Pelan-pelan, hembusan angin memasuki sela sela jendela, membiarkannya mengusap wajah dan berlalu pergi tanpa jejak. Dari luar, terdengar bunyi ranting pohon berdecit, seakan saling bersahutan dengan kerasnya suara jangkrik di malam hari. Sedangkan ilalang hanya asik bergoyang-goyang menikmati irama angin malam.
Aku menyukai suasana ini dari balik jendela, berharap akan ada kado kejutan spesial yang mengatasnamakan tuhan untukku. Yakni mengubah takdirku yang esok hari akan mondok di Pesantren Al aqwam.
Malam ini berbeda dari seribu malam, malam ini adalah malam renungan, bahkan bisa menjadi malam penderitaan. Perasaanku bercampur aduk antara takut, sedih dan khawatir, semuanya menyatu pada muara keheranan yang menjamur di kepala kemudian mengakar di dada. Sebenarnya aku belum siap menjadi santri, berat rasanya. Tapi hey!!, bagaimana mungkin bocah yang baru tamat SD tega dimondokkan untuk terus mengaji?. Sedangkan aku seharusnya pergi menikmati masa muda dengan teknologi, bukan mendekte isi kitab kuning dengan petuah penya’ir abad pertengahan silam, membosankan. Semua bayang bayang itu terus memutar balikan otakku, mendekte batinku dan memaksanya menolak untuk menjadi seorang santri.
Selang beberapa menit, rembulan berhenti memancarkan sinarnya, ranting pohon berhenti berdecit, jangkrik berhenti mengomel, sedangkan angin malam masih setia membelai parasku hingga aku terlelap di alam mimpi.
Pagi tiba, aku terjaga dari ruang mimpi, sepertinya aku terlalu nyaman rebahan di atas kasur. Aku segera bangkit dan berkemas, memastikan semua barang telah masuk ke dalam tas, seperti baju, buku, peralatan mandi dan robot-robotan, aku rasa semua itu perlu. Orangtua sudah menunggu di teras depan rumah, ibu sedikit mengomel karena aku dianggap bangun kesiangan. Sedangkan ayah hanya duduk santai menikmati nuansa mentari yang malu malu menampakan pancaran sinarnya. Setelah semuanya beres, aku pun berjalan menuju mobil tua yang sudah siap mengantar si malaikat kecil ini. Namun sebelum kakiku mantap untuk masuk ke dalam mobil, aku berpaling menghadap ke belakang, mengamati keadaan sekitar dan mengucap salam perpisahan.
“Inilah saatnya,” gumamku dalam hati. Aku pun berangkat.
Jam 16:00 WIB, mobil kami berhenti di depan tengah persimpangan jalan, terjadi kemacetan kecil, aku yang tadinya terlelap, mulai mengamati keadaan sekitar.
Orang orang berpeci mengisi hiruk pikuk jalanan, ada yang sibuk mengatur lalu lintas, meminta sumbangan, ada yang sibuk berbelanja, sebagian yang lain hanya duduk di lumbung dekat persimpangan bersama kerabatnya, jelas yang terakhir itu pasti santri baru. Maklum, bulan ini lagi ramai ramainya penerimaan santri baru.
Mobil kami perlahan masuk jalan sempit itu, jalan beraspal itu kira kira lebarnya cukup untuk dua mobil pick up.
Aku melihat gapura menjulang, dua tiangnya megah, seakan menyambut kedatangan kami di pesantren ini. Di atasnya tergantung sebuah tulisan “Al Aqwan” yang diukir dengan bahasa arab.
Samar samar terdengar lantunan kalam ilahi yang merdu, para santri menuju pusat suara itu. Aku menengok keluar kaca mobil, mataku melirik sana sini sembari mencari-cari asal suara indah itu, mungkin itu adalah konser syar’i haha entahlah, tapi itu kesan pertamaku. Aku menikmati suasana ini dengan sedikit rasa cemas, meski kecemasan itu sedikit terobati dengan konser syar’i itu.
Malam tiba, malam ini sudah berbeda dengan malam malamku sebelumnya. Malam ini seperti pasar malam, para santri berlalu lalang membawa kitab sambil bercengkrama dengan manja, aku mengamati mereka dari jendela penginapan lantai dua. “Apakah aku akan seperti mereka nantinya?,” pikirku.
Tanpa babibu, aku pun segera tidur dan berharap semuanya segera kembali normal –kembali pulang dan menikmati suara angin malam dengan tenang.
Namun siapa sangka, bunga tak sesedap madu, ternyata ekspektasi berbanding jauh dengan realita. Hari yang tak pernah ingin aku alami pun tiba, aku resmi menjadi seorang santri. Bayang bayang susahnya menjadi santri tiba tiba keluar menggurita tak karuan. Ingin rasanya aku kembali pulang dan bersua dengan langit kala senja tiba. Tapi apa daya, akhirnya aku hanya pasrah menerima setiap keadaan yang aku alami saat ini. Menangis.
