Di bawah senja. Kala jemariku menelisik lipatan kertas beraroma parfum citrus. Tertanda untukku.
Untukmu yang kuanggap kekasih.
Hujan tengah membasahi seisi kota. Di tengah kesibukan kantor, mataku menatap semesta kian subam dari balik ventilasi gedung. Pikirku runyam kala suara hujan samar-samar menggema di telingaku. Yang kupikirkan hanya kamu. Pengagum warna kuning.
Kuhentikan sejenak. Beralih kutatap langit yang memayungiku. Terjadi fenomena matahari tenggelam. Merubah penampakan langit biru menjadi kuning jingga – Benar, aku pengagum warna kuning. Aku selalu ingin melihat kuning. Dimana pun, kapan pun itu. Lantas, aku menjadi pendendam hujan. Dimana kuning sukar ditemukan dalam hujan. Kuhela nafasku ringan, di dekat jendela, kembali pada lembaran beraroma citrus.
Benakku mendadak membayang dirimu. Layaknya kuning, aku hanya terfokus pada peristiwa-peristiwa lalu yang menghangatkan. awal aku mengerti kuning, awal aku bahagia olehnya, awal juga aku kehilangannya. Aku berharap kamu cepat kembali dari urusanmu, karena di sini aku rindu. Salam, Surya
Alasan kenapa aku menilaimu tulus, karena kamu salah satu dari kesukaanku, Surya. Di atas sana, langit telah menampakkan warna aslinya. Bertabur bintang dan cahaya rembulan. Sama sepertimu, aku menatap langit lalu kembali ke masa lalu.
—
Surya ialah rekan organisasi OSIS yang amat populer. Tiga tahun kami bersama. Awalnya, aku hanya ingin dianggap rekan olehnya; membantu semua tugasnya, mengatasi kesulitan bersama. Tapi, semakin lama, rasa ingin dianggap rekan perlahan memudar. Aku tau, kala itu anggota telah berjanji bahwa, sesama anggota OSIS tidak boleh memiliki perasaan satu sama lain. Perjanjian Itu, cukup membuatku terpukul, karena aku, perlahan mulai menyukai Surya.
Perlakuannya terhadapku, berbeda dengan perlakuan orang lain terhadapku. Kamu seperti sosok sempurna yang dihadirkan Tuhan untukku. Sosok yang sanggup menepis pepatah, “tidak ada makhluk yang sempurna.” Sosok yang akan menjadi sumber kehangatan untukku, sosok yang akan menyinari gelapku, layaknya sang poros yang menjadi alasanku tuk berotasi.
Layaknya memang sebuah takdir. Berapa kali pun kamu menjalin hubungan dengan bukan aku. hubunganmu tak berlangsung lama. Aku tau kamu orang baik, kamu tidak akan merusak hubunganmu sendiri. Aku juga tau, kalau kamu sebenarnya suka menangis diam-diam. Maaf, saat itu aku hanya melihat tak berbuat apapun. Karena aku, merasa belum pantas.
—
Aku juga ingat hari itu, hari dimana kita pergi berdua, untuk mendokumentasikan hutan bakau buatan sekolah. Saat itu hanya kamu dan aku. Pulang sekolah penuh peluh, kita langsung pergi. Kita tak saling memperhatikan penampilan – Baiklah, jika itu kamu. Tapi, aku? dengan kaca mata minus super tebal, wajah penuh dengan jerawat meradang, rambut kusut. Ah, apakah aku layak dipanggil siswa SMA?
Dari awal, kita terus membicarakan hal penting. Hal tentang OSIS tentunya. Ah, aku tau ini sebuah misi. Tapi, bukankan kita bisa saling bercanda/bergurau sesekali? Atau sekedar menikmati pemandangan hutan bakau?
Hari menjelang senja, kita tak kunjung kembali. Senja tak seperti biasanya. Kali ini awan menutupi sang surya yang berada di atasnya. Alhasil, warna favoritku luruh tak mungkin hadir. Aku sedih. Tapi, saat aku mendapatkan senyummu terlukis melihat mendung. aku bergidik. Jangan-jangan, kamu pengagum hujan.
“Kau ini aneh, ya. Namamu Surya, tapi kau pengagum hujan.” Aku berkata dengan menatap langit. “Kau juga, namamu Rayn, tapi pengagum senja.” Kamu tertawa. Pernyataan kita seakan saling melengkapi.
Kita tertawa bersama, di bawah pondok kecil hutan bakau kala hujan. Kita saling mengobrol, entah kamu atau aku yang membuka pembicaraan, itu akan berlangsung lama.
Seiring waktu, hujan reda menyisakan gerimis. Langit sedikit menguning, dan udara bersih nan sejuk. Pandanganku terus tertuju pada bunga matahari yang basah di sepetak taman kecil penuh bunga-bungaan. Lantas Surya berjalan keluar pondok dan menghampiri taman itu. Aku menyusul. Dia menunduk menghadap bunga matahari, lalu memetiknya.
“Apa yang kau lakukan?” Aku marah. Tanpa bersuara, bunga itu diberikan kepadaku. Aku bingung. “Kau suka kuning, bukan? ini adalah salah satu bunga berwarna kuning di hutan ini, kau lihat, dia juga.” Kamu menunjuk langit yang betebaran warna jingga dan kuning. Mataku meredup, mengagumi. “Dan, aku, Surya, adalah bagian dari mereka. Kau, menyukaiku?” lanjutmu membuatku tertegun. Aku mendadak beku, nafasku berhenti sejenak.
Kamu tersenyum, “Tidak, tentu bukan sekarang, tapi nanti jika urusan kita dengan OSIS telah usai.” Katamu menggenggam pundakku. Aku masih membeku.
“Rayn, aku menyukaimu.” Jantungku berdebar semakin berdebar, pipiku terasa terbakar, telapak tanganku berkeringat. Segenap hati, aku memberanikan diri untuk bertanya sejak kapan. Kamu satu langkah mendekat kearahku. Menempatkan wajahmu di dekat telingaku, lalu berbisik.
“Sudah lama.” Lantas kamu menatapku. Menunjukkan seringai, dilanjutkan meletakkan kedua tangan di belakang kepala, lalu pergi meninggalkanku yang masih membeku menggenggam bunga matahari pemberianmu.
“Ayo, Rayn. Kita pulang,” ucapmu berhenti menungguku. Tubuhku menggertak untuk bergerak menyusulmu. Berjalan di sisimu. Memandangi wajahmu. Tanganmu beralih menggenggam tanganku erat. Berjalan di tengah suasana senja dan gerimis, berlatar hutan pohon bakau dan pasir pantai.
“Ingat, Rayn. Rasa ini sebisa mungkin kusembunyikan. Tiba saat janji OSIS telah kehilangan masa berlakunya nanti. Saat itulah tiba saatnya. Kamu bisa menerima atau bahkan menolakku. Biarlah ungkapan ini menjadi sebuah rahasia. Hanya kita, senja, gerimis dan hutan pohon bakau.”
—
Suratmu membawaku ke masa lalu terlalu jauh, Surya. Suratmu mengingatkanku, betapa aku sungguh beruntung disukai olehmu. Buatku terngiang setiap peristiwa-peristiwa rahasia rasa kita saat itu. Terima kasih, Surya. Terima kasih telah menjadi sumber warna kuningku.
Cerpen Karangan: Sspenyendiri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com