“Maaf pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin dengan jalan operasi, tetapi mata anak bapak tetap tidak bisa melihat. Anak bapak mengalami kebutaan.” ucap dokter kepada ayahku. Seketika aku tidak bisa berkata-kata lagi, aku hanya menangis tersedu-sedu dipelukan mamahku. Walaupun mataku terbuka, tetapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Hanya kegelapan yang aku lihat. Inilah yang dinamakan buta.
“Bagaimana kalau aku buta selamanya? Aku pasrah kepadamu tuhan” rintihku dalam hati. “Kasihan sekali nasibmu nak… hiks hiks.” Ucap mamahku kepadaku dengan nada rendah. “Maafkan aku mah, yah. Aku sudah berbohong kepada Bi Nuni. Aku bilang kalau aku tadi berangkat ke sekolah. Padahal aku jalan sama temanku Ria karena aku bosen mah, yah sekolah terus. Aku butuh refreshing. Tapi semua malah berakhir seperti ini. Maafkan aku mah, yah.” ucapku minta maaf kepada orangtuaku. “Berarti kamu tadi tidak ke sekolah bell?” tanya ayahku kepadaku dengan nada tinggi. “Tidak yah.” Jawabku agak takut, karena memang ayah orangnya galak. “Kamu itu ya!! Dibiayain sekolah mahal-mahal malah bolos kamu gimana sih bell. Jadi anak yang nurut dong sama orang tua mu. Ini nih akibatnya kalo kamu bandel.” Kata-kata yang keluar dari mulut ayahku memarahiku. “Yah, anak kita sedang kaya gini lho keadaannya, jangan dimarahi dong. Kasihan anakmu.” Pinta mamah kepada ayahku. “Terus aja mamah manjain Bela. Mamah tau sendiri kan, Bela seperti ini karena salahnya sendiri mah! Dan asal mamah tau kalau Bela berani bolos sekolah itu karena mamah terlalu manjain dia!!” Bentak ayahku kepada mamahku.
Sepertinya ayahku kesal denganku. Aku hanya bisa mematung memeluk mamahku. Kemudian mamahku menanyakan bagaimana keadaan Ria. Aku bilang kalau Ria sedang di ruang ICU sedang kritis. “Ayah dengar sendiri kan, Ria teman anakmu kritis di ruang ICU. Bagaimana kalau yang kritis Bela. Apa ayah masih memarahinya. Kritis itu tidak sadar diri, dia tidak hidup dan juga tidak mati! Apa ayah mau anakmu seperti Ria? Masih untung Tuhan melindungi anak kita. Walaupun dia buta tetapi nyawanya terselamatkan. Ayah seharusnya mensupport anak kita.” Ucap ibuku menasihati ayahku. Ayahku diam tanpa suara saat mamahku menasihatinya. Mungkin ayahku membayangkan kalau aku di posisi Ria. Dan sepertinya hati ayahku tersentuh oleh ucapan mamahku tadi.
“Maafkan ayah ya Bel. Ayah tadi memarahimu. Seharusnya ayah mensupport kamu saat keadaan kamu seperti ini. Ayah malah membentakmu.” Ucap ayah sambil berjalan pelan mendekatiku dan memelukku. “Kamu seperti ini mungkin salah ayah juga. Karena ayah kurang pengertian denganmu. Ayah minta maaf ya Bel.” Ucap ayahku meminta maaf kepadaku. “Iya yah. Maafkan Bela juga. Bela janji akan jadi anak yang nurut ayah mamah. Bela janji akan menjadi anak yang rajin.” Sahutku kepada ayahku dengan nada agak semangat.
Hatiku terasa agak tenang mendengar ayahku sudah tidak kesal denganku. Walaupun keadaanku sekarang buta, aku harus semangat hidup. Karena semua yang terjadi kepadaku itu semua akibat kesalahanku sendiri. Tiba-tiba aku memikirkan keadaan Ria. “Mah, yah. Aku ingin bertemu dengan Ria. Walaupun aku tidak bisa melihatnya, aku harap aku bisa mendengar suaranya.” Pintaku kepada ayah dan mamahku. “Baiklah jika itu maumu, ayah dan mamah menuruti kemauanmu.” Jawab ayahku.
Suster membawakan aku kursi roda untukku. Kursi roda yang aku tumpangi, perlahan berjalan menuju ruang ICU. Jarak ruang rawat inapku ke ruang ICU tidak begitu jauh. Tiba-tiba kursi rodaku berhenti di dorong oleh mamah. Mungkin sudah sampai di ruang ICU. Benar saja, ayahku bilang kalau kita sudah sampai di depan ruang ICU. Tetapi yang kudengar ada suara tangisan ibu-ibu tersedu-sedu dari dalam ruang ICU. Tubuhku gemetar, pikiranku kemana-mana memikirkan Ria. Aku takut kalo ibu-ibu itu mamahnya Ria. Dan bagaimana keadaan Ria sekarang.
“Mah, kok ada suara tangisan ibu-ibu. Ada apa mah?” tanyaku kepada mamahku yang sedang memegangi kursi rodaku. “Tidak tau nak.” Jawab mamahku.
