TOPI Sarjana yang beberapa saat lalu disemat dan disyahkan oleh seorang profesor dekan fakultas, kuturunkan dari kepalaku. Entah ada yang melihatku melakukan kebodohan ini, diantara hadirin. Cita-citaku ingin menjadi insinyur pertanian, hari ini ijazah sarjananya sudah ditangan. Mungkin aku masih belum percaya dengan semua ini.
“Kepercayaan masyarakat sama kamu, sangat besar ya Rob? Tadi aku melihat sendiri ketika kamu sedang menjadi panitia tujuh belasan, remaja dan orang tua tidak ada yang berani membagikan hadiah untuk pemenang sebelum diperintah sama kamu.”
Dulu aku benar-benar tersanjung mendengar pernyataan itu. Mungkin karena yang mengatakannya seorang gadis cantik, sedang ada dirumah nya, dan dihadapi oleh mamanya.
“Harus sering main kemari ya nak Rob… Setelah bertemu dengan nak Robi, ternyata Nilam jadi terlihat ceria. Yah maklum, kita disini kan orang baru. Mungkin selama ini Nilam agak kesusahan tuh mencari teman baru.” “Bagaimana tidak akan susah tante, sekeliling rumah tante dibenteng tinggi. Para tetangga pun pasti merasa segan. Apalagi pemuda-pemudanya, mereka pasti tidak akan ada yang berani ngedeketin putri tante yang dipingit.” Aku langsung mendebat kalau atas pernyataan mamanya. Tapi untuk sendiri. Sedangkan yang ku ucapkan, pasti kata-kata yang menarik simpati pribumi. “Mereka tahu diri rupanya tante.” Jawabku atas perkataan mamanya Nilam “Kalau kami sebenarnya terbuka kok pada siapa pun juga? Buktinya sekarang nak Robi ada disini.? Ya kan Nil. ?” Mamanya Nilam mengedipi putrinya. Nilam pun lantas manja. “Mih, kalau Nilam sama kak Robi bukan sekedar berteman biasa, boleh kan.?” “Nilam.., kamu itu perempuan…? Ya terserah nak Robi, lah, kalau mengenai yang kamu minta.?” “Tapi tante, saya kan hanya seorang pemuda Desa. Masih pengangguran, lagi? Kalau tante membiarkan putrinya dekat sama saya, apa itu tidak akan merendahkan derajat keluarga tante sendiri.?” “Kata-kata nak Robi, mengharukan sekali buat tante. Sementara selama ini kami sedang kebingungan mencari lelaki jujur dan setia untuk pendamping hidup Nilam… Kalau nak Robi memang suka sama Nilam, resmikan saja sekarang. Lalu kalian jalani hidup sebagai sepasang kekasih yang penuh kedisiplinan serta cinta setia. Bagaimana.?”
Aku dan Nilam saling tatap. Nilam lalu tersenyum. Aku juga ikut tersenyum. Mamanya Nilam melihat kami bahagia. Sejak saat itu aku pun jadi sering datang kerumahnya. Aku sering keluar masuk dari gerbang yang selama ini hanya dibuka ketika ada mobil mewah yang masuk saja. Dan itu mobil mewah milik papanya Nilam yang suka menemui anak istrinya satu minggu sekali.
Solusi apabila aku mau datang tapi gerbang masih digembok, seperti ini kutulis: “Nil, aku ada di depan rumah kamu.” Kalau pesannya sudah dikirim biasanya dari dalam ada yang keluar. Dan itu Nilam. Kali ini pun aku seperti itu, tapi sudah larut. karena, setelah aku kuliah dan menjadi anak kost, waktuku sempit sekali. Sedangkan orangtuaku selama ini selalu mewanti-wanti agar aku hemat dan menghemat uang yang selalu dikirimkannya tiap bulan. Maklum mata pencaharian ayahku selama ini hanya sebagai petani yang sawah serta ladangnya tidak terlalu luas. Selama ini aku pun sudah berusaha mengedepankan pesan orangtua dan mengesampingkan masalah pribadiku.
