Lena PoV Hari ini langit cukup mendung, matahari telah sedari tadi menyembunyikan diri di balik hitamnya awan tebal. Meskipun begitu, hujan tak kunjung membasahi bumi.
Hari ini tepatnya Kamis, dimana jadwal kegiatannya begitu cukup padat. Walaupun cuaca kurang mendukung tetapi semangatku harus tetap membara.
Hari ini aku bangun kesiangan karena keadaan langit yang gelap membuatku tidak sadar kalau hari sudah siang, tepatnya pukul 06.30 WIB, aku bergegas mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah.
Sesampainya di sekolah, ternyata pintu gerbang hampir ditutup dan kalian bisa menyimpulkan apa artinya? Ya, Aku kena hukuman karena datang terlambat. Aku harus menerima konsekuensi ini, setiap murid yang terlambat di hukum berdiri di lapangan sampai bel istirahat berbunyi, hari ini adalah hari bersejarah bagiku karena pertama kalinya aku terlambat berangkat sekolah semenjak pertama kali masuk TK. Menyebalkan.
Aku berdiri mematung di tengah lapangan, merutuki kebodohanku karena terlambat masuk sekolah, kalau saja tadi ban motorku tidak bocor, aku pasti bisa segera datang tepat waktu. Kurasa aku telah cukup lama berdiri di sini, hari ini entah kenapa hanya aku seorang yang terlambat, padahal biasanya jumlah siswa yang terlambat tidak cukup dihitung 10 jari, benar-benar hari yang menyebalkan.
“Loh, kok tiba-tiba panas, padahal kan tadi mendung,” gerutuku dalam hati ketika melihat ke arah langit mendapati sinar matahari seketika muncul menggeser awan kelabu. Panas sekali, sampai-sampai bajuku basah banjir keringat, saat ini harapanku hanya sekadar mendengar bel istirahat cepat berbunyi.
Author PoV Wajah Lena terlihat sumringah ketika bel istirahat yang telah ditunggunya sedari tadi akhirnya berbunyi, cepat-cepat ia melangkahkan kakinya menuju kantin untuk menghilangkan dahaga.
“Mbok, es teh dua gelas ga pake lama ya,” pinta Lena kepada Mbok Jumi. “Loh, tumbenan masih bawa tas, Neng?” tanya Mbok Jumi. “Oiya, Lena lupa ke kelas dulu mbok buat naruh tas abisnya gerah nih, Mbok, abis dihukum, hehe.” “Oalah ya sudah mbok bikinin sebentar, ya,” kata Mbok Jumi sambil berlalu menyiapkan pesanan Lena. Tak perlu menunggu waktu lama, Mbok Jumi datang dengan dua gelas es teh di nampannya, disodorkannya pesanan itu kepada Lena. “Ini es tehnya ya, Neng Lena.” “Makasih, Mbok.” Lena meminum kedua gelas es tehnya sekaligus dengan rakus sampai tak bersisa, membuat Mbok Jumi yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. “Ini uangnya, Mbok, Lena pamit dulu, ya.” Lena memberikan selembar uang 5000 an lalu berlalu meninggalkan kantin menuju kelasnya ketika bel tanda masuk telah berbunyi. Lena bergegas mempercepat langkahnya menuju kelas agar tidak terlambat untuk yang kedua kalinya. “Syukur deh gurunya belum masuk” ucap Lena lega. “Cie yang habis berjemur, gak takut gelap tuh kulitnya?” ledek salah satu teman Lena, siapa lagi kalau bukan Nafiza, teman sebangku Lena. “Ngomong apa lu? Sini maju! Gue abis dihukum woi!” jawab Lena tak santai. “Sssttt, diem woi ada Pak Amir,” kata Nafiza ketika melihat Pak Amir kini sudah duduk di depan. “Selamat siang, anak-anak, minggu lalu saya kasih tugas kepada kalian, ‘kan? Sekarang silahkan dikumpulkan di meja paling depan!” kata Pak Amir tanpa basa-basi.
Lena dengan santai membuka resleting tasnya. Namun, sedetik kemudian raut wajahnya berubah gelisah dan kedua tangannya nampak mengacak-acak bagian dalam tasnya. “Lu kenapa sih, Na?” tanya Nafiza. “Duh… buku gue ilang!” kata Lena yang nampak panik. “Ilang dimana?” “Bukan, bukan, kayaknya ketinggalan deh,” ucap Lena dengan wajah yang memucat. Bagaimana tidak, Pak Amir adalah guru Bahasa Indonesia yang terkenal killer di sekolahnya. “Wah, ati-ati, Ri. Pak Amir galak.” Perkataan Nafiza membuat nyali Lena semakin menciut. “Ini mah cari mati namanya,” gerutu Lena dalam hati.
