Sekolah mengadakan class meeting, dan di acara puncak, masing-masing kelas harus perform di atas panggung. Kelasku berencana menampilkan drama, drama pendek gitu dan aku ditunjuk jadi penulis skenario. Berhubung aku suka cerita horor, skenario yang kubuat pun tentang kisah hantu, ‘Kuntilanak Merah.’ Namun, ketika tengah menulis naskah sendirian di rumah, tepat bagian munculnya kuntilanak merah, aku tiba-tiba merinding tanpa sebab, karena itu aku memutuskan berhenti menulis, dan melanjutkan besok.
Esoknya hal itu terulang kembali, padahal naskah harus selesai hari ini karena kelas kami sudah mulai berkumpul untuk latihan dan berbagi peran. Kuputuskan keluar dari kamar untuk menghirup udara segar, membiarkan laptop menyala.
Beberapa menit di luar aku mempunyai ide untuk mengubahnya menjadi kisah komedi saja, jadi judulnya tetap Kuntilanak Merah, tapi jadi drama komedi. Sampai kamar, angin dingin tiba-tiba berembus, dan aku mendadak terserang kantuk sehingga memutuskan menulis naskahnya setelah bangun tidur saja.
Laptop masih menyala, layar menampilkan naskah drama yang belum selesai kuketik. Aku tertidur pulas, tanpa curiga dari mana angin dingin itu berasal sedangkan kaca jendela tertutup rapat dan kipas angin tak menyala. Dalam mimpi aku merasa sedang mengetik naskah drama tersebut. Mungkin karena terlalu dipikirkan, sampai terbawa ke mimpi.
Anehnya, begitu bangun, naskah tersebut sudah selesai. Apakah aku tidak bermimpi? Apakah benar-benar bisa mengetik sambil tidur? Karena tak menemukan jawaban yang memuaskan atas fenomena ini, kuputuskan memang aku telah mengetik naskah tersebut dalam tidur. Merasa tugas terlaksana dengan baik, kuprint naskah tersebut tanpa membacanya lagi lalu beranjak untuk bertemu teman-teman.
Reaksi teman sekelas atas naskah yang kutulis pun menggembirakan, mereka setuju memainkan drama ‘Kuntilanak Merah.’ Toh, meski acara itu digelar di sekolah kami yang terkenal angker karena bertetangga dengan kuburan umum, ini cuma drama komedi.
Semua peran ditentukan melalui undian, proses berjalan lancar bahkan sangat lancar, pemeran kuntilanak merah juga kurasa sangat cocok. Anehnya aku tak bisa mengingat nama anak tersebut? Dia teman sekelas, aku tahu, tapi siapa dia? Sosok tinggi berambut panjang sepinggang?
Melihat teman-teman yang juga tidak protes ataupun merasa aneh dengan teman sekelas yang kulupa namanya tersebut, kuputuskan menyembunyikan kecanggungan ini. Bukankah memalukan kalau lupa teman sendiri?
Dan, drama itu pun dimulai. Kami menunggu giliran tampil, aku terpana dengan kostum pemeran kuntilanak merah. Gila, keren parah. Itu adalah kesan pertama dariku, benar-benar mirip kuntilanak sungguhan. Dia seperti sangat mendalami perannya karena sepanjang waktu menunggu giliran tampil, bibirnya tak mengeluarkan suara apa pun, dan terus menunduk.
Eh, bukannya ini drama komedi, ya? Kenapa dia seserius itu? Apa aku sebagai penulis naskah ini harus mengingatkan? Nuraniku menuntun untuk mendekat, berniat memberi dia sepatah kata supaya tak terlalu serius karena ini drama komedi. Namun, saat berdiri di sampingnya, anehnya tercium anyir darah dan sedikit bau busuk. Apakah dia sangat mendalami perannya sampai-sampai memakai parfum begini? Dan kenapa auranya mengintimidasi begini? Jadilah aku mengurungkan niat menyapanya, dan memilih membenahi kekurangan pemeran lain.
Lalu, tibalah saat kelas kami tampil. Untungnya drama berjalan lancar, beberapa penonton tertawa ngakak karena joke-joke di drama kami.
Sekarang, saatnya muncul pemeran utama, sang Kuntilanak Merah. Aku bersiap untuk melihat puncak komedi. Dalam naskahku sih nanti kuntilanak ini akan di jadikan bual-bualan, ditertawakan dan tidak ada seram-seramnya sama sekali, dia akan jadi hantu konyol gitu. Tanpa sadar bibir melengkung ke atas, menunggu dengan debar di dada bagaimana audience akan meledak oleh tawa akibat ulah si kuntilanak merah.
Namun, lampu mendadak padam. Hanya lampu panggung tempat pemeran kuntilanak merah yang masih menyala terang. Aku semakin berdebar oleh semangat, kupikir teman-teman melakukan improvisasi sehingga terlihat menegangkan. Dan memang, mendadak semua hening, terpaku ke atas panggung. Gila, gila. Aku berhasil membuat drama paling keren sepanjang hidupku!
Ayo, tunjukkan kelucuanmu, Kuntilanak! Kita pecahkan rekor sebagai drama terlucu!
Anehnya, pemeran kuntilanak merah itu hanya diam di atas panggung, tidak melakukan apa yang ada di dalam naskah.
Tiba-tiba angin dingin menyentuh tengkukku. Sepoi-sepoi ini anehnya terasa mencekik. Suara gamelan ditabuh membuat entah kenapa suasana jadi menyeramkan. Lalu… Seperti dikomando, mulut teman-teman kelasku mulai terbuka, bukan mengucap dialog dalam drama melainkan…
‘Lingsir wengi … Sepi durung iso nendra Kagodha miring wewayang Ngerindhu ati … Lingsir wengi, sliramu … Ojo Tangi nggonmu guling’
Matanya… Yang baru kusadari hanya berwarna merah dengan darah menetes ke pipi, menatap tepat ke arahku… Tawa khas kuntilanak terdengar sayup-sayup.
Dalam sepoi angin… Kumendengar seseorang berbicara… “Suara tawanya terdengar keras jika dia jauh, dan sayup-sayup ketika dia dekat…” Suara teriak ketakutan memekakkan telinga menutup persembahan drama kami yang harusnya ditutup oleh tawa.
End.
Cerpen Karangan: Himada Via
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com