Baru dua minggu aku putus, rasanya sepi banget. Mungkin karena biasanya aku dapet laporan dari kamu, tentang hal-hal yang sebenarnya gak ada urusannya sama aku tapi gak tahu kenapa aku kangen. Kangen hp yang yang bergetar setiap menit mungkin. Kangen notif WA setiap saat mungkin. Atau sebenernya aku kangen kamu? Rasa kangen ini sungguh tidak jelas. Seperti ada yang hilang dan kosong sekarang, tapi aku gak tahu apa yang hilang. Lalu bagaimana caraku mengganti agar kekosongan ini sirna?
“Udah kamu cari yang baru aja, na!” “Menurutmu gampang yang baru? Susah tau, hen!” “Ya tipemu gak usah tinggi-tinggi dulu dong, niatnya buat pelampiasan aja.” “Parah nih,” kataku dengan nada tinggi. “Udah umur berapa masih jaman gituan,” lanjutku. “Ya salah sendiri ngapain masih mikirin mantan. Ngapain mikirin orang yang udah ngebuang kamu!” “Ya wajar lah baru dua minggu.” “Coba buka hati buat yang lain, cowok tuh banyak na.” “Banyak itu bukan cowok tapi bebek hen.” “Ih … lagi serius juga! Coba deh kamu mulai buka hati dan mencari yang baru.”
Aku terdiam mendengan ucapan hena itu. Mataku teralihkan oleh pohon yang tertiup angin di tepi jalan. Aku mengambil minumanku di meja lalu meminumnya. Mengehela napas dengan masih melihat pohon itu.
“Coba deh nanti aku kenalin sama cowok,” celetuk hena setelah diam beberapa lama. Aku menatapnya tak yakin. “Siapa?” “Aku cariin dulu, bisa jadi temannya temanku … atau temannya teman temanku.” Aku menatap pohon itu lagi, seperti meminta ketenangan agar tak terbawa emosi lalu berujung menjitak kepala hena.
“Pokonya kalau ada yang ngedeketin kamu, kamu kudu buka hati ya na … kudu!” “Iya iya hena cantik …”
Aku menunggu bus untuk pulang ke rumah. Aku membuka facebook untuk menghilangkan sejenak rasa bosan. Ada pesan ternyata. “Hai sana, salam kenal ya.” Dari akun facebook bernama Nino Wardana. “Iya.” Jawabku yang awalnya iseng karena memang lagi butuh teman ngobrol. “Kamu orang semarang?” “Ya.” “Aku juga loh, kamu semarangnya mana? Btw kamu anak SMA 2 ya? Temenku juga ada yang lulusan situ, kamu lulusan tahun berapa?”
Aku kemudian memberi tahu Hena tentang orang itu. “Lumayan sih menurutku, akunnya bukan akun fake juga. Dia gak pernah mosting cewek juga. Coba aja na, buka hati siapa tahu jodoh. Toh kalian juga nyambung,” tulis Hena dalam pesan whatsapp.
Dan obrolanku dengan nino terus berlanjut dengan topik yang berbeda. Dia fast respon walau kami chatingan lewat messenger. Bahkan ada wacana untuk bertemu. Sampai seminggu kemudian tiba-tiba dia menghilang dan pesanku hanya dibaca. “Mungkin dia sibuk.” Pikirku menghibur diri. Lalu besoknya saat aku buka facebook aku lihat ada story nino disana. Aku buka, dan betapa terkejutnya aku melihat nino memposting foto bersama seorang wanita dengan caption “I Love You Bby”.
“Hahaha ….” tawaku memenuhi seisi kamar Hena. “Emang kamu gak nanya dulu dia udah punya pacar apa belum?” “Ya enggak lah, ya aku pikir dia gak punya pacar. Kalau punya pacar buat apa ngebaperi cewek lain coba?” “Masalahnya gak semua orang itu kayak kita. Yang kalau udah punya pasangan ya udah stuck disitu.” “Iya bener juga si.” “Lain kali sebelum memulai kisah tanyain dulu udah punya pacar apa belum!” Aku hanya terdiam mendengar kata-kata hena.
Hari berganti aku mulai dekat dengan seseorang tanpa sengaja. Dia sering datang ke kafe tempatku bekerja part time. Dia memberi nomor whatsapp karena ada buku penting yang ketinggalan di kafe. Jadi jikalau ada yang mengembalikan atau mungkin ketemu di kafe tanpa sengaja pas aku bersih-bersih, aku bisa menghubungi dia segera. Dan ternyata benar, saat aku bersih-bersih buku itu ketemu. Otomatis pasti aku menyimpan nomornya dulu sebelum mengirim pesan di whatsapp. Setelah insiden itu aku kira urusan kami sudah selesai. Ternyata kami malah semakin dekat. Ya, ternyata nomerku disave dia, sehingga kami bisa saling melihat story. Dia sering mengomentari storyku. Dan ternyata kami nyambung. Dan chatingan kami semakin intens sampai melanggar batas kata “kenalan” karena ini lebih dekat dari sekedar “kenalan”. Lalu aku mulai tanya untuk memastikan dan berjaga-jaga.
“Ngmong-ngmong kamu udah punya pacar belum sih?” “Kok tiba-tiba nanya gitu?” “Gak papa cuma mastiin aja, karena dalam chatingan kita sudah ada kata “sayang” walau konteksnya bercanda. Aku hanya tidak ingin salah paham.” “Ada aja deh, biar gak dibully jomblo wkwk.” “Beneran ada?” “Panjang lah ceritanya.” Begitulah isi teks terakhir kami yang kini kuperlihatkan pada hena.
“Menurut kamu ini maksutnya emang udah punya pacar kan?” “Iya lah na. Udah jelas. Kamu cuma dibaperin doang. Untung kamu nanya.” Aku menyangga kepalaku dengan tangan kiri sedangkan tangan kananku masih memegang handphone. Nino dan mas-mas yang nyari buku itu hanya 2 kisah dari beberapa kisah tragis lainnya dalam sebulan ini.
Memang seperti ada yang hilang dan kosong saat dia pergi. Dan aku mulai paham bahwa itu yang dinamakan kesepian. Kesendirian memang ujian terberatnya adalah kesepian. Tapi itu lebih baik ketimbang mudah berharap lalu jatuh, bangkit lagi dengan harapan yang baru kemudian jatuh lagi. Walau mungkin ternyata bisa bangkit lagi misalnya. Tapi apa gak capek? Gak mau jeda buat ambil napas dulu? Gak kasihan sama diri sendiri? Kadang sesuatu yang hilang gak harus lansung digantikan dengan yang baru. Karena semua hal yang terlalu dipaksakan itu jadinya malah gak enak. Karena kalau dilanjutin terus kayaknya gak aman buat hati, dan biasa-bisa berujung dengan nisan “Rip Rasa”.
Cerpen Karangan: Desy Puspitasari Blog / Facebook: DesyPuspitasari