“Ada yang mau bertamu malam-malam? Siapa ya.? Saya tidak kenal?” Tapi sikap yang menyambutku, kali ini. “Nil jangan gitu dong sama aku..? Masa kamu nggak ngerasain kerinduanku yang udah berat gini?” Aku pun ketika itu menggodanya sambil ber ulah lucu. Tapi orang yang diambang pintu malah termenung lebih lama. Akhirnya aku memutuskan mengalah. Kupikir kalau Nilam sedang marah karena aku sudah lama tidak menemuinya, kalau perlu langsung kupeluk supaya orangnya percaya lagi dengan cintaku. “Barusan kamu naik apa.?” Setelah kubuktikan cintaku, ternyata Nilam jadi mau berbicara. Kami kali ini sudah diruang tamu. “Mau diambilkan minum? Kamu pasti haus.?” “Nggak usah… Ada kamu disisiku buat aku udah cukup. Mendingan sekarang kita menghabiskan malam aja sambil ngobrol… Mama udah tidur kan?” Selama ini di rumah yang besar serta megah itu hanya Nilam dan mamanya yang menempati. Dan Nilam mengangguk.
“Kamu jangan nginap disini ya?” “Kamu tidak ingin mamamu mengetahui ada aku kemari ya?” Nilam mengangguk lagi.
Dini hari setelah dia memberi dulu minuman hangat, akhirnya aku pulang ke rumahku. Ternyata orangtuaku sangat panik. Ayahku malah mengelus-ngelus kepalaku. “Maafkan ayah ya Rob… Selama ini kami ber ambisi ingin menguliahkan kamu itu, ternyata tidak dengan mencukupi segala kebutuhannya… Malam ini kamu pulang itu pasti karena bekalmu sudah habis. Sekali lagi maafkan ayah ya nak.., Panen kita kali ini ternyata gagal lagi…Daripada kendala itu disana memusingkan kamu, memang lebih baik kita berkumpul dulu… Kalau tidak salah, kebetulan minggu ini ada libur dua hari.” Ujar ayahku sambil melihat almanak. Setelah kembali ke kosan, aku pun jadi sering melihat almanak. Sudah tanggal berapa ini.? Bulan apa sekarang? Hingga suatu hari.
“Rob, ada cewek cantik menanyakan elo tuh diluar. Mau apa ya pagi-pagi dia udah nyari elo.?” Salah seorang teman kost, memberi tahukan. Setelah itu dia keluar lagi karena sedang sarapan di warung.Dan wanita yang mencariku itu ternyata Nilam “Aku itu sudah tiga bulan tidak mentruasi Rob. Ketika kucoba ditespek, ternyata positif hamil.” Setelah didalan, Nilam langsung mengabarkan “Kalau kamu kasihan sama aku, segera gugurkan kandunganmu itu…! Kuliahku belum selesai. Ayahku yang selama ini sudah membanting tulang membiayai kuliahku, pasti akan marah besar kalau sampai mengetahui aib ini.” Aku spontan menjawab “Sayang..,papa kamu ternyata belum bisa menerima kehadiran kamu…” Nilam mengusap-ngusap perutnya. Beberapa air matanya jatuh, kulihat. “Kalau begitu sekarang akui dulu Rob… Setelah itu aku akan pergi dan melaksanakan semua perintah kamu..”
Semua yang diingikan Nilam aku lalu melakukannya. Aku menempelkan telingaku ke perutnya Nilam. Ternyata ada kemistri pertalian batin yang meluluhkanku.
“Bayi tak berdosa yang ada di rahim kamu itu memang darah dagingku…Mudah-mudahan pengakuanku ini jadi kekuatan bagi kamu saat sedang mengaborsinya nanti. Sekarang cepat kamu pergi sebelum teman-temanku balik dan mengetahui aib kita..” Peristiwa yang terjadi hari itu kupikir sudah puncak dan tidak akan ada lagi benturan yang menghantamku.
“Semua baju kamu sudah dimasukkan kedalam ransel…! Mulai hari ini kamu jangan menginjakkan kaki lagi di rumah kami…! Dan mulai hari ini, kami juga tidak akan membiayai kuliahmu lagi. Sekarang kamu pergi”
Setelah apa yang terjadi dan aibnya diketahui orangtua, ternyata ayahku langsung mengusirku selain tidak membiayai kuliahku lagi. Dengan berjuta-juta penyesalan, aku lalu melangkahkan kakiku meninggalkan rumah yang sangat banyak kenangannya. Aku berjalan dan terus berjalan. Setelah sejauh sampai di rumah Nilam, baru langkahku dihentikan.
