Matahari meredup, memperlihatkan semburat jingga kemerah-merahan yang terbentang di ufuk barat. Tak lupa dengan pegunungan yang berderet di sebelah selatan sampai barat daya. Jalanan di dataran tinggi yang berkelok-kelok serta naik turun membuat kendaraan mengalami kesulitan untuk melewatinya. Maka dari itu tak sedikit anak sekolahan yang jarak rumahnya kurang lebih 2 km dari sekolah memilih untuk jalan kaki.
Termasuk diriku, aku lebih suka ke sekolah mengandalkan kekuatan otot kakiku dibandingkan memakai kendaraan berbensin. Meskipun ada sepeda ontel di rumah, aku lebih memilih jalan kaki. Sebab feel jejepangannya lebih kerasa hahaha. Uppss ketahuan deh wibunya.
Berhubung para osis sekolah mengadakan bazar untuk memeriahkan bulan agustus selama satu minggu di minggu ketiga, aku memillih membawa tas mini yang berisi uang dan handphoneku saja. Toh seminggu ini di isi dengan lomba ala tujuh belas agustusan, dan yang tidak menjadi peserta lomba dipersilahkan untuk makan sepuasnya.
Setelah lengkap memakai atribut sekolah, aku keluar kamar. Memandangi sekitar sebelum berjalan kearah kanan menuju dapur. “Assalamualaikum” 10 menit kemudian, terdengar salam dan decitan pintu secara bersamaan. Segera kuakhiri sesi makanku dan berjalan kearah datangnya suara. “Mama dari mana?” “Kebiasaan. Ada orang salam enggak dijawab.” “Waalaikumsalam mamaku yang paliing cantikk. Lea mau berangkat sekolah.” Jawabku dengan senyum terpaksa. “Iya, hati-hati.”
—
“Leaaa. Sekarang waktumu piket!” ketua kelas yang tiap hari rabu ingin kusumpal mulutnya dengan toge itu lagi lagi nyerocos. Hanya karena anak buahnya tidak melakukan ritual yang sudah dijadwalkan setiap minggu, ia rela berdiri di depan pintu untuk menanti makhluk yang namanya tertera di jadwal piket mingguan di hari itu. “Iya, Tuan maharaja.” Kataku dengan tangan menyatu didepan dada menghadap kearahnya.
“Assalamualaikum” Shena memasuki kelas dengan logat daerah yang masih kental. Ia adalah anak pindahan dari pelosok jawa tengah ke kota, dan berada di sekolah ini selama dua bulan kurang tiga hari. Sedikit hafal karena aku sekretaris yang mendata absen murid-murid di kelas. “He Shena. Hari ini juga waktumu piket.” “iya mas, iyo.” jawabnya dengan semburat kekesalan yang tak dapat disembunyikan. “Leaaa. Ayo anterin aku beli makan.” Teriakan Tyas dari jendela kelas menambah kekesalanku dipagi ini. Teman se komplekku itu dengan cerianya ngajak beli makan dijam yang masih terbilang pagi ini. Bazarnya saja masih melakukan persiapan awal untuk buka, bahkan ada osis yang belum datang!. “Bentarr.. sini bantu aku nyapu dulu.” Cercahku dibalas dengan langkah kaki yang dengan gontai berjalan kearahku. “Bapak ketua kelasnya mana? Tumben gak keliatan.” Lah iya. Aku baru tersadar si mahkluk titisan dedemit itu sudah menghilang dari tempat semedinya. “Halah palingan caper ke kelas sebelah buat nyuri hatinya si Yonah.” Jawabku asal.
Berbagai perlombaan sudah dimulai, penentuan untuk besok dibabak semi final. “Ehh Le, kata temenku tadi timnya kak Dimas menang.” Tyas yang belum berhenti memasukkan makanan kedalam mulut dari dua jam yang lalu itu mulai mengeluarkan topik tak berbobotnya. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanya kujawab dengan deheman kecil tak berarti. Seolah sudah kebal dengan ketidak pedulianku, ia tetap mengeluarkan unek-uneknya yang sepertinya sudah bertahun tahun ia tahan. “Iya yass, biarin toh. Selagi mereka gak ganggu kita, buat apa diurusin?” kataku pada tyas sesudah mem-pause film yang sudah kuunduh tadi malam. Ia tak pernah kehilangan topik pembicaraan. Setelah kupotong waktu dia berbicara soal kelasnya yang diisi dengan geng-gengan alay, ia berbelok ke isu dimana pak satpam yang berjaga di gerbang belakang minggu lalu nikah dengan istri ketiganya. “Ehh aku mau ke perpus dulu yaa.. tanggung kemarin ada novel yang belum selesai kubaca. Keburu diambil orang.” Kataku sambil menepuk pundak Tyas dua kali. “Yahh. Gue sama siapa dong Le?” rengeknya. “Udah nikmatin aja makanannya. Siapa tau nanti ada pangeran yang datang buat nemenin kamu makan.” Jawabku dengan tertawa meledek dan dibalas dengan hentakan kaki yang membuat mataku semakin menyipit karena tertawa.
