Angin sepoi-sepoi melengkapi keindahan senja sore ini. Aku duduk bersama Mama dan Papa juga kakakku di sudut taman kota.
“Sudah mau azan Magrib. Ayo kita ke masjid sekarang.” Ajak Papa. Suara azan berkumandang dengan merdu. Aku, mama, dan kakak sudah siap melaksanakan Shalat bersama jemaah perempuan yang lain. Begitu pula dengan Papa bersama para jemaah laki-laki lain.
Setelah selesai Shalat aku dan keluargaku menuju tempat makan yang cukup ramai dikunjungi. “Ma, kemarin kakak ketemu Bella sama Om Dito. Bella baru pulang bimbel, dan tahu enggak ma? Bella sudah pakai hijab.” Kakakku bercerita Bella, sepupu kami. Anaknya adik Mamaku. “Alhamdulillah. Berhijab memang kewajiban kita sebagai Muslimah.” Ujar Mama tersenyum lembut.
Saat sedang asyik mengobrol bersama, aku melihat Vira. Ia teman sekelasku. Ia melewati meja tempat aku dan keluargaku makan. Aku tersenyum dan memanggil namanya. “Vira!” aku menyapanya dengan tanganku yang melambai ke arahnya. Alih-alih menjawab sapaanku, ia malah melihatku dengan tatapan sinis. Ia berjalan dengan angkuh seakan tak mengenal diriku. Memang kami tak pernah berteman, tapi setidaknya ia tahu namaku dan mengenalku.
Saat melewati meja, ia mengekori seorang pria yang mungkin adalah Ayahnya. Sepertinya ia sedang makan malam entah bersama keluarga atau klien ayahnya. Ayah Vira adalah seorang pengusaha sukses juga terkenal. Aku tak ambil pusing dengan sikapnya yang dingin padaku. Aku hanya sibuk memikirkan makanan yang sebentar lagi datang. Perut ini tak bisa disuruh diam lagi, bunyinya yang berisik semakin membuatku tak sabar menunggu.
Setelah selesai makan, aku mengajak Papa dan Mama mampir ke toko buku. Aku memang sangat suka membaca. Rak buku di kamarku sudah penuh tak bersisa. Aku akan menyumbangkannya, juga akan menyumbangkan hijab dan baju-baju lamaku yang masih bagus dan layak pakai.
“Dek sudah dong belanja bukunya. Lama banget sih, sudah mengantuk nih.” Kakakku terus saja mengomel saat aku sibuk memilih buku. Akhirnya setelah selesai aku segera ke kasir dan menuju bersama kakak ke mobil.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, siswa siswi begitu ribut dan riuh membicarakan banyak hal. Saat aku baru ingin melangkahkan kakiku ke dalam kelas, aku melihat Vira melangkah ke arahku sendirian, tanpa dayang dayangnya.
“Assalamualaikum”. Ucapnya. “Waalaikumsalam. Ada apa ya?” aku bertanya penuh keheranan. Tak biasanya ia bersikap ramah seperti ini. Apalagi denganku. Vira remaja cantik kaya raya dengan banyak teman serta kepopuleran yang melekat pada dirinya. Tak ada angin tak ada hujan, ia menyapaku di pagi yang mendung ini. Sungguh aneh tapi nyata. Apalagi mengingat kejadian semalam saat ia tak menjawab sapaanku.
“Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ketemuan di Cafe dekat sekolah nanti sore?” “Boleh saja. Jam 3 sore ya. Biar pulangnya enggak kemalaman.” Sebenarnya aku ingin menolak, tapi aku tidak enak hati padanya. Ia berusaha bersikap ramah, harusnya aku melakukan hal yang sama. “Ha ha ha iya. See you again.” Ia berlalu menuju ke arah lapangan tanpa sepatah kata apa pun lagi. Di matanya, aku melihat kesenduan. Bukankah ia punya banyak teman? Ia cantik? Ia juga hidup lebih dari berkecukupan. Bukankah itu semua membuatnya bahagia tanpa sendu. Tapi kenapa wajah dan matanya menampakkan kesedihan? Atau hanya diriku yang salah menilainya?
