Aku hanya ingin disini, duduk diantara himpitan dinding dan aroma pinus yang menusuk-nusuk hidung. Aku tidak pernah mengerti mengapa mereka begitu menikmati semua kepedihan yang aku rasakan. Apakah aku tidak cukup pantas untuk menjadi teman mereka atau bahkan untuk menjadi seorang manusia?
Aku tidak tahu mengapa mereka begitu membenciku. Aku berada disini karena ayah. Dia ingin memberikan yang terbaik untukku. Sekolah elit ini telah membuat ayah bekerja mati-matian dan aku tak layak untuk mengecewakannya. Aku bertahan disini karena dia. Semua nilai A kupersembahkan untuk lelaki yang selalu kukagumi dan kuhormati itu.
Satu semester telah terlewati dengan beban yang semakin menjadi. Seharusnya di hari ke-181 ini aku sudah kebal dengan segala bentuk perundungan, namun ternyata aku salah karena siang ini aku masih ada disini diantara himpitan dinding dan aroma pinus yang selalu setia menemani. Kini aku cukup kuat untuk tak menangis lagi. Kedua mataku mungkin sudah bosan bekerja keras memerah air mata.
—
“Ini kursi kami, itu dan itu, semua. Sejak kapan kamu berani duduk di salah satunya?” Meysa menggebrak meja yang kursinya aku duduki. “Pergi, kami mau duduk disini.” Meysa mendorong punggungku, memaksaku untuk beranjak dari sana. Ingin rasanya aku meninju bibir tipis berpoles lipgloss itu namun wajah lelah ayah mendadak menari-nari di kedua mataku.
Aku membawa baki yang berisi makan siangku dengan canggung lalu melangkah diantara tatapan dingin banyak pasang mata. Sementara itu Meysa dan kelima temannya tertawa diselingi dengan ocehan yang tak ingin aku dengar walaupun hanya titik dan komanya saja.
—
Kelas sosial, selalu begitu. Sebelum aku masuk sekolah ini aku tak percaya dengan gambaran seperti itu. Pengucilan diri karena kelas sosial bagiku hanya ada di film-film remaja yang penuh huru hara. Namun kini aku tahu bahwa ini semua nyata karena aku mengalaminya sendiri. Di tempat ini seorang sahabat hanyalah sebuah ilusi. Aku hanya merasa senang ketika berada di kelas saat jam pelajaran berlangsung dan ketika menonton kompetisi basket di bawah rindangnya pohon akasia tak jauh dari lapangan.
Sepuluh orang yang berlarian kian kemari disana pasti tak pernah mengalami hal yang sama denganku. Terlebih kapten tim kelas 11 itu. Seth, putra dari pengusaha sanitary ternama dan pemilik klub basket “Bintang Muda” sekaligus donatur terbesar sekolah ini memiliki banyak hal yang membuat semua orang ingin selalu dekat dengannya. Kehidupannya terlihat begitu sempurna sesempurna wajahnya yang tanpa cela.
“Girls, lihatlah, pungguk sedang merindukan bulan.” Meysa berdiri angkuh di hadapanku sambil berkacak pinggang. Rok dan rambutnya berkibar mengancam. Para gadis itu tertawa mengejek.
“Pergi, kami ingin menonton dari sini lagipula mereka tak ingin kamu tonton.” Meysa menarik lenganku kasar lalu melepaskannya sehingga membuatku jatuh tersungkur. “Ups, maaf, semesta saja tahu kalau tempatmu ada dibawah.” Para gadis itu tertawa.
Aku bergegas pergi sambil menahan perih di lututku yang tergores. Namun aku cukup senang karena gedung perpustakaan di depanku terlihat semringah menyambut kedatanganku.
Lukaku sudah kubersihkan, namun aku enggan beranjak dari toilet di gedung ini. Tempat ini terasa lebih tenang dan terasa aman dibanding toilet yang selama ini menjadi tempat dimana aku melabuhkan diri. Sejak saat itu aku selalu datang dan datang lagi ke tempat yang nyaris tak pernah dikunjungi oleh siapapun itu.
—
Aku menempelkan telingaku di dinding yang dingin. Bermacam suara terdengar dari bilik sebelah seakan tengah terjadi gempa yang hebat. Aku beranjak dari kloset mengendap-endap lalu menempelkan telingaku di pintu yang tertutup rapat. Kini ada suara teriakan kasar dan gumamam panjang pendek. Tubuhku mendadak kaku ketika pintu itu terbuka lebar. Aku dan dia sama terkejutnya.
“Apa yang kamu lakukan disini?” Dia mendampratku, matanya merah. Aku mengkerut namun berusaha untuk tenang. “A..a… aku yang semestinya bertanya, mengapa kamu ada disini? Ini toilet wanita.” Mendengar pertanyaanku sepertinya ia tersadar, mendadak ia blingsatan bergerak ke arah pintu ruangan yang terdiri dari 3 bilik itu lalu menguncinya dengan cepat. Aku terkesiap, rasa takut langsung menyelimutiku, lututku gemetar sementara Seth berdiri kaku di depan cermin lebar yang juga memantulkan wajahku disana. Ia mengacak-acak rambutnya.
