“Mawar, tadi kulihat Adhan menatapmu sinis,” kata Niazhara setelah duduk di kursi. Mereka barusan sampai di kelas usai shalat Zuhur berjamaah. Tak lama, teman-teman mereka berhamburan masuk dan ramai berceloteh.
“Biar saja, lama-lama dia capek sendiri.” Mawar menjawab sambil mengikat tali sepatu. “Memangnya kamu tidak risih?” “Mestilah risih, sebab itu membuatmu serasa diawasi oleh CCTV berjalan. Tapi mungkin tatapannya hanya kebetulan, untuk apa ditanggapi serius?” “Yee.. Aku sih cuma bilang.”
Adhan, si badboy yang hampir tak pernah tersenyum itu… Apakah dia punya masalah dengan Mawar? Sebenarnya sudah beberapa kali Mawar memergoki tatapan si anak kelas IX C, namun dia tak begitu peduli. Tak mungkin. Pasti ada suatu hal yang- “Awas nanti ulangan harian matematika, lho..” kata Indah, temannya sebangku. Di depan dia, Zhara mulai membaca buku paketnya.
Sementara Mawar yang tak terpengaruh, malah menggambar pegasus di notesnya. Dia kelihatan terlalu santai sebagai pelajar kelas 3 SMP yang hendak menghadapi UN, padahal tinggal dua bulan lagi. TPM, Try Out, dan ujian praktek telah dijalaninya dengan hasil yang tak sesuai usaha. Semua temannya tahu kalau dia benci mencontek, namun tetap heran bagaimana bisa dia mendapat nilai tertinggi, sedangkan kebiasaan enggan belajarnya belum juga hilang. Sesuatu yang selalu dikomentari Indah atas sikapnya yang nyeleneh.
“Nih ya, Ar. Murid-murid di kelas unggulan ini tuh semuanya cerdas, rajin, intinya yang baik-baik lah. Lha kamu?” “Aku apa?” “Kamu pinter juga. Tapi ini kan mau ulhar, dan kamu malah menggambar padahal seharusnya belaj-” Mendadak Bu Sari, guru matematika, sudah berdiri di ambang pintu. Hening seketika.
“Assalamu’alaikum wr. wb,” ucap Bu Sari. “Wa’alaikumussalam wr. wb.” “Anak-anakku kelas IX A, maaf sekali jika ulharnya dibatalkan sebab para guru wajib mengikuti rapat bersama Kepala Madrasah,” beliau melanjutkan. “Syukran katsiran, Ya Allah…” “Teman-teman, mari sujud syukur bersama!” “Alhamdulillah… YEEY JAMKOS!”
Sayangnya kelegaan ini hanya sekejap mata. “Sebagai pengganti ulhar, buka buku paket matematika hal. 105 dan kerjakan soalnya. Sekian dari saya…” Sepertinya saking terburu-buru, guru matematika itu sampai lupa mengucap salam sebelum berlalu pergi. Sehingga Bu Guru pun juga tak mendengar kumandang dzikir dari murid-murid, terutama laki-laki. “Astaghfirullahal ‘adzim, begitu jahatnya hidup ini dengan tugas-tugas yang luar biasa mencekik…” “Duh Gusti, tugas kita semakin membukit, semoga tidak menjadi gunung.”
Beberapa murid yang super rajin segera mengerjakan soal, yang lainnya asyik mengobrol, separuhnya lagi menuju kantin. Mawar bangkit sembari mengambil dompetnya. “Mau ke mana, Ar?” tanya Indah. “Kantinlah.” “Ikut!” “Semoga adik-adik kelas tidak mencontoh orang di sampingku ini.” “Kamu sama saja!” kata Indah geram. “Memang. Lagipula masih banyak teman kita yang super rajin buat teladan kelas junior, kan?” “Maksudmu untuk apa kita susah-susah kaya mereka, ya? Hahah…”
Mereka melewati ambang pintu kelas, berbelok ke kanan menyusuri jalan ber-cornblock yang lurus menuju kantin. Ada persimpangan di jalan itu yang mengarah ke Mushola Madrasah. Setibanya di kantin yang cukup ramai, Mawar dan Indah membeli bakso bakar.
Saat mereka keluar dari sana, “Sebenernya, Ar… Aku sama sekali tak belajar matematika.” “APA?” “APEM!” “Tidak lucu,” Mawar berkata sambil menendang kerikil. Barusan temannya mengakui kalau dia tak melakukan apa yang dia suruh lakukan kepada Mawar.
