Duduk di sebuah gazebo sederhana namun kokoh dengan bahan dari kayu jati dilengkapi ornamen goresan vandal yang dibuat oleh para jiwa muda yang ingin meluapkan segala hal yang memenuhi pikirannya di depan kelas yang rimbun, tenang, nan syahdu dilengkapi cuitan burung yang menghiasi pancaran sinar jingga mentari. Dengan pondasi satu lutut menekuk keatas dan satunya lagi menekuk ke arah samping lalu menempatkan tangan kananku diatas lutut yang menghadap keatas serta tangan kiriku kearah belakang untuk menyangga badan.
Lima orang dengan berkomposisikan dua orang perjaka dan tiga orang perawan yang membawa kemelut pikiran masing-masing bersenda gurau dengan mencemomoh diri sendiri, teman, guru, tukang kebun, mbak kantin, penjual nasi pecel, merisaukan pedagang cokrek, menambang Bitcoin, meresahkan program adiwiyata yang hanya dijadikan kedok untuk meninggalkan kelas dan membuat celah korup untuk para pengurus instansi, kegagalan para pendidik yang tidak memahami psikologis para murid, rasan-rasan perihal kemanusiaan sampai masalah ukuran lingerie untuk melepaskan rasa letih setelah menerima rudal-rudal pelajaran yang dilontarkan oleh para tenaga pendidik.
Melontarkan rudal, ya. Mungkin istilah tersebut tepat aku gunakan untuk mengutarakan maksudku kali ini. Kenapa? Karena menurutku kebanyakan para tenaga pendidik yang kala itu memberikan pelajaran kepadaku dan teman temanku hanyalah melakukan pemberian. Mereka hanya menyekokkan pelajaran kurikulum kepada kami, tidak peduli para peerima mengerti bahkan paham atau tidak dengan materi-materi njelimet itu. Para pendidik hanya memikirkan pulang menuju rumah yang nyaman dan aman serta uang gajian. Parahnya, beberapa dari mereka mengutarakan hal itu kepada kami secara terang terangan, di depan kelas.
Aku tau tidak semua murid ingin paham materi sehingga tidak menghiraukan pembelajaran -termasuk aku- dan itu membuat mereka ingin segera menyudahi kewajiban mengajar, namun sebagai manusia yang disebut pendidik seharusnya mereka tidak hanya memberikan pelajaran namun juga mendidik, sesuai namanya, pendidikan karakter, katanya. Jika hanya memberikan pelajaran, akupun bisa membacakan materi yang sudah jelas tercetak di buku untuk para murid di depan kelas dengan suara lantang tanpa gemetar.
Bagaimanapun aku tak tau benar atau salah karena itu hanya opini dari anak sekolah yang tidak tau bagaimana cara kerja dunia pendidikan yang benar menurut norma yang ada. Aku juga sebenarnya tidak begitu menyukai pembelajaran di sekolah sama seperti kebanyakan murid lain, entah kenapa. Tapi aku hanya tidak menyukai pembelajarannya, bukan keseluruhan sekolahnya. Banyak teman yang bolos, nyelimput, atau kabur untuk menghindari sekolah dengan berbagai cara yang cerdik seperti kancil. Kecerdikan mereka seharusnya bisa berguna dengan baik di tempat lain tidak peduli itu baik maupun buruk menurut aturan yang berlaku jika sakit berlanjut hubungi dokter… eh, apaan sih.
Bagiku selain pembelajaran di kelas, sekolah adalah sebuah tempat eksplorasi yang mungkin tidak bebas namun cukup untuk seukuran remaja yang sedang berkembang. Eksplorasi yang kumaksud ini adalah sebuah perluasan pola pikir sebagai manusia, memberikan kesenangan dengan memaparkan pikiran dengan teman sebaya, dan berbagai mcam semiripnya. Maka dari itulah aku lebih suka berkeliaran di area sekolah seperti di gazebo sekrang daripada nyelimput ke warung meskipun tidak jarang juga aku keluar sekolah karena teman sepemikiranku lebih dulu bolos keluar.