Tak lama kemudian satu per satu siswa mengumpulkan bukunya ke depan untuk dikoreksi, Lena sangat gelisah karena pasti Pak Amir akan memberikannya hukuman. Hingga tiba saatnya giliran Lena tetapi dia hanya diam di kursinya dan tak kunjung maju ke depan.
“Lena!” panggil Pak Amir. “I.. i.. iya, Pak,” jawab Lena dengan tergagap. “Mana tugas kamu? Ayo kumpulkan!” perintah pak Amir “Maaf pak, tugas saya ketinggalan,” kata Lena yang membuat suasana kelas menjadi hening. “Apa? Ketinggalan? Kalian semua tahu kan kalau sampai ada tugas dari saya yang tidak dikumpulkan dengan apapun itu alasannya, maka saya akan tetap memberikan hukuman. Lena, bapak beri hukuman buat kamu sekarang! Bersihkan lab kimia dan jangan kembali sebelum bapak selesai mengajar!” “Baik pak” ucap Lena yang kemudian bergegas keluar menuju lab kimia.
Mata pelajaran bahasa Indonesia yang diajar oleh pak Amir adalah 2 jam pelajaran, itu artinya Lena tidak akan mengikuti jam pelajaran sepenuhnya karena tidak boleh masuk kelas sebelum ganti mata pelajaran, nasib buruk apalagi yang ditimpa Lena hari ini? Di sepanjang jalan menuju laboratorium kimia, Lena tak henti-hentinya menggerutu dan memaki dirinya sendiri. “Sial, benar-benar hari yang menyebalkan!” umpatnya.
Matanya melebar sempurna ketika melihat kondisi lab yang begitu berantakan. “Ck, lab macam apa ini,” cibirnya. Ia mulai mengerjakan satu persatu dengan setengah hati. Hingga akhirnya ia merasakan sesuatu di balik punggungnya. “Aw…” lirih Lena, ia membalikkan badan dan seketika satu sosok lelaki dengan wajah superrr datar sudah berada di hadapannya. “Woi, jalan pake mata dong!!” bentak Lena. “Ck, jalan pake kaki kali,” sindir lelaki tadi. “Wah bukannya minta maaf kok lu malah nyolot!” kesalnya. “Lagian lu ngapain pake jalan mundur?” tanya lelaki tadi dengan santai. “Lu gak liat gue lagi ngepel, hah?! Ya kali gue ngepelnya maju!” “Bar-bar banget sih jadi cewek,” ucap lirih lelaki tadi. “NGOMONG APA, LU?!” kata Lena tak terima. Tanpa mengucap sepatah katapun lagi, lelaki yang memiliki name tag Alvin itu melenggangkan kakinya dengan santai keluar dari lab, membuat emosi Lena semakin menjadi. “Woi kurang ajar malah pergi!” umpatnya.
Setelah selesai mengepel, Lena melihat banyak benda yang berantakan di atas meja, ia pun bergegas mengambil dan merapikannya, benda tersebut terdiri dari kaca arloji, gelas kimia 100 ml, gelas ukur 50 ml, spatula, logam Na, dan aquades, karena pada jam sebelumnya ada praktikum pada mapel mengenai reaktivas logam terhadap air dan udara. Sepertinya masih ada alat dan bahan yang digunakan, namun yang tersisa di meja hanyalah itu.
