Guru dalam silat bisa saja menjadi guru yang spesifik seperti guru yang khusus untuk teknik, guru spesialis ketahanan dan kekuatan, guru spesialis motivasi, dan guru khusus yang spesifik lainnya. Tapi mengapa ia tidak ditendang keluar dari perguruannya dulu saat ia tidak serius dalam berlatih? Masdim dibiarkan karena dulu perguruan silat yang diikutinya masih belum memiliki banyak murid sehingga masih terfokusan untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah atau kuantitas. Itu dulu, sekarang jika di perguruan silatnya memiliki murid yang hanya ikut untuk mencoba maka akan dimotivasi lagi dengan cara menaikkan intensitas latihan secara berkala dan beberapa tes untuk kepahaman filosofi serta pola pikir yang dimiliki perguruan. Hal ini dilakukan untuk menjaring murid yang berpotensi melakukan tindakan tidak terpuji dengan memakai embel-embel nama perguruan silat, karena saat ini pihak perguruan lebih fokus kepada kualitas darpada kuantitas. Dengan cara tersebut murid yang hanya ingin memiliki embel-embel nama perguruan silat dan menggunakannya untuk hal yang tidak baik akan secara otmatis mengundurkan diri dari perguruan.
“loh berarti kon durung warga dong? Kan filosofi perguruanmu berbanding terbalik sama kelakuanmu?” sahut Ninot yang telah merekam semua penjelasan Masdim di otaknya. “Sek sek, ngene tak jelasno,” “Gimana gimana?” “Sek tak mimik, seret ngomong terus huft,” Masdim pun meneguk anggurnya yang bermerek Marisam. “Halah kesuwen!” Bentak Ninot. “Secara fisik dan resmi aku sudah sah menjadi warga. Tapi warga iku bukan berarti kok terus aku wes gak latihan maneh. Latihan tetep, tapi latihanku saiki lebih kearah melatih mental dan ideologi ketimbang latihan fisik, tehnik, dan laine. Nah latihan mental iki berkali-kali lebih abot teko latihan fisik. Lebih gampang nempeleng uwong daripada memahami uwong. Aku iki sek tahap latihan awal, dadi secara fisik aku wes warga tapi secara ideologi, sikap, otak aku masih murid tahap awal loh,” Papar Masdim.
Jancok, aku tidak pernah sekalipun melihat Masdim sekeren ini. Ia membicarakan hal serius dengan jelas, tanpa gemetar, gamblang, semudah membalik tangan, dan sangat menguasai hal itu. Masdim yang tak pernah serius menjadi seorang yang kharismatik dengan sekejap saat ditanyai mengenai hal yang sangat ia kuasai. Apakah semua orang seperti itu? Entahlah, yang pasti saat ini aku iri dengannya karena belum ada satupun hal yang aku dalami sedalam Masdim yang paham betul dan mengerti tentang silat.
“Terus pacarmu marah gak pas ngerti nek kon sering brantem?” Tanyaku pada Masdim. “LOH HEHH!!” Teriak Ninot dan Wiyah. “hah? Lapo seh?” Ungkapku bingung.
Ternyata Masdim telah menyudahi hubungannya dengan pacarnya yang telah dua tahun bersama. Seketika, suasana yang awalnya menyenangkan dan riang menjadi sunyi dan aku melihat beberapa kepala temanku yang menunduk dan seakan ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh Masdim. Namun yang mengait mataku ialah senyum simpul Masdim yang nampak begitu tulus namun juga begitu palsu, bagaimana ya mejelaskannya, pokoknya begitulah. Diatas senyumnya yang ambigu nampak kerut kantung mata dan ekor matanya yang mengisyaratkan kalau ia baik-baik saja. Tapi sorot matanya sang sayu serta aksen matanya yang sedikit berkaca-kaca membuatku menangkap perasaan sedih yang ia alami. Sehebat itukah ia menyembunyikan kesedihan? Atau ia memang tidak sedih? Se emosional itukah Masdim? Entahlah, aku tidak terlalu suka mencampuri urusan asmara orang lain kecuali ia memang ingin aku mencampurinya.
Janis, seorang gadis kelahiran Bumiaji, Batu, Jawa timur yang menetap disini sejak berumur sepuluh tahun. Memiliki hobi yang agak unik untuk anak seumuran kami yakni mengoleksi sketsa pensil yang memiliki guratan khusus yang disukainya. Dengan orangtuanya yang berprofesi sebagai Polisi seharusnya ia dengan mudah memiliki berbagai karya yang diharapkannya namun entah kenapa ia tak mau meminta hal tersebut kepada orangtuanya. Begitupun dengan parasnya, ia cantik, amat cantik, bahkan menurutku ia sepertinya seorang yang pantas jika disebut duta kecantikan Jawa Timur. Dengan tubuhnya yang jenjang dan proporsional serta kulit putih langsat yang kadang menjadi bangsat. Jika aku menjadi dia, aku akan meminta kepada semua orang yang mendekati aku untuk membawakan aku karya sketsa yang aku idamkan. Ya, banyak yang mendekatinya karena parasnya begitu memikat, akupun begitu. Namun aku tidak berharap untuk bisa bersamanya, karena waktu itu aku telah menempatkan perasaan pada gadis lain.
