Seseorang berkaki-lima, berseri-seri wajahnya yang sudah mulai renta karena telah hidup cukup lama. Ada sekitar lima sampai enam mahasiswa di sekelilingnya, semerawut menunggu giliran pesanannya dapat segera dibawa. Cekatan, peka terhadap stimulan, satu-persatu jajakannya mulai dihabisi pelanggan. Saat itu, aku adalah satu dari mereka yang belajar antri menunggu.
Kali ini cerita pagi hari. Sudah jadwal yang terpatri, setiap pagi–jika jadwal perkuliahan dimulai saat matahari mulai meninggi—tak lupa untuk sekadar ngopi, membelah udara pagi sambil menikmati wifi, dan memerhatikan jalanan yang penuh haha-hihi.
Kehidupan memang layaknya roda, selalu berputar-putar jika dijalani. Ada kalanya hidup kita berada di atas hidup-hidup yang lainnya, pun sebaliknya. Tidak ada yang bertahan lama dalam sebuah kehidupan, semua hanya sebatas titipan Tuhan.
Kemarin sore, aku perhatikan pak tua itu berwajah sumringah, keringatnya pun terlihat begitu ramah. Entah apa yang terjadi pagi ini, wajahnya berubah-bah-bah, keringatnya tumpah tanpa harus bekerja yang wah. Sepertinya, raganya memang diam saja tapi jiwa dan pikirannya tengah berlarian kesana-kemari.
Ternyata dugaanku benar. setelah aku hampiri, ternyata ia menceritakan perihal sesuatu yang sedang ia kejar hanya dalam pikir dan mimpi.
Begini, semua berawal dari keluarga kecilnya. Ia adalah seorang suami dengan satu orang istri, dan dua anak laki-laki. Namanya Sapardi, ia biasa dipanggil dengan sebutan “Babeh” oleh mahasiswa-mahasiswi yang sudah menjadi pelanggan setianya, termasuk aku. Kehidupan keluarganya sangatlah sederhana, ia selalu mengajarkan kepada keluarganya agar senantiasa nerimo segala sesuatu yang sudah Tuhan tetapkan. Lalu apa yang menjadi masalahnya? Ternyata malam hari setelah aku mendapatinya bahagia, ia mengalami kejadian yang sungguh membuatnya diam tanpa kata.
Rudi, anaknya yang pertama ditemukan sedang terbaring lemah di rumah. Setelah ia tanya kenapa, istrinya menceritakan kejadian yang menimpa anak sulungnya itu. Rudi dipukuli temannya, Rudi dituduh mengambil uang teman sesekolahnya ketika ia menjajakan dagangannya ke kelas tetangga, kebetulan kelas tersebut tengah kosong, pemiliknya sedang mengikuti kegiatan olahraga di lapangan sekolah. Rudi mengetuk pintu dan masuk beberapa langkah, lalu kembali karena mendapati kelas tersebut tanpa penghuni. Tanpa disadari, ada mata yang melihat Rudi sempat menginjakan kakinya disana. Dan salah satu penghuni kelas itu kebetulan kehilangan uang yang disimpan di dalam tasnya.
Bel sekolah berdering, remaja-remaja tanggung berhamburan beriring. Rudi pulang dengan senyum menantang, dagangannya benar-benar habis hari ini. Dua ratus meter setelah gerbang, Rudi sampai diantara bangunan tua tanpa manusia yang setiap hari ia lewati sebagai jalan tikus menuju gubuknya. Tanpa ia duga sebelumnya, ada lima manusia berseragam sama menghadangnya. Ia tak mengenal sama sekali kelimanya, meski setiap hari belajar di sekolah yang sama. Rudi tak sempat berlari, pukulan demi pukulan bertaburan menghanam tubuh kumalnya. Seketika itu ia tak sadarkan diri, hanya satu kalimat yang dapat ia dengar dari mulut kelima temannya itu “dasar maling!!!”.
Begitulah ceritanya, ternyata anaknya yang menjadi sebab kegelisahan Babeh pagi ini. Babeh murung merenungi nasib anaknya, ia tak menyangka teman-teman anakanya sendiri tega melakukan perbuatan tercela, menghukumi tanpa haknya, memukuli dengan keji anak sulungnya, menghakimi seenaknya tanpa bukti yang nyata. Karena ia yakin, anaknya tak mungkin melakukan perbuatan hina, mengambil barang yang bukan haknya.
Aku meninggalkan tongkrongannya setelah sedikit aku berbagi cerita tentang kebahagiaan dan nestapa kepadanya. Aku mengatakan kepadanya bahwa hakikat hidup adalah bahagia, semua manusia wajib bahagia, tidak ada sekecil alasanpun untuk sengsara, tidak berbahagia. Tuhan sudah benar-benar adil memberikan nikmatnya, Dia maha tahu kapan dan dimana harus menempatkan karunianya. Mungkin kejadian yang menimpa Rudi adalah teguran kepada kita bahwa benar adanya keadilan Tuhan, Dia maha bijak menciptakan kebahagiaan dari sudut yang biasanya dianggap kesedihan. Tuhan mengabarkan kepadanya bahwa ia telah dikaruniai anak yang benar-benar jumawa dan nerima, Rudi tidak mempermasalahkan teman-temannya, ia memaafkan mereka dengan tersenyum cukup lama sebelum akhirnya ia kehilangan bibir manisnya yang harus dioperasi karena luka yang cukup berbahaya. Ternyata pak tua itu tersenyum mendengar penjelasanku, sebelum aku pergi ia berkata, “esok, kamu akan melihat anak saya gagah dan rapih menduduki bangku kehormatan. Selamat belajar, Cah.” Aku tertegun, “siap laksanakan, Babeh!” timpalku keras.
Hmm, dalam perjalanan aku bergumam, “sebelum anakmu, aku dulu yang akan menduduki kursi itu. Hihi.” Ternyata pak tua itu memimpikan anaknya kelak menjadi rektor kampus ini. Hidup ini ternyata benar-benar sulit diduga, hanya dengan sedikit perhatian, gundah, gelisah, resah, dan teman-temannya seketika berubah indah, bahkan berbuah celotehan yang renyah. Uh, terimaksih, Tuhan.
cirebon, 8 November 17′.
Cerpen Karangan: Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi Blog: swallowbiruyusri.blogspot.co.id Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Program studi Pendidkan Agama Islam tahun 2017