Aku anak terakhir alias anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku memiliki satu orang abang dan satu orang kakak. Aku begitu dekat dengan kakakku, namun sayangnya aku tidak terlalu akrab dengan abangku. Sebenarnya aku ingin mengakrabkan diri dengan abangku. Tapi sayang, dia memang orangnya tempramental sekali. Sifatnya yang tidak ingin mengalah kepada adiknya membuatku jenuh untuk mencoba terus mendekatinya. Dia sibuk dengan dunianya, yaitu musik. Begitulah, dia lebih akrab dengan teman-temannya ketimbang dengan adiknya.
Aku sangat menyayangi keluarga kecilku ini. Meski kami bukan orang kaya, terlahir sederhana seperti ini sudah sangat cukup bagiku. Namun aku merasa kasihan dengan mereka yang diluar sana yang tidak seberuntung seperti aku. Aku pernah bermimpi bahwa suatu saat nanti kelak aku menjadi orang besar dan ternama, memiliki banyak harta kekayaan, aku ingin membaginya dengan mereka yang sangat membutuhkan. Apalah artinya menjadi kaya jika kikir dan tidak ingin berbagi dengan sesama? Uang tidak bisa dibawa mati, katanya. Dan kenyataannya pun seperti itu juga.
Sore hari saat Bapak pulang dari kantor, aku langsung membuatkannya secangkir teh hangat. Seperti biasanya aku selalu menghabiskan waktu sore hari berbincang dengan Bapak panjang lebar di teras rumah hingga lupa waktu. Kami tertawa bersama, kami membahas banyak hal mulai dari aktivitasku seharian di sekolah maupun di lingkungan rumah saat bermain dengan teman-temanku. Bapak juga bercerita bagaimana payahnya mencari uang sehingga seringkali kudengar dia menyebutkan, “Cari duit itu susah!”
Tak pernah kulupakan setiap wejangan dari Bapak. Dia selalu menyuruhku untuk terus belajar keras agar kelak aku menjadi orang sukses. Bapakku seorang karyawan swasta. Berapa gaji Bapakku saat itu? Terbilang kecil dan hanya cukup untuk membiayai makan kami sekeluarga dan syukur masih bisa membayar uang sekolahku dan uang kuliah abang dan kakakku. Setiap harinya menjadi hari yang sangat menyenangkan bagiku. Meski saat aku di sekolah pernah diejekkin dan dijauhin oleh teman-temanku tapi saat aku pulang ke rumah aku menjadi bahagia lagi setelah ngobrol bareng Bapak. Tidak ada jadwal yang sangat spesial selain jadwal ngobrol bareng Bapak setiap sore.
Seiring berjalannya waktu, aku pun mulai tumbuh menjadi anak yang dewasa dan Bapakku pun mengalami perkembangan dalam pekerjaannya di kantor. Bapak berkesempatan mengikuti pelatihan ke luar kota berminggu-minggu yang dibiayai oleh perusahaan tempat dia bekerja. Dan itu sangat menyedihkan karna aku tidak akan ngobrol lagi bareng Bapak. Biasanya sore hari di teras rumah selalu tersedia dua cangkir teh yaitu milik Bapak dan milikku. Sekarang aku menikmati setiap sorenya tanpa Bapak. Aku duduk sendirian sambil melihat ke arah jalan raya banyak kendaraan yang berlalu lalang. Maklum saja, rumahku terletak di jalan yang sering dilalui oleh banyak kendaraan.
Aku mulai bertanya dalam hatiku, “Kira-kira Bapak lagi apa ya disana?” Aku rindu bahkan ingin meneleponnya tapi segan takut mengganggunya. “Apakah Bapak rindu dengan suasana sore hari disana tanpa teh yang biasanya aku buatkan?” tanyaku dalam hati sambil termenung.
Aku tunggu sampai berminggu-minggu hingga akhirnya Bapak pun pulang ke rumah. Entahlah, aku merasa ada yang berbeda dengannya. Apa mungkin ini perasaanku saja? Langsung ku salam dan kubuatkan secangkir teh untuknya. Aku berharap Bapak masih terbiasa dengan rasa teh buatanku. Aku takut selama dia disana dia mulai terbiasa tanpa teh buatanku dan obrolan kecil kami setiap sorenya. Tapi ini bukan sekedar ketakutanku saja namun ini sebuah kenyataan yang harus kuterima. Bapak bahkan tidak menanyakan hal-hal kecil yang dulu pernah kami omongin di teras rumah seperti biasanya. Apa yang membuatnya berubah? Aku terus bertanya-tanya dalam hatiku.
