Peluh mengalir tak hentinya dari pelipisku, sudah dua jam aku berada di sini. Sunyi dengan kabut yang mulai menutupi gunung. Tak kusangka, pilihanku menghabiskan weekend dengan pengalaman menanjak gunung membawa suatu malapetaka. Tanganku tremor menciptakan guncangan atas tubuhku. Kabut gunung yang mulai menyelimuti penglihatanku menambah penderitaanku. Andai dia masih ada di sini, mungkinkah ia akan menyelamatkanku?
“Dek, ayo cepat nanti kita kehabisan makanan“ Langkahku terseok-seok mengikuti langit yang setengah berlari. Ini sudah hari ketujuh kami berada di tempat penampungan sementara. Sejak peristiwa tsunami menyerang tiga kota secara bersamaan. Saat ini peneliti sedang meneliti penyebabnya, entah guncangan tektonik atau bumi memang sedang marah. Lagipula, hal itu tidak terlalu penting bagiku saat ini, seperti manusia purbakala, tujuan hidupku hanya bertahan hidup.
Itulah alasanku bertemu Langit. Saat aku terperangkap di atap rumahku dengan keadaan tsunami yang sedang bergejolak, Langit datang. Pada saat itu, aku bahkan tidak mengenal dia.
“Cepetan naik dek,“ katanya dari atas perahu penyelamat. Sungguh bagaikan malaikat tak bersayap, aku sangat berterima kasih atas kehadirannya. Segera saat sampai di tempat penampungan, secepat itulah aku mau pulang. Namun, ke mana aku harus berpulang? Keluargaku meninggal, terbawa arus entah ke mana. Mau tidak mau, aku harus menyesuaikan diri.
Di hari kedua, aku mulai membantu di bagian dapur. Aku tidak pandai memasak, maka tugasku hanya mencuci piring. Sangat berbeda dengan Langit, ia menjadi relawan lapangan untuk mencari korban yang masih selamat. Aku selalu bertemu Langit di depan sebuah pohon tarbatin, sisa-sisa keganasan tsunami. Pertanyaan yang dilontarkannya selalu sama. “Bagaimana perasaanmu hari ini?“ Jawaban yang kuberikanpun selalu sama. “Buruk“
Memangnya aku harus menjawab apa? Kebahagiaan adalah hal yang mustahil di kondisi seperti ini. Mungkin tidak saat aku bersama langit. Ia selalu bisa mencairkan suasana, bukan hanya denganku, melainkan dengan publik. Seiring berjalannya waktu, tanpa diketahui siapapun, aku telah memecahkan rekorku untuk tidak menaruh hati.
“Dek, tadi aku dipanggil lho sama panitia! Katanya aku akan jadi guru untuk sekolah sementara yang minggu depan digelar“ Aih, bahkan di kondisi seperti ini kita harus belajar? Jujur saja, aku bukanlah bagian dari murid rajin yang suka belajar setiap hari. Aku hanyalah seorang murid yang belajar bila ada ulangan. Keajaiban bila nilaiku bisa menyentuh angka 8. Mau bagaimana lagi, kalau aku tidak mulai belajar sekarang, bisa saja aku terlambat lulus dua tahun. Mimpi buruk.
Aku penasaran mengenai umur Langit, dia selalu memaksaku memanggilnya kakak dan sekarang dia bisa menjadi guru sementara. Setiap kali kutanya ia tidak pernah mau menanggapinya dengan serius, akupun mengalah. Kelihatannya dia tidak lebih tua dariku namun, secerdas itukah dia hingga bisa menjadi guru?
“Kita lihat di sini adalah x2, ini adalah bentuk variabel pertama dari rumus fungsi“ Astaga, dia ternyata memang benar-benar pintar. Entah kenapa, hari ini aku sama sekali tidak bisa fokus. Semua materi yang dijelaskannya tidak masuk ke otakku. Mungkin karena senyumnya yang manis saat sedang menjelaskan, atau karena tatapannya yang menenangkan dan hangat, atau bisa jadi karena rambutnya yang terhembus angin menciptakan efek seperti drama-drama romansa yang kutonton.
“Adek yang pake baju biru bisa jelaskan yang tadi saya katakan,“ Bajuku berwarna biru. “Eumm, x2 adalah relasi?“ “Bagus, lain kali kalau tidak niat belajar lebih baik tidur saja di bangsal“ Cih, galak sekali. Padahal selama ini aku yang selalu memarahinya atas kemalasannya.
Hari ini berakhir dengan himbauan para panitia yang menyiapkan pakaian dingin. Suhu hari ini dikabarkan mencapai 16 derajat. Suatu keajaiban yang terjadi berkelanjutan sejak kejadian yang menggoncangkan bumi. Aku juga ingin ikut mengambil pakaian dingin, tapi aku masih harus membantu di dapur. Setelah kuselesaikan pekerjaan menggosok panci di dapur, semua pakaian dingin telah habis. Hebat, malam ini aku harus rela tidur kedinginan. Tiba-tiba, ada yang menyelimutiku dari belakang. Langit. Dengan senyumannya seolah tak bersalah. Aku masih marah, maka kuacuhkan dia. Satu genggaman dari Langit dan mata kami bertemu. “Aku akan pergi, mengejar universitas di Australia“
Sama seperti dia masuk ke kehidupanku yang seenaknya, ia keluar dengan tidak tahu diri. Aku tak sanggup mengatakan apapun, hanya dapat berlari, berlari dan terus berlari. Berlari dari kenyataan, berlari dari rasa yang kupendam, berlari dari hidup. Pandanganku kabur, linangan air mata dan kabut dingin menutupi mataku, langkahku terasa ringan, aku terjatuh, bersimbah dalam tanah dan tangis. Menunggu kenyataan menghampiri sambil mengatakan “Aku disini“
“Dela, dela!“ Kurasakan guncangan atas tubuhku, sudah jam berapa ini? Langit terlihat gelap. Ah, seseorang menyinari mataku dengan cahaya senter yang menusuk. Dia, Langit. Memapah tubuhku untuk berdiri.
“Aku tidak akan pergi! Jangan biarkan kabut memisahkan kita“
Cerpen Karangan: Jenny Dwi Blog: jennydpgmail.wordpress.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com