Waktu dulu sekolahanku mengadakan liburan ke Yogyakarta, saat itu belum ada pandemi CORONA. Pada saat itu, aku dan teman-temanku merasa senang kita semua membicarakan tentang persiapan untuk kesana.
“Ah aku tidak sabar bagaimana kalau kita disana,” kata Widia. “Sama aku juga tidak sabar,” kata Sufi. “Nanti kalian tempat duduknya jangan misah ya,” kataku. “Pasti itu, nanti aku tempat duduknya sama kamu ya,” kata Dinar. “Iya, kalau kalian sama siapa aja,” kataku. “Kalau aku sama si Sufi, iya gak Fi,” Kata Widia. “Aku si iya aja,” kata Sufi.
“Oh iya pembagian kelompoknya gimana,” kataku. “Kita tanya Bu Desi aja yuk,” kata Dinar. “Oke,” kataku.
Beberapa menit kemudian “Kata Bu Desi terserah yang penting isi kelompoknya ada 7 orang,” kata Dinar. “Oke, tinggal 1 orang aja,” kataku. “Siapa yang gak kebagian kelompok,” lanjutku. “Aku,” kata Fia. “Kamu mau gak kelompokan sama kita,” kata Sufi. “Iya daripada aku gak ada kelompok,” kata Fia. “Oke deal ya,” kataku. “Iya deal,” kata mereka kompak.
Pagi harinya semua murid kumpul di lapangan, semua baris dengan rapi dan bapak ibu guru yang ikut pun memberi arahan kegiatan disana dari berangkat sampai pulang. “Ayo kita foto dulu sebelum berangkat,” kata Widia yang sekelompok dengan ku. “Ayok,” kompak kita berlima. “Ayo Dinar kita masuk bus,” kataku. “Iya,” kata Dinar. “Kita duduk dimana ya enaknya,” kataku. “Kursi yang ke tiga aja gimana,” kata Dinar. “Ayo,” kataku. “Oh ya kamu bawa apa aja,” lanjutku. “Banyak hehe,” kata Dinar sambil memperlihatkan deretan giginya.
Di sepanjang jalan aku menikmati jalanan sambil berbicara dan bercanda dengan anak-anak lainnya. Pada saat itu, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena kebersamaan ini. Dipertengahan jalan aku merasa kantuk dan bosan temen-temanku pada tidur, ada juga yang bermain ponsel. Pada akhirnya aku memilih tidur sama dengan mereka walaupun aku merasa tak nyaman.
Sampai akhirnya sampai di tujuan pertama kita, yaitu Candi Prambanan. “Heii, bangun,” kata Dinar yang membangunkanku. “Ada apa sih nar,” kataku. “Kita udah sampai di candi,” kata Dinar. “Hah,” kataku. “Kita udah sampai di candi,” kesel Dinar. “Oh udah sampai,” kataku. “Yaudah yuk kita turun, yang lain udah pada turun,” kata Dinar. “Iya, sebentar,” kataku.
Waktu aku turun ternyata tempatnya masih sepi. Guru-guru mengarakan kita untuk masuk dengan perkelompok dan setiap kelompok ada guru yang mendampingi. “Ayok kita masuk,” kata Sufi. “Tunggu bu Desi dulu,” kataku. “Ayok gaes, ini kelompoknya udah lengkap kan kita masuknya yang rapi ya,” kata bu Desi yang menjadi guru pendamping kelompokku. “Udah bu,” kata kita bebarengan. “Jangan lupa nanti foto ya,” kata Fitri. “Kalau itu sih jangan sampai kelewatan, iya gak gaes,” kata Widia. “Iya dong,” kata Sufi.
Kita berjalan beriringan sambil memutari candi. Dan kita melihat orang-orang yang berkerumun, yang tadinya sepi menjadi ramai. Aku penasaran dengan apa yang terjadi, hingga akhirnya aku dan teman-teman yang lain mendekati kerumunan. Ternyata di sana ada keluarga Anang Hermansyah yang sedang dikerumun oleh orang-orang. Teman-temanku yang laki-laki menghampiri kerumunan tersebut. Aku hanya diam mengamati mereka tetapi, ada tangan yang menyeretku menghampiri kerumunan tersebut.
