Bel masuk pun berbunyi, para murid masuk ke dalam kelas. Cuaca hari ini tidak terlalu baik, sejak pagi mendung, sudah dipastikan pagi ini akan hujan.
“Jadi hari kita akan be–” Pak Setya berhenti menjelaskan, saat hujan langsung mengguyur dengan deras. Seorang murid perempuan mengangkat tangan, “Pak meja saya basah, atapnya bocor.” Riska, gadis yang terkenal pendiam di kelas dan jarang memiliki teman. Penampilannya sama sekali tak mendukung dan berasal dari keluarga yang biasa-biasa. Banyak yang kurang menyukainya, karena penampilan dan sifat Riska yang pendiam itu. “Oh kalau begitu, duduknya kita ubah saja ya.” Pak Setya megatur ulang tempat duduk muridnya. Riska tak menyangka teman sebangkunya kini adalah Gavin. Ya, lelaki yang selalu terlihat sangat dingin dan tak pernah sekalipun melihat ke arah Riska. Kenapa juga Riska harus duduk bersama dia sekarang?
Jam istirahat tiba, Riska hendak beranjak ke kantin. “Kamu Riska kan? Salam kenal Gavin!” Gavin memanggil sambil menjabat tangannya. Riska tersipu sebentar, “Iya, salam kenal.” “Kamu sering diam di kelas, jadi aku agak sungkan mau menyapa. Hehehe,” kata Gavin. “Mau ke kantin?” “Iya ini mau berangkat,” balas Riska. Gavin mengangguk, “Ya udah, kita sambung lagi nanti ngobrolnya.” Sungguh tak bisa dipercaya, lelaki angkuh dan dingin itu mau menyapa Riska seperti tadi. Apakah ini kebetulan? Atau hanya formalitas sebagai teman sebangku sementara?
Hari ini Riska dan Gavin membicarakan banyak hal, apapun itu dan anehnya mereka berdua sama-sama menikmati. Kelihatannya dia emang sombong sih, tapi enak juga diajak ngobrol, akhirnya di kelas ini ada yang mau ngajak ngobrol aku, udah orangnya ganteng baik lagi, ucap Riska dalam hati.
Setiap hari mereka berdua makin dekat, sudah tak ada dinding penghalang seperti dulu lagi. Bahkan mereka berdua juga sering mengerjakan tugas bersama, tapi setelah genap dua minggu mereka menjadi kawan sebangku, Pak Setya mengatakan bahwa sekarang posisi duduknya kembali seperti semula. Sebenarnya Riska agak kecewa akan hal itu, baru saja dapat teman yang sejalan dengannya, eh malah disuruh untuk duduk seperti sediakala.
Benar saja, seperti dugaan Riska, sekarang ini Gavin sedang asyik mengobrol dengan teman sebangkunya yang lama. Lelaki itu tak berbicara sedikitpun pada Riska. Tiba-tiba, Gavin berdiri dan menghampiri Riska, ia menarik sebuah kursi kosong mendekat kepada Riska. “Kok diam aja sih? Ngobrol kayak biasanya gitu,” kata Gavin sambil melihat Riska dengan riang. Riska tersenyum, “Nggak apa kok, tadi lagi buka HP sebentar.”
Tak lama kemudian HP Gavin bergetar. Riska tak sengaja mengintip sebuah notifikasi di lock screen Gavin, sebuah pesan masuk dari Cassandra. Siapa Cassandra? Riska sangat ingin tahu, siapa sebenarnya Si Cassandra ini. Bukan pertama kalinya ia mengetahui ada pesan masuk bertuliskan nama Cassandra di HP Gavin. “Siapa Vin?” tanya Riska. Gavin menjawab, “Ini Cassandra, pacarku. Dia anak kelas IPS.” Gavin menunjukkan foto Cassandra pada Riska. Beda jauh, Cassandra yang cantik jelita, sementara ya wajah Riska biasa-biasa saja.
KRATAKKKK! Hati Riska serasa retak, entah kenapa ia merasa begitu. Nafasnya jadi tidak teratur. Seorang seperti Gavin yang tampan dan populer pasti sudah memiliki pacar, tapi kenapa Riska nggak bisa menerima itu? Lalu selama ini dia apa? Hanya sarana buat penghilang kebosanan? Ataukah dia hanya pengganggu hubungan diantara mereka berdua? Yang jelas, Gavin pernah menolak penggilan telepon dari Cassandra, saat Riska dan Gavin sedang asyik berbincang.
