Cerita kali ini dijalani oleh seorang tokoh bernama Arina. Perempuan berkacamata tebal berusia 16 tahun yang duduk di bangku kelas 2 SMA. Arina ini memang sangat memiliki “vibe” anak pintar seperti yang digambarkan di acara sinetron pada umumnya. Sangat gemar memakai baju rapi sesuai aturan, hobi pergi ke sekolah sembari memeluk buku-buku tebal, dan yang paling penting… berkacamata. Tubuhnya yang kurus kecil pun memperkomplit tampilan “anak pintar” nya.
Namun begitu, Arina bukan merupakan gadis pintar yang menjadi langganan “bully” para geng-geng populer di sekolahnya. Arina malah bisa dibilang pandai bergaul dan tidak kaku.
Meski memiliki banyak teman, Arina paling dekat dengan satu gadis yang menjadi teman sekelasnya, Kania. Salah satu gadis tercantik di SMA mereka. Tak hanya cantik, Kania pun sangat memperhatikan penampilannya. Kania merupakan tipe gadis lembut yang selalu menggunakan “aku-kamu” dalam percakapan sehari-hari. Lucu memang, kadang sepasang sahabat memiliki karakter yang bertolak belakang. Yang satu sangat peduli dengan penampilannya, dan satu lagi.. yah, kalian bisa tebak sendiri.
Kania pun dijuluki sebagai “primadona sekolah.” Dari mulai adek kelas, teman seangkatan, sampai kakak kelas banyak yang kagum dan menyukai wajah cantik Kania. Karena kedekatan Arina dengan Kania, banyak laki-laki di sekolah itu yang sering menemui Arina untuk menitipkan cokelat. Bahkan tak jarang juga, teman laki-laki Arina bercerita dan meminta saran bagaimana cara agar Kania bisa jatuh cinta padanya.
Seperti yang terjadi saat ini, Arina sedang duduk di bangku taman sekolah bersama teman laki-laki sekelasnya, Alfi. “Na, ada yang mau gue omongin,” tuturnya membuka percakapan. Biasanya para perempuan pasti deg-degan setiap ada laki-laki yang bilang begitu, karena kebanyakan dari perempuan itu akan langsung berpikir ‘Dia pasti bakal nembak gue,’ tapi itu tidak berlaku bagi Arina. Dia sudah bisa menebak jawaban Alfi.
“Lu suka kan sama Kania?” ucap Arina yang membuat Alfi tercengang. “Wih, belajar ngedukun dari mana lu?” “Gue tau lah, lu kan sering banget merhatiin Kania. Bahkan pas lagi sama gue,” Arina tertawa meledek Alfi. Alfi hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Hehe, iya Na. Makanya gue ngajak lo ketemuan disini, nah lo kan deket sama Kania, tipe cowok dia kayak gimana sih?” tanya Alfi langsung, tanpa basa-basi. Matanya bersinar penuh semangat. Arina terdiam, nampak berpikir.