BUK! Lemparan keras dari sepatu Mawar mengenai punggung Indah. Bayangkan seberapa sakitnya mengingat mereka hanya berjarak dua meter, belum lagi kerudung dan belakang seragamnya yang (apesnya) saat itu berwarna putih, tentu saja kotor. Indah berbalik. BUKK! Balas dendam successfull. “OI! REGED KI-”
Tiba-tiba Adhan muncul dari persimpangan jalan. Dia kaget sekali melihat adegan ini, begitu juga Mawar. Indah menoleh ke belakang dan tercengang melihat Adhan. Dia bergantian melirik keduanya, lalu tersenyum. “Emm, aku harus mengerjakan tugas, Ar… Dhisikan yo!” Indah pamit dan berlari kencang ke kelas. “Tunggu, Ndah!” Mawar bergegas memakai sepatunya, seakan lupa jika Adhan di sana. Laki-laki itu senyum-senyum memandangnya, yang masih berjongkok.
Ketika Mawar berdiri dan segera menyusul temannya, “Yakin tak ada yang ketinggalan?” Mawar berbalik, tepat ketika Adhan menunjukkan kuncir oranye dalam genggamannya. Perlahan tangan Mawar meraba kerudungnya… Upss, rambutnya terurai! “Kembalikan!” tangan si perempuan terjulur. Tapi Adhan malah menyembunyikannya di belakang punggung, menyeringai senang. “Akan kukembalikan setelah aku menjelaskan suatu hal padamu. Sebaiknya kita berbincang dalam kantin.” “Tidak boleh berduaan dalam tempat sepi!” “Ada banyak orang, lihat..”
Benar saja, sekelompok siswi melewati mereka menuju kantin, termasuk Zhara. “Astaghfirullah, udah berkhalwat di sini… Ar, kalau dia suka kamu, pokoknya traktir aku mie ayam, ok?” kata Zhara dengan manis. Mawar membelalak, kesal bercampur geli. Terpaksa dia mengikuti Adhan masuk ke sana, duduk bersebelahan dengan jarak semeter.
“So?” tanya Mawar langsung. “Apa itu ‘so’?” “Owalah paijo… Parah betul Bahasa Inggrismu.” “Baleni maneh?” “Eh- mending tak usah,” senyum Mawar. Jujur, dia merasa tak enak duduk dengan laki-laki yang kerap menjadi bahan candaannya dan Indah. Misalnya, dia membuat lelucon tentang ekspresi Adhan yang datar. Mereka membayangkan muka Adhan ketika membawa pom-pom sambil menari. Mereka juga menertawakan kuku panjangnya, yang mungkin membuatnya kesulitan makan.
“‘So’ itu artinya ‘jadi’. Tapi aku lebih suka menafsirkannya sebagai ‘godhong melinjo’,” ucap Mawar. Adhan tergelak. “So, apa yang mau kamu sampaikan?” Laki-laki itu sejenak mengatur nafasnya sebelum berkata, “Begini… Hm, aku menyukaimu-” “AHA!” seru Zhara girang, tiba-tiba ada di dekat mereka. “MI AY-” “Zhara…” Mawar menegurnya. Nah, sudah selesai kan, Barito?” “Ap- Oh belum, Asafa… Apa perasaanmu sama denganku?” “Ahaha.. Jelas tidak,” Mawar berdiri menghampiri Adhan. “Aku ambil ini,” dia merebut kuncirnya dari tangan Adhan, namun kuku lima sentinya tak sengaja menggores jari si perempuan. Aliran darah menetes pelan.
“Ya ampun!” kata Zhara kaget. “Hey, potong kukumu lain kali!” Adhan beranjak dan berlari keluar, sementara Zhara cemas ketika memeriksa tangan Mawar. “Cuma luka kecil kok, Zha,” ucap Mawar sambil menyimpan kuncirnya dalam saku rok. Beruntung tak ada noda darah di seragamnya. “Persoalan ini lebih penting dari mie ayam,” Zhara berkata muram. “Ikut aku, Ar. Percayalah pada mantan anak PMR.” Mawar mengangguk. Bersama-sama, mereka meninggalkan kantin.
“Nah, biarkan air mengaliri lukamu paling tidak lima menit, supaya tak ada kotoran yang melekat di situ,” kata Zhara saat dia memutar kran wastafel, tak jauh dari kelas mereka. “Setelah ini apa?” “Entahlah, aku tertidur saat baru mendengar langkah pertama, Ar. Jadi… eheheh.”
Cprat! Semburan air nyaris mengenai Zhara, namun malah orang di belakangnya yang basah: Adhan. Si laki-laki mengerjap sejenak dan menatap Mawar. Lalu, tangannya terulur, sebuah plester ada dalam genggaman. “Maaf atas kejadian tadi, Mawar,” katanya. “Ehem, ehem…” “Cukup, Zha,” kata Mawar dingin, kemudian menoleh ke Adhan. “Sudahlah tak apa. Eh- aku juga minta maaf seragammu jadi basah,” dia menerima plester dari Adhan, lantas merekatkannya ke jari. “Cuma basah sedikit… Hm, semoga cepat kering lukamu.” “EHEM, EHEM!” “DIAMM!”