Kian hari Riska mulai mengurangi waktu dengan Gavin, ia kembali menjadi pribadi yang kaku dan pendiam. Menyadari ada yang berubah pada Riska, Gavin akhirnya penasaran, kenapa Riska yang ramah dan ceria berubah kembali ke sosok yang pendiam?
Bel pulang berbunyi, Riska membawa tas punggungnya dan berjalan malas menuju tempat parkir, tapi langkahnya terhenti saat Gavin menghadang dirinya. “Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku lagi? Apa salahku? Kemarin-kemarin aku menyapamu tapi kamu diam saja, kenapa Ris? Kamu marah sama aku? Tapi soal apa? Jangan diam gitu, jawab aku.” Riska menghela nafas, “Nggak kok Vin. Kamu nggak salah. Aku yang sadar diri. Aku menjauh dari kamu, karena takut mengganggu hubungan kamu sama Cassandra. Aku takut aku dicap sebagi perusak hubungan orang lain.” Gavin memutar bola mata kesal, “Riska, nggaklah, ada-ada aja kamu. Aku nggak pernah merasa kamu merusak hubunganku sama Cassandra. Buat aku, kamu adalah sahabat aku, kalau pacar ya masalah lain. Jelas Ris?” Riska memanyunkan bibir, “Benarkah Vin? Kamu menganggapku sebagai sahabat? Atau hanya ingin membuatku merasa lebih baik?” “Kamu sahabat aku, Ris! Nggak pernah ada orang yang aku kenal seperti kamu. Apalagi kamu orangnya nggak crewet, tidak seperti kebanyakan cewek. Terus nggak gampang ngambek,” Gavin tertawa. Memang Riska terlihat cuek dan pendiam, sebenarnya dia adalah gadis yang agak tomboy, itulah mengapa ia mudah bergaul dengan Gavin.
Hari-hari berikutnya, Riska dan Gavin sudah seperti sahabat, saling membantu satu sama lain dan hampir tak pernah nggak akur. Bahkan mereka berdua sering berkerja sama saat ada tugas.
Suatu hari Riska melewati pasar malam, ia mengantri untuk beli gorengan. Sambil menunggu, tatapannya beralih ke arah dua orang yang baru saja turun dari motor. Kayaknya Si Cassandra nih? Akhirnya Riska membututi mereka berdua, benar saja dia adalah Cassandra yang sedang bergandengan erat dan mesra dengan orang lain. Riska langsung memotret mereka berdua. “Aku bisa laporkan ini ke Gavin!” Namun lagi-lagi, Riska jadi ragu. “Tapi kalau aku kirim foto ini ke Gavin, pasti aku nanti dicap sebagai perusak hubungan orang.” Riska mengurungkan niatnya. Ia menatap Cassandra dari kejauhan, “Biarlah Gavin tahu sendiri. Lagipula siapa aku? Aku itu, udah jelek, anak orang nggak mampu, bisa apa aku coba? Masih jauh lebih baik Cassandra.”
Pagi hari tiba, Cassandra sudah datang di kelas. Teman-temannya langsung menghampiri dirinya. “Kemana aja kamu kemarin? Kamu tahu Si Gavin cariin kamu kemarin!” kata Firda. Cassandra senyam-senyum sendiri, “Ya tadi malam aku habis senang-senang di pasar malam, kalian tahu kan? Aku lagi dekat sama siapa sekarang?” Dea menyipitkan mata, “Kamu belajar mendua rupanya? Kamu nggak takut ketahuan Si Gavin?” Cassandra menggeleng, “Enggak tuh.” Firda membalas, “Jangan suka mempermainkan hati cowok loh, suatu saat nanti kamu yang akan dipermainkan oleh cowok, hati-hati loh.” Cassandra menjawab, “Ya … yang penting pintar-pintar membagi waktu.” Dasar Si Cassandra, enggak takut nih anak kena karma, batin Firda.
Satu bulan berlalu… Pagi hari ini, hujan turun dengan deras. Di tengah perjalanan ke sekolah, tiba-tiba motor Gavin mogok. “Ini kenapa juga motornya?” Ia berusaha menghidupkan motornya berkali-kali, tapi tetap saja motornya tidak mau jalan. Gavin pun melihat HP dan menghubungi teman-temannya. “Ada apa, bro?” tanya Surya dari sebrang. “Ini nih, motorku mogok. Jemput aku ya, daerah sekitar bangunan itu,” sahut Gavin.