Krekkk Suara seseorang membuka pintu hendak keluar dari ruang ICU. Tenyata yang keluar dari ruang ICU itu suster. Ayahku bertanya kepada suster itu. “Maaf sus, Apakah di ruang ini ada pasien yang namanya Ria? Pasien kecelakaan yang sedang kritis. Bagaimana keadaan nya sekarang? Apakah dia sudah siuman?” Tanya Ayahku kepada suster. “Iya pak. Pasien yang bernama Ria baru saja tutup usia pak. Nyawanya tidak tertolong.” Jawab suster kepada ayahku. Seketika cairan bening keluar dari mataku membasahi pipiku, saat aku mendengar ucapan suster tadi. Aku tidak menyangka, nasib Ria bakal seperti ini. Aku merasa bersalah sekali kepadanya. Aku menyesal sudah mengajak Ria bolos sekolah. Kedua orangtuaku mematung mendengar kabar tentang Ria.
“Mah aku ingin melihat Ria untuk terakhir kalinya, tapi bagaimana aku bisa melihat. Mataku buta. Aku ingin memeluknya… hiks hiks.” pintaku kepada mamahku. Mamahku mengangguk dan mendorongku masuk ke dalam ruang ICU.
Di dalam ruang ICU suasananya hening. Semuanya mematung, hanya terdengar suara orang tua Ria yang menangis. Mamahku mendekatkan kursi rodaku mendekati ranjang dimana Ria terbaring tak bernyawa di situ. Tanganku menggerayah tangan Ria yang kaku. Kucium tangannya dengan tulus walaupun sudah tiada. Jujur aku merasa bersalah denganmu kawan. Seharusnya aku tidak mengajakmu jalan, agar tidak terjadi seperti ini. Air mataku mengalir deras walaupun aku tidak bisa melihat Ria untuk terakhir kalinya. Hatiku hancur rasanya, kehilangan sahabat dekatku.
“Mamah… Ria sudah tiada. Aku takut mah. Semua ini terjadi gara-gara aku… hiks hiks.” Bisikku pelan kepada mamahku. “Bela!!! Tante sudah diceritakan kejadian yang sebenarnya oleh Ria sebelum dia meninggal. Tadi pagi ternyata dia tidak berangkat sekolah. Padahal dia pamit ke saya mau ke sekolah. Kamu kan yang membujuk Ria agar dia membolos sekolah!!! Tante tidak menyangka dengan kamu. Kamu itu yang membuat Ria seperti ini!!!” Bentak mamahnya Ria kepadaku. “Asal kamu tahu ya Bela… Ria itu dulu anaknya baik, nurut sama saya. Tapi semenjak dekat dengan kamu. Dia menjadi malas dan membangkang.” Kata-kata yang keluar dari mulut mamahnya Ria mencaci-maki aku. “Masih berani kamu dan orangtuamu datang ke sini. Tidak usah kamu datang ke pemakamannya Ria, jangan pernah lagi kamu menampakkan diri di depan saya. Pergi kalian…pergiii!!!” bentak mamahnya Ria kepada keluargaku. “Ayo mah, Bel. Kita pulang aja.” Ajak ayahku kepada aku dan mamahku. Kami bertiga keluar dari ruang ICU karena diusir oleh mamahnya Ria. Kami kembali ke ruang rawat inapku.
Saat aku terbaring di ranjang ruangan rawat inap, aku mendengar suara adzan. “Mah, aku ingin sholat mah. Tolong siapkan mukena mah.” Pintaku kepada mamahku di ruangan rawat inapku “Ayah. Bela butuh mukena. Tolong ayah belikan di toko depan rumah sakit.” Ucap mamahku kepada ayahku. “Ayah beli mukena dulu ya nak.” Ucap ayahku kepadaku sambil mengecup keningku. “Iya yah.” Jawabku kepada ayahku.
Aku segera mengambil wudhu dan ditemani mamahku. Beberapa menit kemudian ayahku datang membawa sepaket alat sholat. Mamahku memakaikan mukena warna pink polos ke tubuhku. Setelah itu mamah dan ayahku keluar dari ruang rawat inapku dan membiarkan aku sholat. Kali ini sholatku entah kenapa lebih kuysu’ daripada sebelumnya. Mungkin karena hari ini banyak cobaan yang menimpaku. Di sela sholatku aku juga meneteskan air mataku. Empat rakaat sudah aku tunaikan. Selesai salam, aku merenung dan berdoa kepada Tuhan.
“Tuhan hari ini engkau telah memberikan aku banyak ujian dan cobaan. Hamba menyesal telah melakukan kesalahan yang fatal dan berakibat pada diriku dan temanku. Tuhan… sekarang aku menjadi buta, dan temanku telah tiada. Aku menyesal Tuhan… jadikan hambamu ini orang yang rajin dan nurut dengan kedua orangtuaku. Ria… aku rindu denganmu… maafkan aku Ria… gara-gara aku mengajak kamu jalan… nasibmu malah seperti ini, aku janji tidak akan membolos sekolah lagi dan aku akan mengurangi waktu untuk jalan keluar rumah… Ria maafkan aku juga, aku tidak bisa mengantarmu ke peristirahatan terakhirmu karena mamahmu melarang keluargaku datang, aku takut kedatanganku akan membuat kericuhan, aku hanya bisa mengirim doa kepadamu Ria… semoga kamu tenang disana… sampai jumpa di akhirat nanti.” Doaku dalam hati dengan air mata yang menetes.
Cerpen Karangan: Nabila Syafaatun Nikmah Blog / Facebook: Nabilasyafa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com