24 Januari 2016 Kulihat, anak gadisku sudah bertumbuh besar. Rambutnya yang dulu sebahu dan hanya bisa kukuncir kuda, kini mendadak panjang dan terurai lurus. Alis mata yang dulu tak tumbuh kini tercetak tebal di sana. Dia sangat cantik, aku bahagia putriku sudah jelita rupanya. Sekarang, aku tengah memasakkan omelete kesukaannya, dia sangat menyukai makanan berbahan dasar telur tersebut. Kuletakkan makanan itu di meja makan dan bergegas menuju kamarnya.
Ternyata, ia masih tidur; meringkuk hangat dalam selimut yang khusus aku jahitkan untuknya setahun yang lalu. Nyatanya, anakku masih menjaganya. Kususur pelan kristal bening yang merembes dari kelopak mataku. Sepertinya waktu cepat sekali berputar, baru kemarin aku menimang tubuh ringkihnya dalam buaian, baru kemarin bibir mungilnya menyepak mungil memanggil kata “Mama” kepadaku, sekarang … aku harus melihatnya tumbuh dewasa.
“Nak, bangun! Hari telah esok, kamu harus sekolah,” ujarku pelan.
Berusaha mungkin tidak mengejutkannya dari bunga mimpi yang masih ia rangkai. Ia manut, terbangun dengan mata merahnya, tangannya mengucek-ucek lalu beranjak bangun sesuai permintaanku. Sesaat, kulihat ia tengah bercermin, gurat kesedihan terlihat jelas di sana.
“Ada apa, Nak, kenapa bersedih?” tanyaku sembari menyentuh pundaknya. “Aku lapar, Ma. Nama pasti masak ‘kan?”
Hampir saja aku dibuat tertawa sekaligus berduka, ternyata ia merindukan masakanku. Aku pun mengikuti langkahnya yang tengah menuruni anak tangga, matanya tertuju pada sebuah meja makan yang di atasnya sudah kupersiapkan masakan itu untuknya. Ia ke sana, hanya sekadar melihat lalu beranjak pergi. Anakku tak mau menyentuh masakanku ….
Hari ini, anakku tengah riang gembira, tangannya menari-nari di atas sebuah kertas kosong, aku tersenyum saat melihat sketsa wajahku yang terpatri di sana. Di bawahnya tertulis kata “Mama” yang sangat indah. Kubelai surainya lembut, kukecup keningnya–membuat ia sedikit risih dan membalikkan tubuh menghadapku. Mata bulatnya menatap langit-langit, hingga wajahnya menatap pongah ke arahku.
“Mama, aku butuh pelukan, aku kesepian …,” ujarnya. Aku pun menuruti perkataannya; memeluk tubuhnya erat. Ia terisak, membuatku tersentak dan buru-buru mengangkat diriku dari tubuhnya.
“Tubuh Mama berat ya, Nak?” Ia tak menjawab pertanyaanku, hanya diam menyusur air matanya lalu memeluk kertas bergambar sketsa wajahku.
Dan semuanya membuatku sadar, jiwa kami dekat namun kami tidak bisa saling menjamah. Karena dunia kami sudah berbeda, dunia manusia dan dunia kedua. Aku hanya terdiam, berusaha menerima kenyataan yang ada tidak akan mengelak dari fakta yang sudah terpaparkan adanya.
Aku; hanyalah sebuah ruh yang sudah terpisah dari raganya. Seorang ibu yang hanya bisa melihat pertumbuhan anaknya dari kejauhan, tanpa bisa menjamah. Putriku … tugas Mama sudah selesai untuk melahirkan sekaligus mendidikmu sedari kecil, kini Mama hanya ingin memanen hasil daripada yang sudah Mama tuai. Namun, sepertinya putriku enggan untuk mengerti, buktinya ia terus meraung–memanggil kata “Mama” berkali-kali.
“Salahku ‘kan Ma, tidak mau menurut. Suka membantah dan selalu buat Mama sakit hati? Harusnya … aku yang meninggal, bukan Mama yang berhati malaikat.”
Kita tidak bisa mengelak dari kematian anakku. Ibarat sebuah pohon yang berdaun lebat … nama kita tercetak pada daun tersebut, maka ketika salah satu daun terlepas dari tangkainya berarti memang waktunya nama pada daun itu yang pergi. Jadi, ini bukan karena suatu kesalahan orang lain, Sayang …
“Mama tidak menyalahkan kamu sewaktu kejadian itu.” Aku tetap berujar meski ia tak mendengar ucapanku.
“Mama sayang Nadh!” seruku. Dan seketika … kenangan lama itu berkelebat, seperti bayangan yang tiba-tiba lewat.
—
24 Januari 2015 Malam itu, putriku Nadh tidak pulang-pulang juga ke rumah, padahal waktu itu malam juga telah larut. Aku khawatir ada apa-apa dengannya di jalan. Aku tak berani menelepon, karena takut mengganggu waktunya yang mungkin saja masih belajar di sana. Baru saja aku ingin beranjak menuju kamar, deringan telepon rumah membuatku terkesiap. Akhirnya, aku mengangkat telepon itu walau sedikit meragu.
“Halo, mamanya Nadh ya?” Dari seberang sambungan dapat kudengar musik yang berdentum dengan hebat. “Siapa?” “Aku temannya Tan, Nadhnya lagi mabuk. Tadi … hampir mengalami pelecehan!” Dan kedua kakiku luruh sudah ke lantai. Dengan lekas mengambil kunci mobil suamiku yang terletak di meja tamu.
Aku menyetir mobil dengan kalapnya, tak kupedulikan suara klakson mobil yang terdengar di belakang. Saking paniknya, ponselku sampai terjatuh dan tepat saat itulah nama Nadh tertera di layar ponsel. Segera kuambil ponsel itu dan tak memedulikan ponsel yang kupegang.
Dan semuanya menggelap, saat kurasakan suatu keras membentur tulang tengkorak kepalaku. Aku hanya bisa merasakan air hangat yang merembes pelan hingga kegelapan menelannya.
24 Januari 2016 “Nadh kangen Mama, Nadh kesepian di sini Ma,” suara paraunya terdengar menusuk ulu hatiku. Di pusaraku berdiri seorang gadis bersurai gelap dengan membawa buket lavender kesukaanku. Ya … itulah Nadh Edelweis Bunga Senja–putri kami. Putri semata wayangku yang kini sudah tumbuh dewasa.
Aku tidak pernah menyalahkannya atas kecelakaan yang pernah menimpaku setahun silam, ini semua murni takdir, tidak bisa digugat lagi karena murni keputusan Tuhan. Justru aku berterima kasih, karena Tuhan beri Nadh kesempatan untuk perbaiki semuanya. Melalui kepergianku, dia berubah. Berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi, dan aku sangat senang untuk ini. Perlahan … rintik hujan mulai basahi pertiwi.
“Mama sayang Nadh,” bisikku.
Suatu keajaiban pun terjadi ia mendongak menatap diriku yang sudah mengepul, bibirnya membentuk lekukan indah dan itu terasa mendamaikan batinku. Walau aku akan merasakan kesepian ini selalu dan putriku juga begitu, tapi aku percaya kelak Tuhan akan mempertemukan kami di nirwananya.
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari