Bersama dengan mereka adalah hal yang sangat menyenangkan. Walau tak banyak hal yang aku ceritakan. Hanya bersama dalam satu tempat yang sama, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Hari ini, aku memutuskan untuk melawan rasa kantukku, mengurungkan niat untuk tetap di atas Kasur. Aku memilih untuk bangkit. Jam masih menujuk di angka 5, aku langsung melangkahkan kaki ke kamar mandi, menyalakan keran dan membasuh muka aku yang masih kusut. Hari yang baik katanya dimulai dari pagi harinya. Oleh karena itu, aku memaksakan diri, melawan rasa mager dan bergerak ke depan. Ini adalah hari minggu, aku akan mengelilingi indahnya Kota di pagi hari dengan udara yang masih sejuk karena jalanan masih sepi dan belum banyak kendaraan yang melintas. Aku mulai mengenakan sepatu dan memastikan tali sepatunya sudah terikat. Jarum jam sudah menunjuk angka 6 saat aku melangkahkan kaki dari tempatku tinggal.
Sesampainya di tempat, aku seperti menemui seseorang yang dikenal. “Bu Sari?” Aku mulai mendekat walaupun ragu, dan menyalaminya. “Eh, siapa yaa” Bu Sari membalas sapaanya sambil mengingat kembali tentang seseorang yang di depannya ini, “Ini bu, saya temennya Fatih” aku mencoba membantu mengingatkan Bu Sari, sambil melepas masker. “Bu Sarah yaa? Aduh bu, maaf yaa. Saya kira bukan ibu” Aku kembali menyapa orang yang ada di samping Bu Sari. “Kayanya beda aja bu, ibu yang disana sama yang disini” sambung aku sambil tersenyum malu. “Terlihat lebih tua atau muda nih?” Bu Sarah menanggapi pernyataannya sambil tersenyum juga. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. “Kamu juga terlihat beda loh, biasanya saya lihat kamu disana pakai baju formal kan. Disini pakai bajunya yang non formal” Bu Sari juga ikut menanggapi. “Eh kamu sama siapa kesini, janjian sama teman?” Bu Sarah kembali bertanya kepadaku. “Ngga bu, saya sendirian aja” Aku pun menjawab “Ih niat banget yaa kamu, udah biasa lari ya? lagian ko bisa pede sih lari sendirian gini?” Bu Sarah kembali bertanya kepadaku.
Aku mengawali jawaban dengan senyuman kemudian dilanjut dengan menanggapi pertanyaan Bu Sarah. “Iya bu. Belum biasa banget sih bu, tapi lagi coba dikonsistenin. Kemarin-kemarin udah pernah kesini juga. Toh, gada yang kenal juga sama yang lain jadi pede aja” Jawabku beralasan. Ya, bisa jadi memang karena itu. Tapi alasan lain aku sendiri yaitu karena aku tidak mempunyai teman yang cocok untuk diajaknya berlari waktu itu.
Setelah percakapan singkat tersebut Bu Sarah mengajaknya untuk lari bersama. Sedangkan Bu Sari sedang istirahat, duduk di kursi panjang yang ada di tengah pusat kota. Tempat ini memang telah dikhususkan untuk berlari. Ada rute khusus untuk orang yang berlari disini. Bentuknya seperti lingkaran besar. Jadi saat kamu ingin berlari, kau cukup memutari tempat ini. Diameter lingkarannya cukup besar. Sehingga satu kali putaran bagi yang belum terbiasa sudah merasa lelah Bu Sari dan Bu Sarah adalah seniornya saat sedang melakukan magang. Sedangkan Fatih adalah nama teman aku, yang bersamaan denganku dan 2 orang lainnya saat melakukan magang. Fatih yang selalu aktif bertanya menjadikannya lebih dikenal daripada teman yang lainnya.
“Nanti kita lari terus yaa, jangan jalan. Tapi larinya santai aja. Ga tau tuh si Sari dari tadi udah diajak lari tapi jalan terus atau malah main handphone” Bu Sarah mengawali percakapan sebelum kita mulai berlari. Aku menjawabnya hanya dengan anggukan tanda aku menyetujuinya.
Ternyata Aku kalah cepat dengan Bu Sarah. Aku yang merupakan seseorang dengan jiwa magernya harus berlari bersama dengan orang yang sudah terbiasa lari. Dan ini juga menjadikan alasan baru, memilih untuk lari dengan seorang diri. Setelah cukup lelah berlari aku memutuskan untuk duduk sebentar, bersama dengan Bu Sarah dan Bu Sari sambil mengobrol ringan. Setelah itu, mereka memutuskan untuk pulang lebih awal.
Dan aku kembali sendiri … Entah mengapa, aku sudah terbiasa dengan rasa ini. Rasa sepi diantara keramaian, rasa risih saat ada yang menemani rasa gelisah saat ada yang bertanya tentang banyak hal tentang dirinya. Terkadang aku merasa terganggu saat ada orang yang terlalu mengutik cerita kehidupanku.
“Door…” Seseoang datang tiba-tiba menepuk pundakku. “Ihh, kamu bikin aku kaget aja tau” aku menjawabnya dengan kesal. “Lagian dari tadi aku sapa, diem mulu. Tanpa ada jawaban, jadilah aku kagetin weh, whahaa maaf yaa” jawabnya sambil tertawa. Kemudian kembali menambahkan “Jangan bengong mulu atuh dek, jangan banyak overthinking”
Aku tidak menjawab. Masih kesal dengannya, bagaimana mungkin tidak? Aku yang tengah duduk di tempat sunyi, di antara pepohonan rindang sambil menikmati senja dan sepoi angin sore. Seseorang datang dengan tiba-tiba dengan cara yang sangat mengagetkan, Aira. Seseorang sahabat yang masih ada bersamanya, bahkan Aira selalu tahu bagaimana perasaanku dan dimana tempat aku berlari.
“Semua orang tidak mungkin suka dengan apa yang kita lakukan, So terima aja sewajarnya. Jangan tumbang saat dicaci dan jangan terbang saat dipuji. Kamu hebat dengan caramu, Fah. Ngga usah minder sama banyak orang. Semua orang punya waktu terbaiknya masing-masing. Dan inget, sebaik-baiknya kita berencana ada Sang Maha Perencana yang mungkin bisa membuat cerita kita berbeda, tapi yakinlah itu yang terbaik. Walau kadang kamu susah menerimanya saat ini, tapi next insyaAllah kamu akan mengerti akan semua rencana yang sudah Dia berikan khusus untukmu. Khusus untukmu Fah. Karena ga ada yang sama, proses yang dilalui oleh tiap orang. Semua orang punya keunikannya masing-masing” Aira mengatakannya begitu pelan dengan penuh penghayatan seakan mengerti tentang apa yang dirasakan sahabatnya.
Aku hanya membalasnya dengan pelukan dan tetesan air mata. Mulutku kaku untuk berbicara banyak. Aku hanya mampu menjawabnya dengan tangisan dan air mata yang mulai mengalir deras. Aira menyambut hangat pelukku. Dan menenangkan aku, setelah dirasa lebih baik ia mengulurkan tangannya kepadaku dan mulai bangkit dari posisi duduknya.
“Kita nyeblak yuk, denger-denger di ujung jalan sana ada seblak yang enak loh” ia menawari aku untuk makan siang bersama, menu favorit aku saat-saat tertentu. Aku menerima tawaran Aira, setelah mengusap air mata aku menerima uluran tanggannya dan mulai berjalan menuju tempat makan. “Btw, kamu ke kamar mandi dulu gih, mukamu kusut banget. Cuci muka dulu sana” ia memaksa aku untuk ke kamar mandi.
—
“Ra, nanti malem aku mau pulang duluu yaaa” aku memberikan kabar rencana pulangaku kepada Aira saat sinar hangat sang mentari mulai menyapa. “Lah, ko mendadak banget sih, ngapain kamu pulang? Terus berapa lama disana?” ia kaget akan rencana pulang aku yang mendadak. “Mungkin bisa semingguan. Biasalah.. Hehehe” aku menjawabnya.
Aku mulai mengemasi barang bawaanku, secukupnya. Aku yang kini kembali menjadi anak rantau karena harus kembali berjuang untuk pendidikannya di pusat kota. Tak banyak barang yang ia bawa, secukupnya saja. Karena Aku merupakan tipe orang yang tidak mau ribet dan tidak mau rempong.
Bus yang hendak aku naiki sudah terparkir, beberapa orang sudah banyak yang mengisi tempat duduknya. Aku memilih tempat duduk yang kosong, di pinggir jendela. Dan aku berhasil mendapatkan tempat duduk. Bus berangkat saat menunjukan pukul 10.00 malam. Aku suka perjalanan malam, dengan kondisi jalanan yang lenggang dan tentunya cuaca yang tidak panas. Suasana yang sangat mendamaikan hati, dengan kelip lampu jalanan atau kendaraan lain. Dan satu hal yang istimewa saat perjalanan di malam purnama dan di sepanjang perjalanan bisa melihat sinar bulat purnawa yang begitu sempurna. Namun, hal itu tidak aku rasakan untuk perjalanan malam ini.
Aku sampai di rumah disambut dengan terbitnya sang mentari. Sinar yang datang menayapa begitu menghangatkan tubuh, setelah semalaman melakukan perjalanan dengan AC mobil yang cukup membuat badan ini menggigil. Sinarnya pun begitu lembut, selembut rasa yang pernah ada ditempat ini bersama dengan orang-orang yang hadir dan menemani sepanjang perjalanan di tempat ini, tempat aku dilahirkan. Tempat yang jauh dari perkotaan dan masih banyak terbentang sawah yang luas. Beberapa perkebunan juga cukup banyak ditemukan. Hijaunya alam dan gemercik air sungai yang selalu kurindukan kini kembali terdengar. Begitu mendamaikan segala rasa yang ada, mendamaikan dari segala rasa yang kemarin membuat resah, gelisah ataupun kecewa.
Dari kejauhan mulai terlihat seseorang yang amat aku kenal, seseorang yang tak pernah hentinya memberikan kasih sayangnya. Seseorang yang tak pernah lelah untuk memberikan apapun yang terbaik untuk aku. Ia mulai melambaikan tangan. Aku mulai mempercepat langkah dengan membawa sedikit makanan khas dari tanah rantau, khusus untuk mereka yang masih setia, selalu menunggu kedatangan dan menantikan kabar bahagia dari aku. Seseorang yang masih berjuang untuk menggapai semua mimpi dan menyelesaikan apa yang telah dimulai.
Kaki aku telah sampai di tempat aku dilahirkan, dan memberikan salam kepada orang yang ada di rumah. “De, ko kamu kurusan sih?” kakak aku memulai percakapan. Aku kembali menjawabnya dengan senyuman. Beberapa hari aku lakukan bersama dengan orang yang selama ini aku rindukan. Lagi, tak banyak hal yang aku ceritakan.
Hari-hari demi hari terlewati, sama seperti hari yang dulu sebelum aku menjadi anak rantau. Menemani Mamah membuat kue kecil yang sebagian ditempatkan di warung dan beberapa tetangga rumah yang sengaja mengambilnya untuk kembali dijual di pasar. Bagiku itu sudah cukup mengobati rasa rinduku yang kemarin, menemai mamah untuk membuat beraneka macam kue. Dan mungkin hal itu membuat aku menyukai bekerja di dapur, banyak hal yang ingin aku ketahui dan belajar. Karena dari dapur aku belajar banyak hal. Selain itu, aku juga suka duduk bersama bapak, menemaninya menikmati kopi atau teh hangat saat pagi ataupun sore hari.
Melihat banyak orang yang hendak pergi atau pulang bekerja, ada yang membawa cangkul, pulang membawa rumput ataupun hasil kebun lainnya. Dan aku hanya duduk menemani juga, tak banyak hal yang aku ceritakan kepada Bapak. Dan satu hal yang aku suka ketika pulang ke rumah, menghabiskan waktu bersama Teteh. Aku selalu suka saat Teteh mengajak aku keluar rumah, dengan menggunakan motornya. Kemanapun itu pergi, walau hanya pergi membeli bensin. Aku cukup senang, menaiki motor sambil menikmati bentangan hijau sawah dan matahari yang hampir tenggelam jika kami keluar menjelang sore. Atau jika di hari libur, Teteh mengajak aku pergi saat siang hari, aku selalu suka birunya langit dan gumpalan awan dengan berbagai macam bentuk.
Aku begitu menikmati masa itu. Dan akupun harus memanfaatkan sebaiknya masa itu, masa aku bersama dengan orang yang lebih dari istimewa. Dan sebagai anak bungsu, terkadang mereka masih juga menganggap puteri kecilnya walau kini aku telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Namun, Mamah seringkali menceritakan kembali masa-masa kecil dan terkadang saat aku dan Mamah melihat anak-anak disekitaran tetangga, mamah berkata, “Dulu Ifah tuh segitu loh. Sekarang udah gede ya?” ucap Mamah. Mungkin baginya aku tetaplah seorang puteri kecilnya yang selalu dimanja. Sambil terus menggandeng tangan aku di sepanjang jalan.
Menjadi si bungsu adalah hal menyenangkan, katanya. Selalu dimanja dan banyak permintaan yang terpenuhi juga kasih sayang yang lebih. Dan aku merasakan itu semua, walau kasih sayang Mamah pada kakak pun sama halnya kepadaku, namun dengan cara yang berbeda. Terkadang aku ingat akan lagu masa kecilku, dan lagu itu seringkali terngiang di telinga. Waktu ku kecil hidupku, amatlah senang. Senang dipangku, dipangku dipeluknya serta dicium dicium dimanjakan namanya kesayangan.
Dan kadang air mata ini mudah menetes, saat banyak mengingat tentang mereka. Saat banyak menyinggung tentang mereka, entah itu lewat cerita, lagu atau film. Memang benar, saat jarak telah memisahkan kita rasa itu akan hadir lebih dalam, terutama tentang rindu dan kebersamaan waktu yang dulu.
Jejak si bungsu yang kini tidak lagi puteri kecil mereka, namun si bungsu yang kini mulai melangkahkan kaki, memulai dengan dunia barunya, mengenal begitu banyak orang dengan tipe dan karakternya yang tentu tak sama dan tentang mimpi yang sedang diperjuangkan. Dan satu hal yang menjadi tantangan dan dikhawatirkan si bungsu saat rambut mereka mulai memutih, keriput di wajah, tangan dan lainnya telah terliahat namun si bungsu belum mampu membuatnya terseyum, belum mampu mewujudkan apa yang dulu diimpikan juga oleh mereka :’
Dan untuk kalian si bungsu, tetaplah menjadi orang yang kuat, orang yang katanya menjadi harapan terakhir buat keluarga. Semoga waktu bisa mempertemukan dengan segala hal yang kau impikan ya
Cerpen Karangan: Zifa Nadiyah