“Heii, kamu ingin membawaku kemana,” kataku. “Aku ingin membawamu kesana, aku penasaran sekali bagaimana family Hermansyah,” kata Fitri. “Hm terserah,” kataku. “Hei ke mari kita ingin foto, kamu ikut foto gak,” kata Sufi. “Eh tunggu, aku juga mau ikut foto,” kata Fitri. “Ayo foto bertujuh,” kata Dinar.
Setelah semua foto-foto kita semua berkeliling ke tempat tempat lain yang bagus untuk berfoto. Kemudian guru-guru menyuruh berkumpul untuk kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan. Setelah itu, semuanya mengecek teman disampingnya apakah ada yang ketinggalan atau tidak. Setelah semuanya sudah siap bus melanjutkan perjalanan.
Tempat yang dituju pun sampai yaitu Malioboro tempat yang begitu ramai. Semuanya turun dan dipandu oleh guru yang mendampingi disetiap kelompok. Guruku memerintahkan agar kita semua menunggu diluar. Tetapi tidak dengan kelompokku, kelompokku justru mengikuti arahan guru kelompok lain. Kita ditarik oleh seorang bapak-bapak becak, dan kita pun mengikuti si bapak tersebut.
“Eh kita nggak nunggu yang lain,” kataku. “Itu semuanya udah pada berangkat,” kata Widia. “Yaudah deh,” kataku. “Emm kita muat nggak, ini kita berempat becaknya kan kecil,” kata Sufi. “Kayaknya sih muat kamu aku pangku mau nggak,” kataku. “Mau mau,” kata Sufi. “Ya udah yuk naik keburu ketinggalan yang lain,” kata Widia.
“Ini udah siap kan,” kata si bapak becak. “Siap pak,” seru kita. “Nak ini kita lewat jalan pintas aja ya soalnya kalau lewat jalan besar ramai,” kata si bapak becak. “Iya terserah bapak,” kata Dinar. “Em perasaanku kok nggak enak ya,” kataku. “Mungkin itu cuma perasaanmu aja kali,” kata Widia. “Mungkin,” kataku. “Udah nggak usah dipikirin kita happy-happy aja,” kata Dinar. “Iya,” kataku.
Entah hanya perasaanku saja atau gimana yang jelas aku merasa ada yang aneh. Sebab, dari tadi jalanannya sepi dan kita nggak sampai-sampai hanya keliling saja. Akhirnya aku memberanikan untuk tanya pada si bapak. “Maaf pak, kok dari tadi nggak sampai-sampai ya. Apa masih lama ya perjalanannya?” kataku. “Sebentar lagi juga sampai nduk,” kata si bapak becak.
Kita hanya mengikuti si bapak karena kita juga baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Aku mencoba untuk terus berfikir positif, hingga akhirnya kita melewati jalanan yang lebih besar dari sebelumnya. Dan tiba-tiba turun hujan yang membuat kita panik, untung saja hujannya tidak deras sehingga kita meneduh di toko bak pia.
“kalau kalian ingin membeli bak pia silakan,” kata si bapak becak. “Iya pak, kalian beli gak,” kataku. “Iya deh buat ganjal perut,” kata Sufi. “Yaudah tunggu apa lagi, ayo masuk,” kata Dinar. “Enaknya rasa apa ya? Menurut kalian,” kata Widia. “Terserah kamu, kan kamu yang makan ,“ kataku. “Iya juga sih, nanti kalau gak cocok rasanya aku yang repot,” kata Widia.
Setelah membeli makanan tersebut kita menuju bapak becak. Tetapi tidak ada bapak becaknya, kita kelimpungan apalagi tidak ada becak yang lain. Sungguh kita panik bukan main disaat seperti ini. Hujan pun belum reda. Akhirnya kita memutuskan untuk mencari becak dengan menerobos hujan.
Malam begitu dingin dan menakutkan apalagi kita hanya berempat cewek semua. Hingga akhirnya kita meneduh sambil menunggu tukang becak lewat. Lama kita menunggu sampai akhirnya ada bapak-bapak becak yang mendorong becaknya.
