia tulis-menulis walau sering disebut psikopat yg gemar menyelami buku tanpa memahami arti.