Terkadang alasanku tetap di sekolah juga untuk memandangi para siswi yang menyegarkan mata, meski hanya bisa mengkhayal untuk memilikinya. Siswi disini beda dengan sekolahku yang dulu, mereka lebih cepat pertumbuhannya dan itu menyenangkan, haha. Ya meski tidak seperti kebanyakan gadis sekolah jaman sekarang yang warna kulitnya semua hampir sama, putih kinclong yang tampak buatan bahan Cina dengan efek mengkilap yang terlalu terang bagi kulit kumus-kumusku. Entahlah, aku lebih bersyukur karena jamanku para gadis masih lebih memilik cantik natural dengan hanya sedikit dempulan dan lebih mempertahankan warna kulit langsat bukannya pucat.
“Heh rek, masak yo, kemarin loh kan aku pas ganti baju pas mau jam olahraga. Kan aku barengan seh ke toilet sama Deya, terus aku melihat sesuatu seng mengejutkan. Kon eroh?! Ternyata Deya loh nuympel cikk!” Sontak Ani, seorang gadis bertubuh sintal yang tingginya sebahuku dengan raut manis yang terkadang berbicara sinis. “Nyumpel? Apaan?” tanyaku penasaran. “Anu lohh,” “Hah?! Seng jelas aaa,” “Iki loo,” Sambil mendongakkan dadanya yang menurutku benar-benar ahyaksksksk dan menyentuh bahu kanan kirinya dengan kedua telapak tangannya. Aku dan ketiga orang lainya langsung paham apa yang dimaksudkan ileh Ani, sontak kami tertawa lebar. Deya, terkenal di sekolah kami karena gayanya yang molek dengan rok span yang ketat berpadu dengan atasan menukik serta cara berjalan yang meniru Dita Von Teese. Benar-benar pencari perhatian yang jatuhnya dianggap per*k oleh teman sekelasku. Ya mungkin para murid lain menganggapnya bagai primadona, tapi tubuh cantiknya terjungkal dengan sikapnya di mata kami yang sedang menghabiskan waktu sepulang sekolah ini.
“Halah gedean punyamu kok Ni,” Sahutku. “Matamu!” “Loh tanyao masdim tah!” “Iyo loh, cobak cara jalanmu niru Deya, besaran kamu loh, terus ya lebih menggugah deh, Cuma kalah tinggi sama dempulan aja,” Selat Masdim, temanku yang memang ahlinya dalam bermain kata untuk memikat lawan jenis yang terkadang memang menjorok ke hal yang c*bul namun sayangnya ia tidak begitu mau terpublikasi. Dengan tubuhnya yang kurus agak kering, dadanya agak tegap, dan keseluruhan posturnya yang nampak siap bertarung karena latihan silatnya yang telah bertahun-tahun dari kecil, Masdim dengan lantang hal itu sambil menunjuk dada Ani. Sontak Ani refleks menutupi dadanya dengan salah satu tangannya yang mana sebenarnya tidak berguna, toh dia kan memakai seragam lengkap beserta kerudungnya. Melihat ada handphone disana, dengan sigap Ani meraih lalu mengambilnya dan melemparkannya kearah Masdim karena kesal, malu, atau apapun yang dirasakannya meskipun yang dikatakan Masdim adalah fakta sepertinya. Kan aku ataupun Masdim tak pernah mengukurnya sendiri jadi entah itu fakta atau tidak, tapi menurut penilaian kualitatifku kemungkinan 86% benar bahwa milik Ani lebih besar daripada Deya.
Karena memiliki latar belakang sebagai pesilat, Masdim pun secara refleks menangkis handphone yang melayang kearah kepalanya dengan tangan kanannya yang cepat. Saat handphone itu mendarat di batu dan mengeluarkan suara seperti palu hakim yang mengetok vonis penjara nenek pencari kayu bakar, saat itu juga menyadari bahwa benda yang dilemparkan Ani adalah handphone milikku. Memang sialan, Masdim bukannya menghindar atau menangkapnya malah menangkisnya. Tangkisannya bahkan membuat handphoneku melayang lebih cepat daripada saat dilempar Ani. Andai saja Masdim mengelak mungkin handphone merek Oddo yang sudah retak di bagian kiri atas dan layarnya yang ngeblank separuh milikku itu hanya akan mendarat di tas sekolah milik Wiyah, bukannya di batu yang besar itu. Mereka semua bukannya mengasihaniku tapi malah tertawa melihat gawai buluk milikku tersiska seperti itu, memang dasar para sahabat bajingan.
