Kring… Suara alarm yang terdengar memekikkan telinga berhasil membuat gadis bermanik cokelat itu terbangun dari tidurnya. Lena membuka selimut yang semalaman telah membalut tubuhnya, ia mengedarkan pandangannya ke arah kalender yang terletak di nakas, lantas wajahnya bersemu untuk beberapa detik. Entah mengapa di hari Sabtu ini Lena terlihat tidak seperti biasanya, ia bersemangat sekali, uhm… bahkan sepertinya terlalu bersemangat tetapi juga sedikit deg-degan.
“Tumben anak mamah udah bangun, kalau sekolah libur biasanya kan kamu bangun siang, itu pun juga harus dibangunin,” ucap Mama Lena yang tersenyum sembari melihat putrinya. “Ah iya, mama bisa aja. Hari ini Lena pengen bantuin mama masak.” “Eh, mama kok ngerasa hari ini kamu kelihatan sedikit aneh, ya? Ada apa hayo?” tanya Mama Lena penuh selidik. “Perasaan mama aja kali, Lena tetap sama kok kaya biasanya, hehe. Yaudah, Lena bantu iris bawangnya ya, Ma?” kata Lena sembari mengalihkan perhatian mamanya.
Akhirnya setelah beberapa jam, mereka pun selesai memasak. Kemudian, Lena meminta izin kepada mamanya untuk masuk kamar. “Ma, udah selesai nih. Lena ke kamar dulu, ya?” “Loh, ngga makan dulu?” “Hm, nanti Lena nyusul aja deh,” jawab Lena sembari tersenyum simpul yang kemudian dibalas dengan anggukan oleh mamanya. Mama Lena tahu betul tingkah anaknya hari ini sedikit berbeda, ia kelihatan lebih ceria daripada biasanya. Meski tak tahu pasti apa penyebabnya, melihat Lena tersenyum saja sudah membuatnya bahagia. “Duh, gue pake baju apa nih buat nanti malem?” Lena nampak sibuk mengacak-acak lemari pakaiannya, mencari baju yang menurutnya cocok untuk ia pakai nanti malam. “Baju gue kok dikit banget sih, mana gak ada yang cocok lagi,” gerutu Lena. Nyatanya, perkataan Lena tadi tak sebanding dengan yang sebenarnya. Bahkan, satu lemari besar pun tak cukup untuk menampung baju-bajunya tetapi ia masih bilang bajunya sedikit? Huh, dasar cewek. Kini kamarnya sudah mirip seperti kapal pecah, tumpukan baju berserakan di segala tempat. Saat Lena tengah sibuk dengan kegiatannya itu, Mama Lena datang dengan raut wajah bingung. “Haduh, kamar kamu kok berantakan banget, lagi ngapain sih kamu?” tanya Mama Lena sembari melihat keadaan kamar anaknya yang membuatnya geleng-geleng kepala. “Eh, ada mama, hehe.” “Ditanyain kok malah senyum-senyum gitu.” “Lena lagi pilih baju buat keluar nanti malem. Mama izinin, kan?” “Sama Nafiza?” “Ehm, bukan,” jawab Lena yang mulai gelisah. “Terus sama siapa? Biasanya kan kamu kalo keluar pasti sama dia,” tambah mama Lena. “Sama temenku yang lain, Ma.” “Cewek?” “Cowok… Ma,” jawab Lena dengan hati-hati. “Oh, pantesan pake pilih-pilih baju segala, mau nge-date ternyata anak mama,” sindir mama Lena yang mencoba menggoda anaknya. “Enggak kok ma, dia cuma teman Lena.” Lena menyanggah dengan cepat, tak setuju dengan pernyataan mamanya tadi. “Ya sudah, mama izinin tapi… jangan kemaleman ya pulangnya!” “Siap, Ma!” jawab Lena semangat sambil mengacungkan jempolnya. “Eh, baju itu kayaknya cocok deh buat kamu.” Mama Lena menunjuk dengan dagunya yang dibalas anggukan cepat oleh Lena.
—
Alvin melangkahkan kakinya keluar rumah, hari ini ia berniat pergi ke sebuah mall untuk membeli sesuatu. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tak lama kemudian ia telah berada di tempat parkir mall yang ia tuju. Alvin turun dari mobilnya dan segera mempercepat langkahnya memasuki area dalam mall. “Beli apaan ya gue?” tanya Alvin bermonolog. Dari kejauhan, nampak sebuah boneka beruang berwarna pink mencolok yang berhasil menarik perhatiannya. “Ah, terlalu biasa,” gumam Alvin. Ia kembali menyusuri area dalam mall itu, hingga akhirnya menemukan sesuatu yang akan ia beli. “Ketemu!’ pekiknya dalam hati.