“Setau gue sih Kania belum pernah suka sama cowok, Fi. Ya walaupun kayaknya hampir semua cowok di sekolah ini suka sama dia. Tapi.. dia belum pernah cerita apa-apa ke gue soal perasaannya ke lawan jenis,” Arina terdiam sesaat, menatap Alfi yang nampak serius mendengarkan. “Tapi perasaan gue sih Kania bakal suka ke cowok yang nggak suka sama dia. Biasanya cewek tuh begitu. Yang sukanya banyak, tapi malah ngejar-ngejar cowok yang nggak tertarik sama dia,”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Alfi semakin menggaruk-garuk kepalanya, jelas sudah matanya memancarkan keputus-asaan. “Hei, itu dugaan gue ya, belum tentu bener,” Alfi terdiam, kemudian berhenti menggaruk kepalanya dan menghela nafas,
“Tapi apa yang lo bilang masuk akal, Na. Gue kadang heran sama cewek kayak gitu. Kenapa malah memilih cowok yang nggak suka sama dia yang berpotensi buat nyakitin perasaan dia sendiri? Sedangkan yang tulus suka sama dia malah disia-siain,” keluh Alfi. Arina malah tertawa melihat sikapnya. “Serius banget, sih. Santai dikit dong, Fi.” “Cewek kayak gitu, karena dia merasa tertantang sih sebenernya. Bisa nggak dia bikin cowok incerannya suka sama dia. Dan rasanya lebih greget dan memacu adrenalin aja kalau kayak gitu,”
Alfi manggut-manggut mengerti. “Yaudah deh, makasih ya Na. Gue bakal pikir-pikir lagi deh. Tapi tolong lu jangan bilang apapun ke Kania ya,” Ujar Alfi sambil berdiri, bersiap untuk pergi. “Iya, tenang aja,” timpal Arina sambil tersenyum. “Lah, lu nggak mau ke kelas?” tanya Alfi yang melihat Arina masih duduk rapi. “Duluan aja, gue masih pengen disini,”
Setelah Alfi pergi, sebenarnya tak ada yang Arina lakukan. Dia hanya duduk diam sambil sesekali melepas kacamata dan mengusap matanya yang terasa perih. “Gimana ya rasanya jadi Kania.. pasti seneng tuh disukain sama banyak laki-laki,” ujar Arina pada dirinya sendiri. Tak lama setelah itu, ia segera bangkit dan menuju kelas.
“Dari mana aja sih?” tanya Kania usai Arina duduk di bangkunya. “Tadi dari taman bentar ketemu Alfi,” jawab Arina singkat. “Cie… ada apa nih diantara kalian?” goda Kania sembari tersenyum jahil. “Haduh Kania… udah ah,” Arina pun mengeluarkan bukunya dan bersiap mengikuti pembelajaran.
Pak Dito pun memasuki kelas, beliau merupakan guru Matematika di kelas Arina dan Kania. Seperti biasa, Pak Dito selalu rutin menyapa murid-muridnya sebelum memulai pelajaran. Namun hari ini, nampak Arina sedikit kesulitan fokus menyimak penjelasan dari Pak Dito. Namun untungnya Pak Dito selalu membuka sesi pertanyaan setiap di akhir pembelajaran.
“Baik, ada yang ditanyakan?” tanya Pak Dito menatap murid-muridnya. Arina dengan cepat mengangkat tangannya, kemudian ia menanyakan beberapa langkah dalam menyelesaikan soal trigonometri. Namun, jawaban yang Arina terima kurang memuaskan. “Untuk pertanyaan itu, silahkan dibaca saja halaman 12 ya,” Arina terdiam, sebenarnya ia sangat ingin protes dengan jawaban Pak Dito. Tapi ia tidak melakukannya dan hanya mengucapkan terima kasih.
“Ada lagi yang mau bertanya?” tanya Pak Dito lagi. Hening, tak ada jawaban. “Kania… mau bertanya nggak?” tanya Pak Dito sambil menatap Kania. Kania sedikit gelagapan. Tapi, dia akhirnya menanyakan bagaimana langkah awal dalam menghitung salah satu soal trigonometri. Arina spontan kaget mendengar pertanyaannya, karena tadi Pak Dito sudah menjelaskan pertanyaan Kania tersebut dengan sangat detail. Dia hanya takut Pak Dito marah. Tapi respon Pak Dito justru lebih mengagetkan Arina.
“Pertanyaan bagus, Kania. Bapak jelaskan ya…” Pak Dito pun kembali mengulang penjelasan yang sama. Arina hanya diam dan sempat menggerutu karena pertanyaannya tidak begitu digubris. Tapi, untung saja ia tak ambil pusing dan berusaha kembali menyimak.