“Jancok raimu mas, mbok ya ditangkap ae iku mau!” Celotehku dengan nada sedikit marah banyak sedihnya. “Gaero cur, refleks eh,” Jawabnya. “Ndayo, mentang-mentang jago silat, sembarang kalir ditempeleng,” Imbuh Wiyah. “Iyo ya, jarene silat seng kon ikuti iku bernuansa agama, bela negara, bela pemuka agama, dan kebaikan. Kok kon gak mencerminkan iku? Kon loh omonganmu c*bul, mendeman, jarang beribadah, nek gak terimo langsung ngajak berantem. Kon iki melok silat iku gak sih? Opo asline kon melok silat liane seng intine mok mentingno kelompoknya sendiri?” Tanya Ninot.
Ninot dari dulu saat kami pertama kali kenal dan mengetahui kalau Masdim mengikuti latihan silat memang menjadi orang yang paling antusias dan penasaran sekali dengan budaya silat ini. Dari berbagai hal remeh seperti kenapa dinamai pencak silat sampai hal njelimet seperti kenapa implementasi dari filosofi dasar berbagai perguruan silat tidak bisa dicerna dan diterima dengan baik oleh anggotanya sendiri sehingga banyak yang menjadi anggota ikut-ikutan lalu mengakibatkan kerusuhan yang meresahkan, semuanya ditanyakan kepada Masdim yang dianggap sudah berpengalaman banyak dunia persilatan. Tapi yah, mungkin memang dasarnya Ninot memiliki rasa ingin tahu yang tinggi jadi dia selalu antusias terhadap hal baru yang ia temukan. Namun dalam dua tahun terakhir antusiasme miliknya ditujukan untuk pencak silat, bahkan antusiasmenya untuk belajar menjadi kurang yang mana mengakibatkan nilainya tidak begitu baik dibandingkan kemampuan otaknya yang bagus.
Aku, Ani, dan Wiyah menjadi seperti para penonton ludruk yang memperhatikan setiap perkataan dari para pemerannya entah itu berupa parikan atau banyolan. Dari pertanyaan Ninot perihal kelakuan Masdim yang tidak menggambarkan perguruan silatnya itu, jawaban Masdim yang aku tangkap adalah ya karena motivasinya mengikuti pencak silat itu hanya murni untuk membekali diri dengan suatu sistem pertahanan apabila suatu saat akan dicelakai oleh seseorang. Kenapa tidak beli pistol saja? Sudah tertulis dalam peraturan bahwa warga sipil dilarang membawa senjata api. Kenapa tidak belajar boxing atau muay thai saja yang lebih efektif daripada silat, karena lebih mengutamakan serangan dan tidak memiliki unsur ‘menari’ atau ‘kembangan’ seperti silat? Tentu karena alasan tempat latihan yang jarang dan juga latihan silat tidak perlu membayar uang sepeserpun alias gratis. Sesederhana itulah alasan awalnya mengikuti sebuah pencak silat, bukan alasan seperti ingin menjaga dan melestarikan budaya bangsa atau bela negara atau patriotisme atau untuk memperkuat keagamaan atau sesuatu semacam itu.
Menurut Masdim sesuatu semegah patriotisme atau melestarikan budaya adalah sesuatu yang membutuhkan tekad yang bulat, kuat, konsistensi, dan berbagai macam pengorbanan serta keteguhan. Bagaimana mungkin Masdim yang waktu itu masih berumur dua belas tahun saat pertama kali mengikuti perguruan silat sudah bisa memikirkan dan memikul sesuatu seberat itu, tidak terlintas di pikirannya. Lalu bagaimana ia disahkan sebagai ‘Warga’ di perguruannya yang seharusnya tiap pengesahan seorang calon ‘Warga’ harus bisa memahami dan memikul filosofi dari perguruan tersebut dan mengambil sumpah-sumpah yang sudah ditetapkan? Sedangkan dalam kasus Masdim seharusnya masdim tidak boleh menggunakan kekerasan seenaknya dan tetap konsisten mendalami keilmuannya di dalam perguruan. Masdim berkata kalau ia memang bukan contoh yang baik dalam hal kelakuan namun ia merupakan contoh baik dalam penggunaan teknik silat. Tidak semua ‘Warga’ menjadi guru, tidak semua ‘Warga’ menjadi petarung, dan tidak semua guru bisa mengajari bertarung, namun yang pasti para ‘Warga’ semuanya pernah bertarung.
Cerpen Karangan: Domba Orson Facebook: facebook.com/ahmad.nur17 mas-mas penunggu warung yang doyan makan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com