Mawar menceritakan semuanya pada Indah, setibanya di halte yang kosong. Zhara sudah pulang duluan, membuat Mawar aman dari tagihan mie ayamnya.
“Kamu telah melukai Adhan,” komentar Indah begitu Mawar selesai bicara. “Tidak, aku hanya-” “Ya, kamu telah melukai perasaannya. Aku tak percaya kamu setega itu, Ar.” “Aku berkata jujur, Ndah!” “Kamu bisa bilang baik-baik, kan? Bahkan kamu tertawa disaat Adhan berkata serius…” Mawar diam saja, menatap lalu lalang kendaraan yang melintas.
“Coba pikirkan ini, Ar… Mulai besok kita libur, tak ada yang tahu kapan kita masuk sekolah lagi karena wabah Covid-19 tengah melanda dunia. Paling tidak, minta maaflah pada Adhan. Jangan sampai kamu memberi kesan kalau kamu telah menyakitinya,” Indah berdiri ketika ada bus yang merapat. “Kusarankan itu sebab, bisa jadi, kamu tak lagi bertemu dengannya (ataupun denganku) setelah ini. Aku duluan…”
Mawar tak menjawab. Dia sibuk berpikir seraya mengamati hamparan langit jingga yang berada jauh di atas atap halte, sehingga tak menyadari Indah sudah duduk nyaman dalam bus. Meninggalkannya sendirian.
Benarkah? Memangnya dia keliru mengatakan bahwa dia tak menyukai Adhan? Apa salahnya jujur, coba? Lagipula, kalau mengingat kejengkelannya atas tatapan Adhan, dia merasa kalau Indah tak perlu membela si laki-laki. Tidak adil benar… Dia memejamkan mata saat merasakan angin sepoi yang bertiup, mengibarkan kerudungnya.
Tapi… Bukankah Mawar tertawa saat Adhan menyatakan perasaannya? Mungkin Indah bermaksud supaya dia bisa menghargai Adhan. Apalagi, si laki-laki itu juga telah memberinya plester, meski sebenarnya Adhan sangat kecewa padanya.
Matanya membuka. Mendadak rasa malu merambati tubuhnya ketika menyadari betapa baiknya Adhan. Mawar bangkit dan menyandang tas, membatin kenapa busnya belum datang. Dia menuruni tangga halte, bermaksud menunggu di angkringan dekat sana.
“Adhan?” sapa Mawar terkejut saat melihat seorang laki-laki yang duduk sendirian di kursi panjang. “Eh, Mawar…” ucap Adhan tersenyum. Dia asyik mencoret-coret selembar kertas. “Tumbas nopo, Mbak?” tanya si ibu pemilik angkringan. “Oh, mboten buk..”
Mawar menghampiri si laki-laki. “Kamu tidak marah, Dhan?” “Tidak.” “Kenapa?” “Karena kamu jujur. Kalau saja kamu membohongiku dan kita jadian, aku tak bisa membayangkan selanjutnya.” “Hm… Makasih atas tanggapanmu yang baik, walaupun aku sudah menyakitimu. Aku paham kalau semisal kamu merencanakan balas dendam yang aku tak tahu, tidak apa-apa kok, itu akibat dari kelakuanku.”
Adhan menoleh, “Sama-sama, tapi aku tak akan merencanakan balas dendam apapun padamu.” Gantian Mawar yang tersenyum. “Ngomong-ngomong, apa yang kamu gambar?” “Nih…” Spontan Mawar menutup mulutnya. “Jelek, ya? Maklum, ini belum jadi,” kata Adhan buru-buru. “Bukan,” Mawar duduk dan mengeluarkan notesnya. “Tapi… kenapa gambar kita sama?”
Adhan menyandingkan kertasnya dengan notes, berhati-hati agar kukunya tak menyentuh Mawar. “Pegasus? Welah persis!” “Kebetulan pas bareng,” Mawar menanggapi. Dimasukkan kembali notesnya. “Jangan-jangan… kita jodoh?” tanya Adhan. “Owalah bocah, cilik-cilik wis ngomongke jodho,” sahut si pemilik angkringan. “Eh, ketimbang ngono dideleng kae ana bus jalure sapa?”
Dan ibu itu benar, samar-samar terdengar deruman khas kendaraan roda empat dari luar angkringan. “Kula lajengan nggih, bu!” Mawar cepat-cepat berlari menuju halte, disusul Adhan.
Rupanya karena tak ada yang duduk menunggu di sana, bus itu langsung melaju menjauh, tak peduli dengan dua murid yang mengejar di belakangnya. Mawar berhenti, terengah-engah. “GARA-GARA ADHAN SIHH!” “Eh, lho, lho, lho… Kok saya?”
Cerpen Karangan: Fatiha Wardiya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com