“Nil, aku ada di depan rumah kamu.” Pesan yang biasa, kukirim. Aku menunggu sebentar. Tiba-tiba. “Kamu kejam…! Kamu pembunuh…! Mulai hari ini kamu jangan pernah datang ke rumahku lagi!” Nilam pun ternyata jadi menutup hatinya untuk cintaku. Kenapa? Padahal waktu itu aku hanya belum siap menerima kehadiran darah dagingku yang tumbuh di luar nikah. Bukan karena semua itu harus kupertanggung jawabkan di dunia dan akhirat. Tapi topi sarjana ini dulu masih sangat jauh di depan harus kukejar.
—
“ATAS nama keluarga, aku minta maaf. Dan selamat atas keberhasilanmu mencapai cita cita” Dari tempat duduk, aku bangkit. Ternyata Nilam ada hadir di acara wisudaku. “Kamu tidak menyambut uluran tanganku?” “Maksud kamu minta maaf untuk apa?” tanyaku setelah sadar dari lamunan “Dulu keluargaku sebetulnya sedang menjalankan ritual yang sudah menjadi tradisi dari leluhur. Ketentuannya adalah: Apabila dari keluarga ada yang memiliki anak perempuan kembar identik, setelah menginjak remaja salah satunya harus dijauhkan karena kalau tidak, akan membawa kesialan pada salah satunya… Selama ini papaku kesana kemari mencari tempat yang strategis untuk membangun sebuah rumah untuk mengasingkanku… Setelah sekian lama mencari, akhirnya papa membeli tanah yang luas di desa kamu… Untuk cerita selanjutnya, kamu sudah tahu. Yang pasti, ketika kamu membuktikan rasa cinta yang begitu besar itu, dulu bukan sama aku yang selama ini kamu pacari, melainkan pada saudara kembarku yang dulu sedang liburan disana… Tapi sekarang kamu jangan menanyakannya, karena dia sudah pergi ketika sedang percobaan aborsi. Dan darah daging kamu telah dibawanya ketempat pengistirahatan raganya yang terakhir. Dulu kami menguburkan mereka di pemakaman umum yang tidak jauh dari rumah kami.”
Beberapa butir air mata, jatuh keatas topi sarjana yang sedang kupegang. Ternyata selama ini aku sudah jadi korban ritual mereka. Untung aku masih punya masa depan meskipun banyak kendala. “Rob.., andai sekarang kamu bingung dengan topi kesarjanaanmu itu, mengapa tidak sama mereka saja kamu berbagi kebahagiaan pertama-tama, di pemakamannya. Kalau sama aku jangan berlebihan karena sebentar lagi akan ada seseorang yang menjemput…” “Nilam.., Meski pun kamu tidak mengatakan siapa yang akan menjemput… Dan meski pun kamu tidak menuntut apa-apa setelah apa yang kulakukan terhadap saudara kembar kamu. Tapi selama perjuangan demi toga dan topi sarjana ini, aku tidak pernah lupa dengan satu keinginan kamu sewaktu kita masih jadi sepasang kekasih… Lihat Nil.., topi sarjananya sekarang sudah kupakai lagi… Dulu kamu ingin melihat aku berpakaian seperti ini kan…? Janji aku sama kamu hari ini sudah lunas… Sekarang aku pergi.” “Robi, kamu jangan pergi dulu aku masih ingin bicara… Robi, sebenarnya aku masih mencintai kamu…! Robiii…! Robiiiiii…!”.
Ketika aku memutuskan pergi setelah memakai kembali topi sarjanaku, Nilam ternyata histeris dan mengaku bahwa dia masih mencintaiku. Tapi aku terus berusaha menahan diri agar tidak terpengaruh oleh semua kata-katanya. Aku terus berusaha menahan diri agar bisa menyimpan perasaanku sendiri dan tidak balik. Biarlah Nilam yang masih menginginkanku dijemput seorang laki-laki yang masih suci. Selain mereka sangat fanatik dengan tradisi leluhurnya, aku juga masih punya orangtua yang harus kubahagiakan. Aku yakin, kalau silaturahmi yang putus dengan mereka bisa tersambung kembali, hidupku akan lebih tentram dan bahagia.
“Robiii…!” “NILAM, AKU PERGI”
Pengarang: Siti Mariam Alamat : Kp Babakan Kandang RT/RW 03 / 016, Desa Wanakerta, Kecamatan Cibatu GARUT – JABAR 44185