Sesampainya di perpus. Aku segera berjalan ke deretan buku yang terakhir kali kubaca. Karena lupa letak pasti buku yang kucari, aku membaca semua judul buku yang terlintas dimataku. Menyusuri rak demi rak, namun nihil. Hingga sampai di meja kayu panjang. Aku mengamati sampul buku yang terletak diatas meja itu. Dari jauh warnanya terlihat sama dari buku yang kemarin kubaca. Aku mendekat, berusaha membaca judul buku itu yang ternyata adalah buku yang sedang aku cari.
Kulihat ada seorang didepan buku itu, sedang membaca buku dengan judul yang berbeda. “Permisi.” Kataku sambil mengambil buku yang sejak tadi kuincar. Kepalanya mendongak, menciptakan kerutan kebingungan yang menghiasi dahinya. Aku tetap mengambil buku itu. Palingan punya orang yang tadi baca tapi gak dikembalikan, pikirku.
Aku duduk di seberang cowok itu. Hanya terpisahkan meja panjang dengan lebar tiga lengan orang dewasa. Kini kepalanya kembali menunduk, dengan mata bergerak kekanan-kiri mengikuti baris kalimat di buku itu. Marasa kagum akan kalimat majas dan diksi yang bertebaran di dalam novel bergenre romansa yang kubaca ini membuatku ingin membawanya pulang. Menyelami kalimat demi kalimat dan membacanya dengan nada puitis. Segera ku berdiri, berniat melangkah ke penjaga perpus untuk meminta izin membawa buku ini pulang. Baru berjalan satu langkah, langkahku terhenti mendengar suara cowok itu yang pasti ditujukan padaku. “Itu novel baru kupinjam. Mau kubawa pulang.” Katanya. Aku berbalik menghadapnya. Berusaha menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba melandaku. “Ohh ini sudah kamu pinjam? Maaf maaf aku gak tau. Tadi kukira buku itu udah disitu dari tadi.” Cowok itu hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada buku yang ia baca. Memperjelas pemaklumannya.
Dua detik kemudian, aku melangkah menjauhi bangku panjang berderet itu. Menelusuri rak rak dengan ratusan judul buku menghiasi. Tibalah di depan buku bergenre psikologi yang seakan akan memaksaku membaca bukunya. Yang menjadi halangan adalah letak buku itu di rak bagian paling atas, membuat tinggi badan kurcaciku ini seolah mendapat tantangan lumayan besar.
Sudut mataku menyorot kearah kemoceng yang sengaja digantung di dinding tepat dibawah jam antik -yang akan mengeluarkan suara nyaring diwaktu tertentu-. Tanpa pikir panjang aku mengulurkan tanganku dengan kemoceng yang sudah ada didalam genggamanku, berniat sedikit menggeser buku itu supaya bisa aku tangkap dengan tanganku satunya. Tapi naas, hal yang tidak kuinginkan –bahkan tak terpikirkan- terjadi. Buku yang semula aku inginkan hanya satu dan berhasil dalam genggamanku. Namun keempat buku yang letaknya ber-tetanggaan ikut berjatuhan tak karuan. Bukah hanya itu, dalam waktu yang bersamaan jam antik yang tadi kusebutkan mengeluarkan alarm otomatisnya. Membuatku yang berada dua meter dari jam tersebut terlonjat kaget.
Tak sempat menghindar, kepalaku terhantam dua buku yang berhalaman sekitar tiga ratus halaman secara bergiliran. Penyebab semua ini karna jam keparat itu!!. Pada waktu jam tersebut senyap. Suara tertawa yang berusaha ditahan terdengar dari sela sela rak dibelakangku. Sembari mengambil buku yang berceceran, umpatan sumpah serapah sudah tersusun sedemikian apiknya didalam otakku.
Setelah menyusun buku kedalam rak yang lebih rendah, aku berjalan kearah rak dibelakangku. Rupanya tidak ada siapapun. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat cowok yang tadi duduk didepan meja panjang kini menuliskan sesuatu di meja penjaga.
Tak kuhiaraukan, aku segera membawa buku di genggamanku ke meja yang tadi sempat kuhampiri. Melihat buku yang tadi tak sengaja kuambil masih berada ditempatnya membuatku segera menyorotkan mataku ke meja penjaga perpus. Dan seseorang yang kucari sudah tidak ada disana. Dengan langkah pelan aku menghampiri buku itu, netraku melihat selembar kertas diatasnya yang bertuliskan “Aku udah pinjam buku lain, buku ini bakal aku pinjam di lain Hari. Kalo mau baca, cepetan.”
Entah apa maksud cowok itu, tapi aku merasa tulisan ini ditujukan untukku. Segera aku mengambil buku itu menuju ke penjaga perpus. Dan mengembalikan buku yang tadi di genggamanku ke salah satu rak bergenre serupa di tempat yang tersembunyi namun strategis bagiku.
Cerpen Karangan: Denisa Adelyanti Hai, saya salah satu siswi di SMPN 1 PURI. Masih belajar menulis cerpen. Dibaca yaa!!