Jam istirahat pun tiba. Namun kali ini, Arina dan Kania terpaksa tidak bisa pergi ke kantin karena mereka harus berkumpul di aula. Sebab, akan ada diskusi pemilihan ketua ekstrakulikuler Mading, dan mereka berdua sebagai anggotanya. “Na, kamu duluan aja ya, aku mau ke toilet dulu. Ini rambutku berantakan banget,” ucap Kania tiba-tiba saat di jalan. “Lho, nggak mau aku temenin aja?” tanya Arina menawarkan diri, namun Kania langsung menolak. “Nggak, nggak usah. Kamu duluan aja, takutnya aku lama,” akhirnya Kania pun pergi sendiri.
Tapi, Arina juga tak langsung pergi ke aula. Ia memutuskan untuk membeli air minum dulu di kantin karena tenggorokkannya yang terasa kering. Walau ia jadi harus telat beberapa menit karena kondisi kantin yang penuh.
“Maaf Kak saya telat,” tutur Arina saat berada di aula. “Darimana kamu?” tanya Kak Keenan, salah satu senior Arina. “Anu… tadi saya abis beli minum dulu di kantin, mohon maaf ya Kak,” “Jangan dibiasakan ya. Duduk,” timpal Kak Keenan ketus. Arina mengangguk kemudian segera mencari tempat duduk. Namun, ia sama sekali belum melihat Kania. Seketika ia menjadi khawatir karena Kania ternyata lebih terlambat dibanding dirinya. Bahkan disaat diskusi dimulai, Kania belum ada.
“Permisi, maaf Kak saya telat,” ucap seseorang dengan ngos-ngosan di ambang pintu, rupanya itu Kania yang terlihat habis berlari. “Ya ampun, kamu dari mana, Kania?” tanya Kak Farissa. “Saya abis dari toilet Kak. Maaf ya,” jawab Kania pelan. “Tidak apa-apa Kania. Lain kali, tidak usah berlari ya. Silahkan kamu duduk dulu,” timpal Kak Keenan. Kania pun mengucapkan terima kasih.
Arina yang melihat itu dari belakang langsung lega karena akhirnya Kania datang. Namun, disatu sisi ia merasa bahwa Kak Keenan sangat tidak adil. Seharusnya Kak Keenan tidak bersikap seramah itu pada Kania.
“Baik, kita lanjutkan diskusi kita tadi. Jadi, siapa kira-kira anak kelas 11 yang bersedia dan cocok untuk menjadi Ketua Mading?” tanya Kak Farissa pelan. Arina yang mendengar itu langsung mengajukan diri. “Saya bersedia, Kak,” ucap Arina. “Arina? Oke. Untuk menjadi ketua, harus disiplin ya. Jangan sampai telat-telat,” jawab Kak Farissa yang membuat Arina seketika menelan ludah.
“Ada lagi yang bersedia?” tanya Kak Farissa lagi. Rupanya, minimal harus ada 2 calon ketua. “Kania saja,” usul Kak Keenan pelan. “Kania kan terampil. Kamu mau nggak, Kania?” lanjutnya. Arina dan Kania seketika tersontak kaget. Namun, Kania terlihat mengangguk dan menyanggupi tawaran dari Kak Keenan. Akhirnya siang itu, pemilihan Ketua pun dilaksanakan dengan cara pemungutan suara. Para anak kelas 10-11 diharapkan menyalurkan aspirasinya melalui voting. Dan skor akhir untuk voting nya adalah 20 suara untuk Kania, serta 10 suara untuk Arina. Bisa dilihat secara jelas, Kania lah yang menjadi ketua ekskul.