—
Lena berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Kini, ia telah menanti kehadiran seseorang yang akan mengajaknya pergi. Alvin tidak mungkin tersesat, ‘kan? Ya, Lena sudah memberikan alamat rumahnya dengan lengkap. Lagipula, kawasan tempat tinggalnya bisa dibilang cukup familiar, pasti Alvin dapat dengan mudah menemukannya. Tak lama kemudian, suara sepeda motor terdengar dari kejauhan yang Lena yakini itu adalah Alvin. Benar saja, seseorang yang tak asing lagi baginya kini sudah muncul di hadapan Lena.
“Kemana aja sih? Lama banget.” Lena nampak sedikit kesal karena telah lama menunggu. Namun, Alvin tidak menjawabnya, ia hanya menyodorkan sebuah helm kepada Lena yang berhasil membuat Lena semakin kesal. Mama Lena datang dari dalam rumah menghampiri Lena dan Alvin, mereka segera berpamitan untuk pergi.
Alvin melajukan motornya menuju taman di pusat kota. Hari itu jalanan tampak ramai karena memang mereka pergi keluar tepat di malam Minggu, malam dimana sebagian orang menghabiskan waktunya di luar rumah. Tak lama kemudian, mereka berdua telah sampai di taman.
“Wah, keren banget pemandangannya kalo malem, gue udah lama gak kesini,” kata Lena. “Bukannya emang lu belum pernah kesini?” tanya Alvin. Namun, perkataan Alvin tadi lebih tepat dikatakan sebagai sindiran dibandingkan dengan pertanyaan. Lena hanya membalas Alvin dengan tatapan tajam yang membuat Alvin mengendikkan bahu. “Mau duduk di mana, Tuan Putri?” Lena yang merasa janggal dipanggil seperti itu hanya terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya Alvin menepuk bahunya. “Apaan sih gak usah pegang-pegang!” bentak Lena yang mulai jengah berada pada situasi seperti sekarang ini. “Pertanyaan gue tadi gak dijawab?” Alvin menatap Lena dalam. “Terserah, tapi biasa aja dong liatnya!” Alvin lantas tertawa melihat reaksi Lena, wajah blushing yang sangat menggemaskan. Ia menggenggam tangan Lena dan membawanya ke tengah taman lalu memilih tempat duduk di sana. Lena hanya bisa pasrah sekarang mengikuti Alvin, entah mengapa ia dapat merasakan genggaman tangan Alvin begitu hangat dan sangat… menenangkan. “Le…” Alvin membuka suara sesaat setelah ia dan Lena mengambil tempat duduk di tengah taman. “Hm?” balas Lena. “Le…” “Hm?” “Le…” Lena memutar malas kedua bola matanya, lantas menyorot tajam ke arah Alvin, “Lu kenapa sih, Vin? Kalo gak niat manggil ya gak usah manggil! Dan inget ya nama gue bukan LELE!” “Sorry, gue gugup,” kata Alvin dengan jujur yang sontak membuat Lena tertawa lepas. “Gugup? Gue gak salah denger?” tanya Lena yang masih setengah tertawa. “Gue serius, Auglena Aurita.” Astaga, jika Alvin sudah memanggilnya dengan nama lengkap pasti ia memang sedang tak bercanda. Lena kini terdiam. Nada bicara Alvin memang tak seperti biasanya, kali ini terdengar sangat serius dan dalam. “Oke.” Lena hanya bisa mengangguk.
Detik berikutnya, sebuah kotak hitam dengan pita biru muda telah berada di hadapan Lena. Lena menatap Alvin bingung tetapi Alvin segera memberi kode seolah mengatakan bahwa Lena harus menerima kotak itu. “Buat gue?” tanya Lena hati-hati. “Iya, buka aja kotaknya!” perintah Alvin
Lena membuka kotak itu, ingin tahu ekspresinya sesaat setelah kotak itu terbuka? Ya, ia terbelalak tak percaya. Bagaimana tidak? Alvin memberinya banyak sekali novel yang sudah lama ia inginkan. Tapi, bagaimana Alvin bisa tahu apa genre novel kesukaannya? Ah, ia lupa bahwa sekarang Alvin hobi stalking, pasti Alvin mencari tahu lewat media sosial Lena yang sering memposting kata-kata galau. Menyebalkan. Apapun itu, yang jelas Lena bahagia sekali bisa memeluk semua novel itu, lantas ia menatap Alvin yang balas menatapnya sambil tersenyum.