Kami pertama kali bertemu di salah satu konser band favoritku. Ditengah-tengah konser yang riweuh aku merasakan sesuatu yang jatuh menimpa kakiku, barang itu cukup ringan karena aku hanya samar-samar merasakannya. Aku menoleh kebawah dan aku melihat sebuah benda yang melipat dan berwarna coklat berada di sebelah kanan kaki kiriku. Benda itu adalah sebuah dompet yang cukup tebal dengan sebuah ukiran bunga anggrek yang sangat indah. Seuisai konser, aku membawa dompet itu ke pusat informasi di tempat tersebut. Setelah diumumkan, beberapa menit kemudian datanglah seorang gadis ke tempat pusat informasi. Aku tertegun, wajah lega miliknya saat melihat dompetnya yang hilang telah kembali ke tangannya membuatku mengingat nikmat tuhan dari pertama aku lahir sampai sekarang dan aku amat bersyukur atasnya. Kami berkenalan dan berbincang sebentar seraya aku menghisap sebatang rokok milikku yang tersisa dan ia menghisap sedotan yang menancap di kemasan berisi Teh Poci yang ia beli di tenant disebelah pusat informasi.
Aku mendapatkan beberapa informasi yang agak mengejutkanku waktu itu, bahwa ia ternyata bersekolah di sebuah sekolah yang mana hanya berbeda kecamatan dengan tempatku sekolah, ia menyukai seni visual, ia juga memiliki beberapa band favorit yang sama denganku. Jika saja saat itu aku tidak memiliki gadis lain di hatiku aku pasti sudah menembaknya disana, gak pake lama. Kepribadiannya begitu hangat meski kadang mengumpat jika ia tidak menyukai sesuatu. Setelah kejadian itu kami saling bertukar nomor dan beberapa kali bertemu. Namun aku membatasi diriku dengannya, kami terlalu dekat jika disebut sebagai teman. Aku takut hal ini akan mengganggu keteguhanku dengan gadis yang sudah aku pasrahkan hatiku padanya, ya meskipun akhirnya gadis itu meninggalkanku juga, haha tai lah.
Suatu saat aku yang sedang berada di jalan dengan Masdim tiba-tiba ditelepon oleh Janis. Sontak aku mengangkatnya karena khawatir, ia tak pernah telepon secara tiba-tiba, selalu mengabari via teks dulu kalau ingin menelepon. Ternyata ia sedang bercengkrama dengan teman-temannya disebuah cafe dan ingin aku kesana dan bergabung dengan mereka. Aku pun bilang bahwa aku kesana akan membawa seorang teman. Ia menjawab boleh saja, namun ia menjawab dengan nada kecewa yang terdengar jelas di telingaku. Pertama kalinya aku mendengar suaranya selayu itu, rasa sedikit sesak menusuk di dadaku. Setelelah berberapa menit perjalanan aku akhirnya sampai di sebuah cafe dengan suasana sangat nyaman yang akupun kalau disuruh tidur disana pasti akan kulakukan walau tidak dibayar. Janis mengenalkan aku kepada teman-temannya, sedangkan aku mengenalkan Masdim kepada Janis dan teman-temannya. Kami bercengkrama dari jam sembilan hingga jam dua belas malam dengan berbahai bahasan yang menarik karena kami semua dari lingkup yang agak mirip. Setelah itu, kami pun berkeputusan untuk mengakhiri kesenangan ini.
“Mad, kamu pedekate ama Janis gak?” Masdim tiba tiba bertanya saat kami berada di jalan. Karena aku sedang dalam posisi menyetir motor yang kamii tumpani jadi ia berbicara di belakang telingaku. “Hah?!” Aku berteriak karena tidak dengan perkataan Masdim. “Kon seneng Janis a cok?!” “Lah lapo se, kan aku wes ambek seng iku,” Jawabku. “Owala yo wes,” “Jange kon cidek’i tah?” “yoi fren,”
Entah aku harus senang karena Janis tidak akan mengganggu keteguhanku dengan gadisku atau sedih karena aku membiarkan harapannya denganku akan aku biarkan patah. Tapi yang pasti aku harap pilihanku benar dengan membiarkan dan mendukung Masdim untuk mendekatinya. Karena Masdim mulai mendekati Janis, akupun secara bertahap mengurangi berbagi kabar dengan Janis. Aku selalu menghindari saat ia mengajak bertemu, selalu beralasan sibuk saat ia mengajak telepon. Lalu tak lama kemudian, sekitar tiga bulan kami benar-benar tidak saling bertukar kabar lagi. Mungkin jika Masdim dan Janis mengetahui ini, aku akan dibunuh dan dijadikan makanan kua-kura ninja, haha biarlah. Selang beberapa bulan aku mendengar kabar kalau mereka berdua mulai menjalin hubungan yang mulai berani dipublikasi. Yah tidak heran kalau mereka cepat bersama karena kehebatan Masdim dalam berkata sudah tidak perlu diragukan, turut berbahagia untuk kalian berdua.
Betapa kagetnya aku tadi ketika Wiyah bilang jika mereka telah berpisah. Banyak pertanyaan muncul di kepalaku, dan semuanya kebanyakan adalah perkanyaan kenapa? Kok bisa? Ingin aku menanyakannya langsung kepada Masdim. Tapi aku tau dia pasti akan sangat malas untuk menjawab pertanyaan yang jawabannya akan menyakiti hatinya. Yah, untuk menghibur orang yang telah patah hati bukanlah keahlianku. Aku menyerahkan ini kepada para wanita yang spertinya mereka lebih berpengalaman dalah berhubungan asmara. Sedangkan aku? Haha aku hanya pernah mengalaminya sekali saja.
Cerpen Karangan: Domba Orson Facebook: facebook.com/ahmad.nur17 mas-mas penunggu warung yang doyan makan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com