Di dalam kelas, Surya menatap semua teman-temannya. “Eh, ini Si Gavin minta tolong buat jemput dia, katanya motornya mogok. Gimana guys?” tanya Surya. Aldo menjawab, “Gila apa?! Hujan deras kayak gini disuruh jemput! Bilang aja dah, nggak bisa. Nggak bawa jas hujan. Beres kan?” Surya pun kembali mengangkat telponnya, “Sorry bro, kita nggak bawa jas hujan. Nanti kalau jemput kamu, kita basah kuyup nih.” Gavin tak bergeming sedikitpun, ia langsung mengakhiri teleponnya. Awas aja nanti kalian semua! Pas waktu traktiran dan main ke cafe, semuanya berangkat. Nah sekarang? Waktu aku susah?? Gavin sangat geram dengan sikap teman-temannya.
Baru saja hendak menelepon Cassandra, ada seseorang dari belakang yang meneriakkan namanya. “Gavin!!!” teriak suara dari belakang. Gavin pun menoleh, yang ia lihat hanya seorang pengendara motor tua yang memakai jas hujan hitam. Perasaan tadi ada yang manggil aku, apa aku salah dengar? Gavin kembali mengamati pengendara tersebut. Pengendara itu berhenti dan melepas jas hujannya. “Hai bro? Kenapa motornya nih?” “Ternyata kamu, Ris. Ini loh, motorku mogok. Nggak tahu kenapa, kok nggak mau jalan nih?” Gavin bingung melihat motornya. Riska menunjuk ada sebuah bengkel beberapa meter dari posisi mereka, “Ada bengkel di sana. Titipkan motor kamu ke sana aja, aku kenal baik kok dengan pemilik bengkelnya.” “Terus aku ke sekolah gimana?” tanya Gavin. “Ya, berangkat sama aku. Naik motorku,” jawab Riska. Ha? Nggak salah dengar nih aku? Naik motor Riska? Motor butut tua ini? batin Gavin. “Riska, kuat motormu bawa kita berdua?” tanya Gavin. “Hish … jangan sembarangan, ini motor kuat bawa orang empat, masa nggak kuat bawa aku sama kamu aja? Kamu nggak mau nebeng sama aku nih?” tanya Riska, sepertinya Gavin sedang memikirkan jawaban. “Mau nggak? Kalau nggak mau ya nggak apa-apa, aku nggak memaksa,” ungkap Riska. “Ya udah deh, mau,” Gavin akhirnya terpaksa nebeng.
Saat Gavin mencari kontak motornya ternyata nggak ada, kabelnya keluar semua, terus ini cara menghidupkan motornya gimana? Ia pun hanya diam, karena bingung sendiri. “Bisa nggak menghidupkan motornya nih? Kalau nggak bisa, sini aku ajarin.” Riska berjongkok dan mulai memasang semua kabel, lalu menyalakan motornya berulang kali, kemudian barulah motornya hidup. Suara khas motor tua…. Otok … Otok … Otok … (Suara motor tua Riska)
“Wah suaranya unik betul, Ris?” kata Gavin. Riska memutar bola mata, “Vin? Jadi nebeng nggak nih? Nggak usah kebanyakan ngomel, jadi nggak?” Gavin pun naik motor Riska, ia memakai jas hujannya dengan rapat, sesekali melihat kanan-kiri, ia takut jika ada orang lain melihatnya naik motor ini. Hujan deras masih berlangsung, di sepanjang perjalanan, Gavin merasakan motor Riska berliak-liuk seperti ular. “Ris, ini motornya aman kah?” tanya Gavin. “Jelas! Aman 100 %!” jawab Riska dengan mantap. “Tapi ini kok sepeda motor kamu jalannya berliak-liuk kayak ular? Beneran aman kah?” Gavin malah takut sendiri, naik sepeda motor Riska. “Hehehe … maklum, ini motor waktu jaman bujangan Bapakku. Jadi motor ini nggak boleh dijual.” “Tapi masa nggak ada motor lain di rumahmu, Ris? Yang lebih bagus gitu?” tanya Gavin. “Nggak ada, ini udah yang paling bagus. Lagipula kalau bawa sepeda ini itu aman, nggak akan ada yang ingin ambil,” sahut Riska. “Oh iya ya, benar juga. Jadi aman. Kamu nggak malu bawa motor kayak gini, Ris?” Gavin kembali bertanya.”Nggak tuh, ngapain malu? Ini motor loh punyaku sendiri,” kata Riska.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, keduanya terus bercakap-cakap. Saat sampai di sekolah, Gavin mengamati parkiran. Untung aja hujan, jadi nggak ada yang tau kalau aku nebeng sama Riska. Salut aku sama Riska, zaman sekarang nggak malu naik sepeda butut.
Cerpen Karangan: Naenala Indah Cahyani Menulis menjadi salah satu tempat berceritaku
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com