Bapak sibuk tersenyum dan tertawa sendiri dengan layar ponselnya. “Biasanya Bapak tidak seperti itu,” pikirku. Tapi kenapa Bapak beda sekali semenjak pergi berminggu-minggu mengikuti pelatihan di luar kota? Tapi aku tidak langsung menyerah. Keesokkan harinya, aku mencoba membuatkan teh untuknya. Dan aku sengaja sebelum Bapak sampai di rumah aku sudah duduk sambil menunggunya di teras untuk berbincang-bincang seperti dulu lagi. Aku diam dan termenung saat melihat Bapak hanya tersenyum lalu masuk ke dalam rumah dan tidak sedikit pun menyentuh cangkirnya.
“Ada yang tidak beres dengan Bapak,” pikirku. “Tapi apa ya?” sambil bertanya-tanya dalam hati.
Tak sengaja kulihat ponsel Bapak, aku merasa ada yang aneh. Kok ponselnya terbalik gitu? “Sepertinya sengaja dibalikkan tapi kenapa harus seperti itu?” aku makin penasaran. Hingga akhirnya kuberanikan diriku untuk mengecek ponsel Bapakku, ternyata saat aku coba hidupkan layarnya…
Ada foto seorang wanita. Aku melihat wanita tersebut, sangat asing dan aku bertanya dalam hatiku siapa wanita itu. Dan kenapa Bapak harus membalikkan ponselnya seperti ini? Aku yakin karena ada sesuatu yang disembunyikan Bapak dari kami. Awalnya aku tidak berniat memberitahukan soal ini kepada orang rumah tapi perlahan aku mulai tergerak untuk memberitahu sesuatu yang aneh di ponsel Bapak.
Kami semua terkejut jika memang benar wanita itu selingkuhannya. Dan betapa terpukulnya aku saat itu. Aku berusaha dewasa dalam menyikapi hal itu namun tidak bisa. Aku marah. Aku kesal. Aku kecewa! Pantesan Bapak sudah jarang sekali ngobrol dan menghabiskan waktunya bersamaku. Aku mulai berpikir negatif kalau wanita itu dia kenal saat pelatihan di luar kota kemarin.
Entahlah, itu urusan orang dewasa. Aku masih terlampau kecil dan masih muda sekali. Aku bahkan tidak mau dipusingkan dengan masalah itu.
Tapi aku sangat merasa kasihan dengan Ibuku yang harus menahan rasa perih diselingkuhi. Kacau! Aku bahkan tidak fokus selama belajar di sekolah. Apa ini takdir? Aku bahkan tidak percaya kalau nasib bisa diubah. Aku mulai kehilangan kendali atas diriku. Aku uring-uringan, bahkan aku tidak sekolah meski dari rumah pamit ingin berangkat sekolah. Aku sangat stres dan depresi sekali saat tahu hubungan keluarga ini tidak harmonis lagi.
Aku rindu masa-masa dimana aku dan Bapak masih ngobrol bareng di teras rumah ditemani secangkir teh yang aku buat. Kini semua tinggal kenangan bahkan tidak akan pernah lagi terulang. Kini Bapak dan Ibu memang tidak bercerai namun sudah pisah ranjang. Aku tidak tahu Bapak tidur dimana setelah Bapak dan Ibu saat itu berantam hebat di depan kami anak-anaknya.
Teruntuk Bapak, dimana dan sedang apa pun sekarang jika sedang membaca tulisan ini kuharap tersenyum dan tertawa kecil mengingat kenangan terindah kita dulu saat semuanya masih baik-baik saja. Kini aku sudah tumbuh dewasa meski tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang Bapak.
Cerpen Karangan: Acha Hallatu https://medium.com/@achahallatu Panggil aja “Acha”. Seorang penulis yang mengidap gangguan obsesif kompulsif.