Minggu yang dinanti kini telah datang. Tanpa ditunggu sinar kuning memancar di puncak bukit menjulang. Suasana pagi itu teramat heboh dengan kegiatan orang pasar mengangkut dan menyusun barang dagang. Bahkan beberapa pembeli duduk menunggu penjual membuka lapaknya.
Tak jauh dari keramaian pasar, di seberang jalan tersedia sebuah indekos bernuansa biru dan putih. Salah satu kamar, tepatnya didepan pagar ditempati mahasiswa bernama Aksya. Aksya anak yang tekun dalam menuntut ilmu, sangat pintar bersosial dengan setiap golongan orang. Bahkan Aksya mengenal dan dikenal beberapa penjual di pasar.
Setiap memulai hari, Aksya mengawali dengan mengisi perut kosong. Berniat turun dari ranjang ingin memasak. “Masak apa ya? yang enak gitu.” Aksya mulai berpikir akan sebuah ide. Berjalan melihat bahan tersedia di dapur sembari membuka kulkas. “Haduh.” Menepuk jidanya kesal. “Bahkan minyak goreng saja tidak ada,” ucapnya begitu lemah.
Dengan keadaan terpaksa Aksya keluar menyeberangi jalan memasuki pasar. Mengedarkan pandangan melihat-lihat setiap penjual. Tanpa pikir panjang Aksya berjalan ke gerobak bertulisan sate. Memesan satu porsi kemudian pamit sebentar. Tak jauh dari tempat penjual sate Aksya pergi membeli kentang dan bahan memasak lainnya.
Selesai memilih kentang, Aksya ingin segera kembali ke tempat penjual sate tadi. Saat membalik badan melangkahkan kaki pergi, mata Aksya tertuju pada nenek yang meminta sedekah, tetapi tidak ada yang mau memberinya uang walau seribu. Melihat hal itu membuat dia penasaran karena, tak ada yang mau mendekati nenek tua itu.
Kembali ke posisi semula dan bertanya-tanya. “Pak Irit, kalau Aca boleh tau nih, dilihat-lihat orang pada takut sama nenek itu. Kenapa tidak ada yang memberi uang meski seribu? Tega sekali,” lontar Aksya penasaran meminta jawaban pada penjual kentang. “Menghindar bukan berarti tega, Aca. Nama nenek itu Manar, orang takut pada beliau karena, kurang waras. Beliau kabur dari panti jompo kata orang-orang. Baru lima hari Nek Manar di pasar ini,” jelas Pak Irit. Aksya sudah mengerti akan jawaban Pak Irit.
Usai memilih kentang Aksya memberanikan diri menghampiri Nek Manar. Aksya merasa iba dengan kehidupan Nek Manar, beliau dibuang ke panti jompo, itu sungguh tak patut ditiru.
“Nenek, lapar?” tanya Aksya baik-baik, Nek Manar menganggukkan kepala, menurut Aksya Nek Manar masih sedikit sadar dan tidak kasar dengan orang sekitarnya. Jika, orang itu berbicara baik-baik. “Ayo, ikut Aca makan sate, mau?” berbicara lembut sopan sambil menjulurkan tangan sedikit waspada.
Nek Manar menghiraukan tangan Aksya dan langsung berdiri. Lalu diajaknya nenek itu makan sate ke tempat dia memesan tadi. Aksya meminta Nek Manar duduk baik, agar orang-orang tidak takut, kemudian dibawanya sate satu porsi yang dipesan tadi. Berhubung uangnya juga habis, dia berniat memasak makanan saja sehabis pulang untuk sarapan. Nek Manar tertawa memperlihatkan keompongan giginya dan bertepuk tangan saat Aksya menyuguhkan sate itu. Aksya pun ikut tertawa gembira akan tingkah Nek Manar. Seusai menyuapi sate pada Nek Manar, Aksya mencucurkan air dan menyuapinya lagi.
“Terima kasih,” ujar Nek Manar seraya tersenyum, lalu pergi tanpa permisi. Aksya sangat bahagia mendapat ucapan itu hingga dia lupa akan rasa laparnya tadi. Aksya kembali pulang dengan hati berbunga-bunga. Entah kenapa Aksya sangat bahagia akan kegiatan hari ini. Dia berjanji kepada diri sendiri akan berjumpa kembali dengan Nek Manar dan menawarkan makanan lagi.
Cerpen Karangan: Y. Nurafifah Blog / Facebook: Yulianurafifah Pelajar SMP
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com