Lena tak mengerti bagaimana cara membersihkannya apakah dicuci dulu atau langsung ditaruh ke tempatnya masing-masing. Namun, Lena memilih yang ditaruh pada tempatnya hanya aquades saja. Kemudian, Lena berjalan menuju wastafel, sari mulai mencuci gelas dan mengeringkannya pakai tisu, kemudian dia melihat logam yang terbungkus plastik, dia tak tahu itu logam apa, yang tak lain adalah logam Na, karena warnanya agak kegelapan Lena pun tanpa memikirkannya langsung mencuci benda tersebut. Namun apa yang terjadi? Lena dikagetkan dengan ledakan yang dihasilkan. Namun ternyata tak hanya Lena saja yang dibuat kaget, penghuni beberapa kelas yang berdekatan dengan lab tersebut juga dibuat penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Seorang guru berkumis tebal nampak tergesa-gesa menuju lab itu dan menemukan Lena yang masih berada di sana.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan raut wajah panik. Lena gelagapan, ia tak mengerti harus memberikan alasan apa yang tepat. “Anu… anu, Pak.” “Anu anu apa kamu ini?!” tanya guru tadi agak jengkel. “Tadi…”
Ucapan Lena terpotong ketika Pak Amir tiba-tiba sudah berada di tempat ini. “Apa yang kamu lakukan, Lena?” tanya Pak Amir. “Maaf, maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu kalau logam yang saya cuci tadi bisa meledak,” jawabnya lirih. “Logam?” Pak Hasan, guru berkumis tebal itu mengerutkan kening lantas matanya beralih pada sebuah logam Na yang tergeletak di wastafel. Ia menatap Lena dengan raut wajah jengkel, namun tetap berusaha untuk menetralkan amarahnya. “Maaf, Pak, sekali lagi saya minta maaf, saya tidak tahu,” kata Lena sembari menunduk. “Kamu ini gak habis-habisnya bikin masalah, hukuman kamu saya tambah!” ketus Pak Amir. “Tapi, Pak,” ucap Lena tak percaya. “Silahkan sekarang pergi ke koperasi, disana tidak ada yang jaga” tutup Pak Amir
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Lena langsung pergi ke koperasi, di sana keadaannya cukup sepi karena pada saat itu jam pelajaran masih berlangsung, sesampainya di koperasi, Lena hanya mematungkan diri, tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya hari ini. Hingga tak terasa bel istirahat ke dua berbunyi.
Tettt.. tett.. tettt… Seketika keadaan menjadi bergemuruh yang membuat Lena tersadar dari lamunannya. Lalu, datang sesosok perempuan yang menghampiri Lena, siapa lagi kalo bukan teman sebangkunya “Oh sekarang udah ganti kerjaan lagi lu,” kata Nafiza yang berniat meledek Lena. “Hah? Maksud Lo?” tanya Lena. “Tadi abis jadi laboran kan?” sahut Nafiza. “Gue tadi dihukum suruh bersihin lab, malah bledak.” Lena menarik napasnya panjang lalu mengembuskannya dengan kasar, ia benar-benar kesal hari ini. “Haha, sok-sok’an mau praktikum kimia sih,” ledek Nafiza. “Udahlah terserah lu, males debat gue hari ini.” Lena menjawab sambil memalingkan wajahnya “Terus sekarang ngapain disini?” Tanya Nafiza lagi. “Tidur, udah tau disuruh jaga pake nanya!” “Yeee gitu aja marah,” balas Nafiza. “Udah mendingan lu bantuin gue deh jaga di sini,” pinta Lena. “Wih mon maap ni, kali ini gue gak bisa bantuin lu, ada urusan mendadak sama my lope lope Dani,” jawab Nafiza sembari tersenyum simpul. “Tega bener lu sama sahabat sendiri, awas aja kalo nanti putus meweknya ke gue.” “Dih pake nyumpahin lagi, udah ah gue mau pergi, bye.” Nafiza berlalu meninggalkan Lena yang kini tengah sibuk melayani para siswa yang berdesakan di koperasi, ia nampak begitu kewalahan. “Nih uangnya.” Seorang siswa menyodorkan selembar uang seratus ribuan kepada Lena. “Loh, lu cowok songong yang tadi di lab, kan?!” tanya Lena ketus. “Gue mau bayar, bukan mau debat,” balasnya dingin. “Lu gila ya? Bayar pake uang seratus ribuan tapi lu cuma beli seribu doang, lu mau ngerjain gue?!” bentak Lena. “Kok lu sewot, kerjain aja, terima tugas kali,” kata cowok berpostur tinggi itu.
Amarah Lena semakin tak terbendung lagi, rasanya ia ingin menelan cowok itu sekarang juga. Tapi… “Woi itu yang di depan malah ngobrol, kita juga mau bayar kali!” Suara beberapa orang siswa yang sudah mengantre di belakang terdengar lantang. “Eh iya iya, maaf,” lirih Lena.
Dengan raut wajah tak berdosa, Alvin berlalu begitu saja meninggalkan Lena yang sudah berada di puncak amarahnya. “Ganteng sih, tapi cueknya minta ampun udah kaya prasasti hidup, eh.” Alvin mendengar perkataan Lena, namun dia tetap berjalan pergi meninggalkan koperasi.
Cerpen Karangan: Fahmi Nurdian Syah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com