Jalanan itu penuh kenangan. Bila hujan datang dan airnya menggenang, kadang sangat tertancap jelas berbagai macam senyuman yang sempat dibuang di sepanjang perjalanan. Tak heran bila hati selalu mempertanyakan kapan akan terulang. Berulang kali kuputar suara Feby Putri yang berkolaborasi dengan Fiersa Besari. Dan masih berulang kali air mataku lolos mendalami tiap liriknya di dalam hati. Judulnya ‘Runtuh’. Lagu yang tidak akan membuat aku lupa akan momen kehilangan dirimu meski kamu masih ada di Bumi.
Ini aku, dengan segala luka yang pernah kamu tutup sempurna, dan yang akan kembali kamu buat terluka. Ponselku belum terlelap malam tadi. Sudah berkali-kali getarannya berhasil membuat mataku susah payah untuk menutup kembali. Kebetulan layarnya masih menyala dengan sempurna. Menjadi pelita bagi kamarku yang terlanjur gelap gulita. Kupikir kamu akan membalas pesan terakhirku di detik yang sama, nyatanya ponselmu juga masih menyala hingga aku kembali terjaga. Atau mungkin kamu juga ikut terlelap? Ah, sepertinya tidak. Kamu baru saja mengunggah beberapa potong video yang sempat kamu abadikan pada galeri ponselmu.
Kemarin aku sempat mendengar celotehmu lagi bersama teman-temanmu. Membicarakan kecacatan orang dengan gaya lelucon, membahas problematika gender seseorang, membandingkan harga satu pack rokok, serta masih banyak pembahasan yang jujur tak ingin kudengar. Sungguh pembahasan komplet yang belum pernah aku dengar seumur hidupku. Namun, pada akhirnya kamu dan kawan-kawanmu telah berhasil membuatku tahu akan pembahasan itu. Tidak apa-apa. Aku sudah mulai terbiasa selama ini. Terbiasa dengan rasa takut.
Ternyata dunia sekeras ini. Atau mungkin aku yang terlalu lugu untuk mengenalimu? Mengenalmu itu bagai menghilangkan segala hal yang seharusnya masih tabu dalam pikiranku. Kamu dan teman-temanmu seakan mengajak pikiranku berjalan lebih dewasa sebelum waktunya. Meski umurku sudah delapan belas tahun, aku sedikit membenci akan hal ini.
“Tidak kurang larut lagi kamu membalas pesanku tadi malam?” “Gue udah bilang. Lo tidur duluan aja”. Timpalmu tanpa menatap mataku. “Masih ngapain sebenarnya?” “Ngga ada. Buka Tik-Tok, IG, Youtube”. “Besok jalan bareng? Aku ke rumahmu, pakai motorku saja”. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ngga dulu,” tolaknya. “Baiklah. Aku ke kelas,” pungkasku segera meninggalkan laki-laki yang baru menjadi brandal beberapa hari lalu.
Aku benci situasi ini. Memang benar rupanya, jika kamu masih mencintai dirimu, maka jangan pernah mencari tahu hal yang sebenarnya tidak perlu kamu tahu. Itu justru akan menyakiti diri sendiri.
“Lo ngapain? Duduk sini deket gue”. “Iya, ngapain, sih? Mending belajar. Bentar lagi beneran ada post test, lho”. Aku menjawab Dellin dan Hila sekedarnya. Mataku masih terpaku pada sosok laki-laki brandal yang sempat aku temui tadi pagi. Tawanya begitu renyah. Sepertinya dia benar-benar tidak mengharapkan keberadaanku. Segera kuusap bulir air mata yang baru saja membasahi pipiku. Nafasku pun jauh dari kata ‘teratur’. Ingin rasanya aku menjadi salah satu dari dua perempuan yang saat ini berada di hadapannya. Sedang menciptakan tawa bersamanya serta bergurau bersamanya.
“Jujur aja. Lo cemburu kan? Gue tahu lo pasti pernah cemburu gara-gara mereka”. Hila seakan bisa menerka isi hatiku. Aku hanya menatap dua situasi ini secara bergantian. “Engga lah. Ngapain? Itu cuma sahabatnya, kok” elakku. “Sudah, ngga usah bohong. Gue tahu kali”. Timpalnya lalu bergegas mengekori Dellin menuju kelas. Aku segera meyakinkan Hila untuk kali terakhir bahwa aku masih baik-baik saja.
Siang itu kelas sudah berakhir. Perlahan aku menuruni tiap anak tangga menuju lantai utama. Aku benar-benar tidak dapat menutup diri bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja. Tibalah aku di lantai di bawah. Masih dengan posisi berjalan, temanku menyenggol bahuku. Mungkin berniat memberiku semangat agar tidak loyo. Sungguh usaha yang justru membuatku terperanjat kaget. Aku buru-buru menghampiri Ardan yang tengah duduk di pinggir taman sekolah bersama beberapa temannya.
“Kamu sudah akan pulang?” tanyaku. “Duluan aja ngga apa,” balasnya asal seraya bergurau. “Ardan”. Panggilku dengan serius. “Iya. Duluan aja.” “Masih mau kemana, sih?” “Ke rumah Gero” “Pulang jam? ” “Ikut kawan-kawan,” “Baiklah aku duluan, ya. Hati-hati”. “Okay, hati-hati”.
Ardan, andai kamu tahu. Aku ingin marah. Namun pula aku ingin bersedih. Aku masih ingat bagaimana manisnya sikapmu ketika ingin mendapatkan aku. Dan sekarang aku juga akan mengingat, bagaimana pahitnya sikapmu ketika kamu tidak membutuhkan aku.