Kania pun langsung diserbu ucapan selamat dari para anggota dan senior. Sedangkan Arina masih diam tak berkutik. Dalam otaknya terus berpikir, “Gimana bisa Kania yang jadi ketua? Jelas-jelas dia masuk ke ekskul ini karena aku yang mengajaknya,”
Pertemuan hari itu pun selesai. Semuanya pun diminta untuk kembali ke kelas masing-masing. Arina masih terlihat kecewa, karena ia telah menyusun rapih program untuk ekskul ini dengan baik, ia pun cukup optimis akan menjadi Ketua Mading. Sepulang sekolah pun, Arina menghampiri Kania untuk mengucapkan selamat. “Selamat ya Kania, semoga bisa jadi ketua yang baik deh,” ucap Arina sambil tersenyum. “Eh? Duh makasih Arina. Aku nggak nyangka banget bisa jadi ketua, padahal aku belum begitu siap lho. Nanti minta bimbingannya ya,” Ucapan Kania membuat Arina semakin sakit hati. Tapi, dia hanya menutupinya dengan senyum simpul. “Oh iya, nanti kayaknya aku nggak langsung pulang deh. Aku mau beli makanan dulu buat di rumah,” kata Arina pada Kania yang mengajaknya pulang. Kania hanya mengangguk sembari meladeni teman-teman dari kelas lain yang mengucapkan selamat karena ia telah menjadi Ketua Mading. Bagaimana bisa berita itu menyebar begitu cepat?
Dan perkataan Arina untuk tidak pulang dulu memang benar, dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di café dekat sekolah yang saat itu sedang sepi. Arina menyeruput pelan es jeruk pesanannya sembari merenung. Ia merasa lingkungannya tak adil, seakan semua berpihak kepada Kania. Dan harus ia akui, bahwa Arina diam-diam merasa iri.
“Sendiri aja?” tanya seseorang pada Arina yang sontak membuatnya kaget. Ternyata itu Amora, salah satu teman ekskul Arina dari kelas lain. “Eh Mor, iya nih. Duduk, Mor,” jawab Arina cengengesan. Amora pun duduk dihadapan Arina. “Tumben, biasanya selalu nempel sama Kania,” Amora menghentikan kalimatnya untuk memesan makanan. “Kalian lagi marahan?” tanya Amora pelan, Arina menggeleng. “Oh iya, denger-denger dia jadi ketua ekskul ya?” “Yah… gitu deh,” jawab Arina sembari menghela nafas.
“Eh, tadi kenapa nggak ikut kumpulan?” Arina balik bertanya. “Ada ulangan susulan pas istirahat,” jawabnya. “Terus ya berita soal Kania yang jadi ketua itu seketika langsung nyebar dari senior. Nggak nyangka gue dia bakal jadi ketua. Padahal dia selalu ngeluh tiap kali ada tugas mading,” “Mungkin karena dia cantik,” tutur Arina sambil mengaduk-aduk es jeruknya. Amora terdiam. “Emang cantik sih, tapi secara kemampuan lu yang paling layak, Na,” “Dari awal gue udah kalah bersaing Mor. Entahlah, bahkan tadi gue diperlakuin beda sama kakak-kakaknya. Gue diketusin pas tadi dateng telat, giliran Kania aja yang telat, dimaklumin. Heran gue.” “Jangankan sama senior deh. Gue dan dia aja diperlakuin beda sama guru, hanya gara-gara dia cantik. Gue nggak sebel sama Kania, tapi gue sebel sama orang-orangnya itu lho. Emang sepenting itukah cantik dimata orang lain?” Arina meluapkan kekesalannya. “Gue juga sebenernya ikut sebel. Harusnya mereka bisa melihat secara adil dan objektif. Tapi nggak bisa dipungkiri kalau beauty privilege itu emang ada. Kadang orang yang fisiknya oke emang punya keuntungan tersendiri. Salah satunya ya kayak gini,” “Maaf.. tapi menurut gue ini konyol. Kenapa semua orang sangat memperhatikan penampilan tanpa melihat potensi didalamnya. Gue jadi pengen cantik deh Mor. Kayaknya orang cantik kalau mau ngapa-ngapain lebih gampang deh,” Amora tertawa. “Lu cantik kok, Na.” Arina cemberut. “Ah, lu pasti cuman mau ngehibur gue, kan? Buktinya sampe sekarang nggak ada tuh cowok yang ngedeketin gue. Semua deketin gue biar pada bisa deket sama Kania aja,” “Heh! Ngukur seseorang cantik atau nggak bukan diliat dari seberapa cowok yang ngedeketin dia kali.. ada-ada aja,” Arina tertawa mendengarnya. “Gue rasa saat ini dideketin para cowok merupakan suatu kebanggaan. Gue sering banget liat cewek-cewek pamerin berapa banyak mantannya dan siapa aja yang udah nembak dia,” Amora mengangguk setuju. “Oke, balik lagi soal beauty privilege itu. Jadi gue harus gimana, Mor? Gue ngedukung Kania, tapi gue sendiri nggak bisa gini terus,” Secara tegas, Amora pun menjawab, “Lu punya banyak kelebihan, Na. Lu asah aja kelebihan lu, emang nggak ada jaminan si beauty privilege itu bakal hilang, tapi seenggaknya orang ngeliat lu bukan dari masalah fisik lagi, tapi tentang siapa lu sebenernya,”
Arina terdiam. Apa yang dikatakan Amora memang cukup klise, namun percakapannya saat itu seakan benar-benar mempengaruhi dan mampu membuat Arina mau mengubah mindset-nya yang kacau saat itu..