Masih dengan gamis warna biru juga dengan kerudung segi empat warna putih, aku datang tepat pukul 3 sore ke Cafe di dekat sekolahku. Aku datang diantar kakak sepulang aku mengajar mengaji anak-anak di Masjid dekat sekolah. Biasanya hari Rabu dan Sabtu aku mengajar mereka bersama Ustazah dan ustaz. Aku memilih mengajar mengaji karena pada hari itu aku juga tidak ada kegiatan ekstrakurikuler. Lebih baik aku isi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat.
“Dirsa!” Vira memanggilku dengan senyum indah di pipinya. Setelah lima belas menit menunggu ia tiba dengan tergesa gesa. Vira datang dengan rok panjang warna hitam dan baju kaos lengan panjang berwarna tosca. Penampilannya sungguh berbeda. Apalagi saat aku juga melihat ia mengenakan hijab. Padahal tadi di sekolah, ia masih belum berhijab. Tapi aku senang melihatnya sudah berhijab. “Maaf lama. Sudah pesan?” “Sudah. Aku juga sudah memesankan cappuccino untukmu.” Ia hanya mengangguk tanda setuju.
“Kamu mau ngomong apa?” tanyaku “Aku mau cerita sama kamu. Awalnya aku enggak enak, karena kita sapaan saja jarang. Apalagi semalam aku enggak menjawab sapaanmu di restoran. Maaf soal itu, Jadi sebenarnya…” Ia memulai ceritanya. Aku mendengarkan baik-baik sambil sesekali menyeruput cappuccino milikku.
“Aku sering merasa kesepian. Kemewahan yang aku punya tidak membuatku benar-benar bahagia. Bukannya aku tidak bersyukur, aku benar-benar bersyukur. Tapi aku merasa ada yang masih kurang dalam hidupku”. Ia tertunduk lesu menceritakan sisi kehidupannya. “Bukankah di sekolah kamu punya teman?” “Banyak. Tapi mereka bukan teman yang sebenarnya. Mereka sebenarnya tidak ingin berteman denganku, hanya saja aku populer di sekolah, karena itu mereka memilihku menjadi teman mereka.” “Kalau begitu jangan berteman dengan mereka. Cari teman lain.” Jawabku memberi saran “Karena itulah aku mau bertemu dengan kamu disini. Aku mau berteman denganmu. Dan satu lagi…” ia menjeda kalimatnya. “Aku sudah berhijab sekarang. Aku merasa inilah yang kurang. Aku ingin meningkatkan ketakwaanku pada Allah SWT. Dan aku berhijab sekarang sebagai ketaatanku pada Perintah Allah.” Spontan senyum mengembang di pipiku. Rasanya senang mendengar perkataannya tadi.
“Aku tahu memakai hijab adalah kewajiban. Kalau aku tahu, kenapa aku masih belum menggunakannya? Karena itulah aku memutuskan berhijab, sama seperti kamu, juga seperti teman-teman lain yang sudah berhijab. Aku ingin jadi lebih baik.” “Alhamdulillah. Aku senang kamu sudah berhijab, berhijab adalah perintah Allah, kita wajib menggunakannya. Hijab menjadi penjaga dan identitas kita sebagai Muslimah. Kita akan sama-sama belajar jadi Muslimah yang lebih baik lagi.” Vira tersenyum, ia memelukku. Aku juga memeluknya. Ternyata dibalik hidupnya yang nyaris sempurna itu, ia merasa belum bahagia. Terasa ada yang kurang dalam hidupnya yakni, berubah jadi lebih baik. Berhijab merupakan satu langkah yang tepat agar menjadi Muslimah sejati. Hijab menjadi mahkota indah setiap Muslimah.
Bagiku yang sudah berhijab, aku masih belum benar-benar baik. Aku harus lebih meningkatkan keimanan pada Allah SWT. Kebahagiaan dunia mungkin memang indah, tapi berusaha menggapai kebahagiaan akhirat justru menjadi kebahagiaan sebenar-benarnya.
Cerpen Karangan: Khalila
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com