Aku ingin kamu tetap menjadi anak yang baik. Sebaik ketika pertama kali aku mengenalmu. Tetaplah seperti itu, sehangat itu, dan tidak mengacuhkan aku seperti tadi. Aku benar-benar kehilangan kamu sepekan ini. Aromamu tak ada bedanya dengan putungan rokok, bahkan gaya bicaramu selalu tidak luput dari kata umpatan yang kamu selipkan di dalamnya. Ardan kamu kenapa?!
WhatsApp Gina : Aku masih pacarmu? Ardan: masih Gina : Aku telepon, ya? Ardan: lagi ngga mood, next time Gina : Baiklah Ardan: oke Gina : Akan tidur jam berapa? Ardan: gatau, duluan aja Gina : Baiklah aku tidur duluan ya, Ardan: oke
Tolong jujurlah padaku, jangan menyakiti seperti itu. Dan tolong katakan padaku ketika kamu berniat untuk pergi, rengekku setelah mematikan ponsel. Aku tahu kamu butuh tenang, namun mengapa harus dengan cara seperti ini? Maafkan aku Baymax—boneka pemberian Ardan di hari ulang tahunku. Sepekan ini aku sudah membuat hujan di dalam bilikku sendiri. Mata yang tak kunjung terpejam, hati yang tak kunjung tenang, dan pikiran yang tetap melayang. Aku harap Ardan segera kembali. Kupeluk Baymax erat-erat hingga menuju mimpi.
Hari ini mataku tampak begitu sembab. Sungguh kacau sekali, tak terkecuali juga hatiku. Sore ini aku sudah siap menyaksikan Ardan berlaga di arena futsal.
Sempat aku menilik beberapa lawan mainnya, agaknya aku mengenal beberapa dari mereka di dunia maya. Namun aku tak kunjung bertegur sapa. Hanya bertatapan lantas pura-pura tidak mengenal mereka. Aku tidak melihat keberadaan Ardan disana. Kubuka celah permisi diantara segerombol siswa—berharap bisa menemukan Ardan. Para kawannya hampir menyelimuti Ardan diantara selajur kursi panjang. Aku buru-buru mendatangi dia. Kepulan asap rokok tadi berhasil menggiringku masuk ke dalam gerombolan. Tak lain, asap itu juga berasal dari liang mulut Ardan. Dia menatapku beku sejenak, beberapa saat kemudian lantas melanjutkan aktivitasnya mengepulkan asap. Tak peduli akan keberadaanku. Tubuh ini hanya berdiri kaku menyaksikan kepulan asap yang simpang siur membaluti wajahku.
Aku mundur dari gerombolan dan mencari tempat duduk untuk menenangkan diri. Mataku enggan menahan tangis. Sempat beberapa kawannya menatapku dengan tatapan iba karena Ardan tidak memperlakukan aku seperti biasanya. Ardan adalah pemegang kendali bagi mereka. Dia bisa saja memata-matai aku tanpa harus melibatkan dirinya. Untuk itu aku segera menghapus air mataku ketika menyadari bahwa Bayu lah yang memperhatikan aku lebih lama dari yang lain.
Hai, Ardan. Tidak terasa ini sudah pekan kedua kamu mengacuhkan aku bahkan juga menggantung diriku. Aku pasrah. Setengah bulan ini aku banyak belajar suatu hal akan mengapa dirimu menghilang dari hidupku. Mungkin aku kerap beberapa kali egois padamu, terlampaui sering mengesalkan sesuatu, atau mungkin beberapa lainnya yang saat ini mulai aku perbaiki. Mengenalmu tidak sepenuhnya tentang keburukan. Kamu memiliki sisi positif yang belum pernah aku temukan pada laki-laki baru yang begitu dekat denganku. Terima kasih sudah menjadi tajuk mahkota yang baik selama ini.
Terkadang kita memang perlu menghilang agar orang lain bisa merasakan seberapa pentingnya kita di dalam hidup mereka. Dan sekarang, aku merasakan hal itu ketika kamu benar-benar menghilang untukku.
Suasana sekolah mulai sunyi siang ini. Aku sempat melihat Ardan sekilas ketika berpapasan, aku berniat memalingkan pandang. Kukira Ardan akan tetap seperti hari-hari lalu. Kami bertemu sedikit jauh dari keramaian. Tiba-tiba Ardan menghampiri aku dan berdiri di hadapanku, memegang tanganku beberapa detik lantas mengucapkan pamit untuk dua hari ke depan. Katanya ada urusan keluarga. Dia memintaku untuk menjaga diri. Aku terdiam sejenak, setelah itu aku segera mengiyakan pesan-pesan selanjutnya. Aku membalas ucapannya hampir serupa.
Berberapa hari kemudian Ardan kembali menjadi laki-laki yang baik. Meski hingga saat ini dia tidak sebaik setahun lalu aku mengenalnya, namun aku yakin bahwa keajaiban akan datang dan mengubah kami menjadi insan yang lebih baik dari waktu-waktu kemarin.
Cerpen Karangan: Primahesti Gitri ‘Zet Instagram : @_primahesti Hola! Kenalin, Aku Prima. Saat ini Usiaku 18 tahun. Menulis adalah salah satu hobiku. Kerap kali aku selalu menuangkan segala ekspresi ke dalam bentuk tulisan. Aku akui, aku masih penulis amatir, namun kuharap kalian menyukai ceritaku ini, ya… Salam sastra! ^_^ Primahesti G’Zet 31/10/2021
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com