Dia menatapku dari cermin itu. “Jangan pernah mengatakan apapun dan kepada siapapun tentang hal ini.” Dia berkata ketus. “Untuk apa aku melakukan itu, aku tak memiliki teman di sekolah ini.” Seth masih menyipitkan matanya sejenak. “Mengapa kamu bisa ada disini, ini tempatku.” Seth masih menatapku dari cermin.
“Ternyata kamu sama saja dengan mereka.” Aku bergumam. “Apa?” Dia berbalik. “Kamu akan mengusirku juga dari sini kan? Kalian tak rela ada orang seperti aku berada di sekolah ini.” Tiba-tiba aku menjadi sangat berani. Dia menatapku dalam diam.
“Ini adalah tempat satu-satunya dimana aku tidak membuat kalian merasa terganggu dan sekarang kamu akan mengusirku juga dari sini? Lalu dimanakah tempat yang pantas untukku?” Mataku mulai berkaca-kaca. Dia masih saja diam. “Aku mohon jangan usir aku dari tempat ini. Air dan dinding ini adalah temanku, hanya mereka yang aku miliki.” Aku berkata lirih sementara Seth menatapku tanpa berkedip lalu menghembuskan nafasnya panjang.
“Kamu beruntung karena masih memiliki teman yang tulus seperti dinding, aroma pinus dan mungkin gulungan tisu itu. Aku memiliki banyak teman yang berwujud manusia namun mereka semua penuh kepalsuan.” Seth duduk di atas meja wastafel. “Maksud kamu?” Melihatnya duduk dengan santai membuat otot-ototku yang kaku mengendur seketika. “Mereka berteman denganku karena dari keluarga mana aku berasal, bukan karena siapa aku. Mereka tidak berani mengkritikku atau memberi masukan kepadaku padahal aku membutuhkan itu semua.”
“Kritik? Masukan?” “Ya, kemarin tim kami kalah dan semua itu salahku dalam mengatur strategi. Bayangkan ada pelatih disana tapi aku yang diminta mengatur strategi dan dengan bodohnya aku mengikuti permintaan mereka. Awalnya aku merasa biasa saja namun tidak setelah aku mendengar apa yang mereka bicarakan di belakangku.” Seth mendengus.
“Tapi hidupmu begitu sempurna di mataku.” Aku berkata lirih. “Sempurna? Bagian mananya?” “Semuanya.” Seth tersenyum sinis. “Merasa tertekan karena harus menjadi atlet basket untuk menjaga eksistensi nama keluarga apakah itu bisa dibilang sempurna? Memiliki banyak teman palsu apakah itu juga bisa dibilang sempurna? Bila aku sesempurna itu, aku tak akan berada disini.” Seth kembali mengacak rambutnya. “Maafkan aku… Aku hanya…” “Tak apa, aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu karena telah menganggu ketenanganmu dan menjejalimu dengan kisah recehanku.” Aku menunduk dalam tak berani menatap matanya yang tajam. “Ah tapi kenapa ya sekarang aku merasa lega, sepanjang hidupku baru kali ini aku merasa selega ini.” Seth terkekeh. Dan kekehannya itu telah merontokkan perasaan kaku di dalam hatiku.
Sejak saat itu aku dan Seth kerap bertemu disana. Saling berbicara, membaca, membuat origami, bersenandung dan berbagi mimpi. Ya hanya aku, Seth, dinding dan aroma pinus. Walau begitu, di luar sana aku selalu menghindarinya karena aku tahu harus menempatkan diriku dimana. Aku tak ingin membuat hidup Seth yang “sempurna” ternoda lagi pula aku harus menyelamatkan diriku sendiri. Terdengar egois tapi itulah yang terjadi. Awalnya Seth tidak terima dengan keputusanku, ia tak ingin berada dalam dunia yang penuh kepalsuan lagi namun akhirnya ia mengerti mengapa aku bersikap demikian kepadanya.
—
Aku menatap dua bilik toilet artifisial itu. Tumpukan buku, boneka, kertas origami, pemutar musik dengan konten gemericik air menemani sebuah kloset duduk yang covernya dipenuhi dengan gambar ilustrasi khas anak muda.
“Apakah keputusan kita tepat mengenai hal ini?” Aku bertanya ragu. Seth menautkan jemarinya ke jemariku lalu mengangguk dengan pasti. “Ini adalah monumen kita, tempat dimana kita menyadari siapa diri kita, apa yang terjadi dengan kita. Tempat dimana kita dapat menghalau semua ketakutan, kekesalan sekaligus berbagi banyak hal. Dan tempat dimana aku menemukanmu.” Seth menatapku lembut yang membuatku sedikit tersipu. “Dan aku sadar bahwa banyak remaja yang memiliki persolan seperti kita dulu. Ya, setidaknya tempat ini aroma pinusnya tidak terlalu menusuk.” Seth tertawa, begitu pun aku.
Sementara itu Pak Ari, penjaga perpustakaan tempat kami bersekolah sepuluh tahun yang lalu itu memasang ekspresi tak percaya ketika mendengarkan penjelasan Seth dan melihat dua bilik toilet jadi-jadian berdiri tepat di ujung ruang kerjanya.
Cerpen Karangan: Ika Septi Facebook: Ika Septi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 31 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com