Sepulangnya dari café, Arina langsung menuliskan hal-hal apa saja yang ingin ia kembangkan. Ia pun memutuskan untuk tetap melanjutkan program untuk ekskul yang telah ia susun. Setidaknya walaupun ia bukan ketua, tapi ia bisa memberi saran pada Kania. Terbukti bahwa dua minggu setelahnya, Kania nampak kewalahan karena tidak memiliki persiapan yang cukup, namun Arina sanggup membantunya sehingga ekskul Mading pun bisa bertahan.
Perlahan-lahan, mulai banyak teman-teman yang mengapresiasi usaha serta kecerdasan Arina. Kania pun sangat berterima kasih pada sahabatnya itu karena selalu membimbingnya dengan sabar. Tak hanya itu, Arina juga selalu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Arina pun memperdalam skill menulisnya dan memutuskan untuk membuat artikel bertemakan percakapannya dengan Amora di café saat itu.
“Lu hebat, Na,” puji Alfi pada suatu sore. Saat itu Arina baru selesai membuat Mading sekolah yang bertema-kan artikel Beauty Privilege yang mendapat banyak respon positif dari orang-orang karena sangat relate dan membuat banyak teman-temannya terinspirasi untuk tidak selalu fokus pada fisik, namun juga pada potensi dan talenta masing-masing. “Hebat apanya… eh, makasih ya,” timpal Arina sambil tersenyum. “Gue baru sadar gue berteman sama perempuan bertalenta kayak lu,” ucap Alfi yang membuat Arina tertawa. “Apa sih, Alfi! Udah, ah. Eh ngomong-ngomong gimana sama Kania?” Alfi menggeleng. “Gue udah nggak suka lagi sama Kania, kayaknya gue cuman tertarik aja karena dia cantik sih,” Arina manggut-manggut. Tiba-tiba Alfi terdiam. “Jujur, gue suka sama lu, Na,” ucap Alfi tiba-tiba. Arina langsung terpaku. Seakan tak percaya apa yang dikatakan Alfi. Ia menganggap Alfi hanya bercanda. “Alfi, udah deh. Lu tadi mabok fisika ya?” “Enak aja, gue serius lho ngomong ini,” tuturnya lagi. Arina terdiam, pandangannya seakan mengatakan “Kok bisa?”
“Gue dulu emang kalau naksir cewek tuh pasti yang diliat fisiknya doang. Tapi lama-lama gue bosen. Belakangan ini gue baru sadar. Ya naksir nggak selamanya soal fisik, tapi bisa lewat karakter yang unik.” “Waduh, jadi menurut lu, gue karakternya unik gitu?” tanya Arina. Alfi mengangguk, “Nggak cuman itu. Lu berpotensi, dan… lu juga cantik, Na,” tutur Alfi yang membuat Arina tersenyum
Cerpen Karangan: Khaira Nabila Rojak Blog: blognyakhaira.blogspot.com Khaira Nabila R, remaja 16 tahun yang hobi nulis
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com