“Gaes ada tukang becak,” kataku. “Hah mana,” kata Sufi. “Itu loh,” kataku. “Pakk pakk,” kata kita sambil melambaikan tangan. Bapak tersebut pun mengahampiri kita “Ada apa ya nduk,” tanya bapak tersebut. “Pak boleh gak kita naik becak bapak,” kataku. “Boleh-boleh aja neng, tapi roda becaknya bocor, jadi maaf ya ning,” kata bapak tersebut. “Iya pak gak papa,” kata kita “Emangnya kalian mau kemana,” kata bapak becak tersebut. “Kita mau ke Malioboro pak cuma tadi kita ditinggalin sama bapak becak,” kataku. “Oala nduk yang sabar,” kata bapak becak. “iya pak, makasih,” kata kita. “Yaudah bapak pulang ya,” kata bapak tersebut. “Iya pak, hati-hati,” kata ku. “Iya, kalian juga ya,” kata bapak tersebut.
“Terus gimana nasib kita,” kata Dinar. “Gak ada pilihan lain, kita balik ke terminal aja ini juga udah malam banget,” kataku. “Jadi kita gak ke malioboro,” kata Sufi dengan sedih. “Iya daripada kita lanjut jalan, kita kan gak tau arah jalannya,” kataku. “Yaudah deh lagian juga deket dari terminal,” kata Widia. “Yaudah deh,” kata Sufi.
Akhirnya kita memilih untuk kembali ke terminal bus tadi. Setelah sampai terminal kita mencari bus yang kita tumpangi tadi. Kita bingung karena tidak menemukan bus tersebut banyak sekali bus yang hampir sama. Tapi kita tidak menyerah untuk terus mencari keberadaan bus tersebut.
Lama mencari sampai akhirnya kita menemukan bus yang kita cari. Pertama kita masuk bus tersebut dikagetkan dengan 2 orang, siapa lagi pelakunya kalau bukan teman kita sendiri.
“Ehh,” kata kita. “Kamu kok bisa disini,” kataku. “Ini si Satria laper jadi kita tadi gak ikut,” kata Devan. “Oh,” kataku. “Kalau kamu sendiri kok kesini,” kata Devan. “Ceritanya panjang,” kataku. “Oh iya siapa yang bawa hp,” lanjutku. “Hp ku batrainya habis,” kata Dinar. “Yang lain,” kataku. “Aku ada,” kata Sufi. “Coba kamu telpon Bu Desi,” kataku. “Sebentar aku cek dulu,” kata Sufi. “Iya,” kataku.
“Astaga hp ku mati dong,” kata Sufi. “Terus gimana,” kata Widia. “Kamu bawa powerbank,” kataku “Iya aku bawa,” kata Sufi. “Gimana bisa gak,” kata Widia. “Yess bisa nyala,” kata Sufi. “Di angkat gak,” kataku. “Belum, tapi nyambung kok,” kata Sufi “Di angkat, kalian diem dulu,” lanjut Sufi
“Gimana,” kataku. “Kita disuruh ke BRI kiri jalan yang dekat lampu lalu lintas,” kata Sufi. “Sebentar aku laper gaes,” kata Widia. “Ya udah kamu makan bak pia tadi aja,” kataku. “Tunggu Widia dulu aja,” lanjutku. “Iya aku juga laper capek juga,” kata Dinar. “Kita makan sama-sama,” kata Widia.
Setelah kita makan langsung turun dari bus mencari tukang becak yang ada di depan terminal. Kemudian kita menuju alamat yang tadi sudah di beritahukan tadi. Kita melihat dari arah jauh ada Bu Desi dan Bu Da’wa sedang hujan-hujanan di tengah-tengah jalan.
Kita pun melambaikan tangan untuk memberi kode. Aku meminta kepada bapak becak untuk diturunkan di situ. Kita turun bersama dan disambut oleh sebuah pelukan dari guru-guru. Ditengah-tengah jalan kita berpelukan mengabaikan hujan yang begitu deras membasahi bumi. Malam itu sunyi tidak ada kendaraan hanya ada suara hujan dan tangisan.
Cerpen Karangan: Rinda Dwi Septianingsih, SMP 1 PURI Blog / Facebook: Rinda Dwi1909 SMPN 1 PURI