Dari bilik ruangan kantor pesantren, tampak seorang santri lengkap dengan kopyah, sorban dan jenggot tipis mendatangi kami, rupanya beliau adalah seorang ustad. Segera aku diantarkannya menuju kamar, tapi bagiku kamar disini lebih pantas disebut pemakaman yang mengerikan. Kamar-kamar kumuh di kanan kiri menjadi wisata perjalananku hari ini. Sesekali aku sigap menoleh ke belakang, Oh, ayah ibu masih ada, hal itu membuat batinku sedikit lega. Kamar A7, kamar ini berbeda dengan kamar kamar yang tadi aku lewati, kamar ini lebih bersih, penghuninya lebih sedikit dan yang pasti lebih tentram daripada kamar lainnya.
Ternyata kamar ini dikhususkan untuk santri baru, santri yang boleh masuk kamar ini pun bukan sembarang orang. Kebijakan itu seolah memberikan perlindungan ganda dan sedikit rasa aman untukku.
Setelah semua dirasa cukup, orangtuaku pamit pulang, seketika rasa cemasku meningkat dua kuadrat, sesekali aku meminta pulang, tapi ayah meneguhkan batinku kalau pesantren merupakan tempat ternyaman setelah kasur, aku hanya menurut saja. Tapi saat langah kakiku sampai di tanah parkiran, aku menangis sesenggukan, air mata mengalir tak karuan, sedangkan santri lainnya menatapku dengan berbagai ekspresi menyebalkan.
Aku hanya bisa menatap orangtua dari jarak satu setengah meter sambil melambai pelan. Saat itu pula aku melihat orang tuaku tersenyum, senyum paling sempurna dari seribu senyum. Ya, senyum yang berisi harap orangtua. Harapan agar kelak anaknya mampu menjadi orang hebat suatu saat nanti.
Aku menyaksikan pungggung mobil itu hilang, menyisakan bekas ban yang masih menawan di atas pasir. “Aku dibuang?,” gumamku. Segera aku kembali ke kamar, lalu melanjutkan nangis episode kedua di atas bantal.
Sebagai santri baru, hampir setiap hari aku menangis, di kamar, di Masjid ataupun di Kamar mandi (mungkin kalian juga pernah merasakannya), hampir semua tempat pernah menjadi saksi bisu air mataku. Entah sudah berapa episode aku menangis, setiap saat aku selalu membayangkan kedua orangtua, kemudian aku menangis, begitu seterusnya.
Terkadang, teman yang sebaya denganku pun curhat tentang rasa rindunya kepada orangtua, sehingga perbincangan kami selalu ditutup dengan air mata, kami pun menangis berjama’ah.
Beberapa hari aku menyandang status sebagai santri, banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Seperti halnya keanehan keanehan para santri yang aku anggap mempelajari sihir dan guna guna, buktinya mereka masih bisa tersenyum walau dihukum, masih sehat walau tiap hari meminum air mentah dari sumur. Walaupun berat, aku pun pelan-pelan mulai terbiasa dengan kejadian misterius itu.
Disamping fakta fakta mengerikan yang aku temui, ada beberapa hal yang pasti dianggap jorok oleh kebanyakan orang saat ini, seperti mandi bersama, entah itu dua, tiga ataupun lima orang di dalam satu kamar mandi, apalagi ditambah air yang berubah warna karena banyak alat alat mandi yang mengambang di permukaan.
Meski demikian, para santri sangat ta’dzim terhadap asatid. Dimanapun mereka bertemu dengan ustad, mereka selalu menunduk dan tersenyum ketika disapa. Hal Ini menjadi salah satu alasanku untuk mengenal lebih dalam kultur pesantren, bahkan mengenal sampai ke akar akarnya.
Di Pesantren ini, aku jadi lupa dengan keindahan teknologi, serunya acara TV dan lupa cara berbicara dengan lawan jenis, aku lebih disibukkan dengan menganalisa isi kitab dan mengkaji segala hal yang berurusan dengan agama. Walaupun melelahkan, semuanya terbayar dengan canda tawa oleh kekonyolan santri santri sini.
Mengenal pesantren, mengajarkanku arti bahwa momen kebersamaan tak dapat ditukar rumah mewah, waktu tak selamanya ditukar emas. Selain itu, aku juga dapat memahami bagaimana cara mencintai paling sempurna, mencintai setiap mankhluknya tanpa berpaling pada sang pencipta alam raya.
Setiap momen langka yang terekam dalam bayang-bayang otakku, akan selalu terpatri di dada dan kukenang sepanjang masa. Karena disinilah, aku mampu menjadi seutuhnya.
Cerpen Karangan: Agil Mulya Gaffar Blog / Facebook: Agil Mulya Gaffar Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com