“Gimana? Suka?” tanya Alvin. “Suka bangettt,” jawab Lena antusias. “Serius?” “Iya, Vin. Gue suka banget. Makasih ya,” katanya sambil memeluk novel-novel itu. “Serius lu suka gue?” tanya Alvin sok polos. “Hah? Apaan!” sanggah Lena dengan cepat. “Tadi katanya suka,” jawab Alvin dengan entengnya. “Suka sama hadiahnya ya ampun, bukan sama lu!” “Oh, jadi lu gak suka sama gue?” tanya Alvin yang berhasil membuat Lena mendelik. “Eh… anu” Entah mengapa Lena tak mampu menjawab pertanyaan Alvin tadi, ia bingung harus bagaimana sekarang. “Tuh kan lu gak bisa jawab, jadi gue anggep lu suka sama gue.” Perkataan Alvin tadi benar-benar menguji kesabaran Lena. Bukan, lebih tepatnya Alvin benar-benar menguji hatinya. Lena bahkan bisa merasakan kedua pipinya yang kian memanas. Kini, keduanya hanya saling terdiam, keheningan tercipta untuk beberapa saat.
“Le, kamu mau tahu kenapa aku kasih novel-novel itu? Ya, karena aku mau kamu sadar kalo semua kisah cinta yang kamu baca itu cuma fiksi. Tapi, kalau kamu mau aku bakal wujudin seperti apa kisah mereka di dunia nyata. Jadi, kamu bisa merasakannya langsung.” Baru kali ini Lena mendengar Alvin berbicara panjang lebar. Dan, apa ia tak salah dengar tadi? Aku? Kamu? Astaga, aneh sekali Alvin malam ini. Lena masih terdiam, sebenarnya ia paham betul apa maksud dari perkataan Alvin tadi, tetapi ia hanya tak ingin terlalu berharap, mungkin saja ia salah tangkap maksud dari perkataannya.
“Lena, kalau kamu gak keberatan, izinin aku buat menjadikanmu sebagai alasan bahagiaku. Mungkin terlalu cepat, tapi aku harus mengungkapkan ini,” kata Alvin sambil menunduk. Demi soto ayam Mbok Jumi, jantung Lena seakan melorot ke perut. Perasaannya campur aduk sekali, antara bingung, tak percaya, dan senang. Eh, tunggu. Senang? “Ya, Alvin,” jawab Lena dengan rasa gugup tak karuan. Mendengar jawaban dari Lena, Alvin yang sedari tadi masih tertunduk kini mengangkat pandangannya. Kedua bola mata mereka saling bertemu, menyiratkan kebahagiaan di antara keduanya.
“Le, mau dinyanyiin pake gitar gak?” Setelah beberapa saat dihadapkan dengan rasa canggung, Alvin akhirnya membuka suara. “Hm, mau,” jawab Lena tanpa pikir panjang. “Oh, yaudah. Gue juga mau.” Sebenarnya Lena sedikit bingung dengan jawaban Alvin tadi, apa maksudnya?
“Mana?” tanya Lena. “Apanya?” Alvin justru bertanya balik pada Lena. “Katanya mau nyanyiin pake gitar?” tanya Lena, lagi. “Loh, emang gue bilang mau nyanyiin lu? Kan gue cuma nanya tadi.” Jawaban Alvin berhasil membuat Lena naik pitam. APA? Alvin benar-benar merusak momen romantis mereka malam ini. “Dia serius gak sih sama gue? Tadi bilang pake aku-kamu tapi sekarang malah lu-gue lagi,” batin Lena. “Kamu gak perlu ragu, Lena. Aku serius kok sama perasaanku tadi.” Kali ini Alvin menjawab seakan ia bisa membaca pikiran Lena. Tak masalah, yang penting Lena tak meragukannya lagi.
Malam ini adalah malam yang spesial bagi mereka berdua. Semesta pun bahkan telah menjadi saksi bagaimana Auglena Aurita berhasil meluluhkan hati seorang Alvin – si prasasti hidup yang dikenal sulit untuk ditaklukkan.
Cerpen Karangan: Fahmi Nurdian Syah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com