Jika menatap wajah gadis itu, takkan bisa hati seorang adam untuk tidak berdesir dibuatnya. Tak terkecuali Fiqri. Tiap kali menatap wajah lembut gadis itu, perasaan Fikri tak karuan. Hingga tanpa sadar sedari tadi ia terus mencuri-curi pandang untuk dapat berlama-lama memandang wajah seorang gadis bernama Sarah, Wanita paling cantik dan anggun yang pernah diciptakan Tuhan. Sementara ia sendiri makhluk Tuhan paling bejat lagi munafik yang pernah singgah di muka bumi.
Sarah adalah alasan utama Fikri rela berlama-lama membunuh waktu malam minggunya untuk bertafakkur di mesjid. Wanita itu pula yang mampu menyihir cowok manis berlesung pipi itu untuk betah berlama-lama mendengar ceramah agama yang amat membosankan. Sarah tak seperti gadis kebanyakan, ia amat tertutup dan menjaga jarak pada lelaki manapun. Tak terkecuali Fikri. Sarah hanya amat antusias saat mengajari Fikri mengaji, juga menyodorkan buku-buku agama yang tak pernah sekalipun Fikri baca. Sarah dengan senyum tulus merangkul Fikri yang hendak berhijrah. Ia tak menaruh perhatian lebih pada cowok ganteng idola remaja islam Al-Istiqomah itu. Namun berkat kepiawaian Fiqri memikat para gadis, perlahan namun pasti, ia berhasil mengikis pertahanan Sarah. Hingga gadis itu tak lagi bersikap acuh. Seperti saat ini, Di malam yang cerah, mereka berjalan beriringan. Meninggalkan masjid berkubah hijau tua di belakang mereka, menuju ke rumah masing-masing.
Yang selalu membuat Fiqri kesal, ia tak pernah punya kesempatan untuk berduaan dengan Sarah. Selalu saja ada orang ketiga yang mendampingi saat mereka jalan beriringan. Sarah selalu menolak menghampiri lelaki jika tak ada kawan wanita ataupun kakak lelakinya. Sarah juga selalu menolak untuk diajak pergi makan malam dibonceng Honda Z-RV milik Fikri. Padahal diluar sana gadis-gadis cantik rela membayar mahal untuk bisa kencan semalam bersama lelaki bertubuh atletis itu.
Tiap kali bertemu, perbincangan singkat mereka selalu berputar pada kuliah, pengajian, diskusi agama, dan juga pandangan kolot Sarah mengenai hidup dan kehidupan. Seharusnya di mata seorang lelaki seperti Fikri hal-hal seperti itu terdengar amat membosankan. Hidup dikekang aturan, sementara ia terbiasa menjalani hidup sebebas burung. Namun nasihat-nasihat Sarah kerapkali membawa ketentraman dihati Fikri. Sering dalam lamunannya ia mengkhayalkan suatu saat kelak dapat hidup satu atap bersama wanita bermata indah itu. Bangun pagi-pagi buta. Shalat Subuh bersama dengan ia sebagai imamnya, membesarkan anak-anak yang soleh & soleha. Membina kehidupan yang tenteram. Bayangan itu kian jauh manakala ia memandang dirinya yang hina, dan membandingkannya dengan lelaki lain yang lebih pantas untuk Sarah. Sungguh andai dapat memutar waktu ia ingin sekali kembali kemasa tujuh tahun yang lalu. Saat dimana ia dengan cerobohnya memasuki dunia hitam yang menyeretnya pada semua kekacauan ini, yang kini sudah tak dapat lagi ia perbaiki.
Fikri tak lagi perlu merasa harus dikasihani oleh orang lain. Ia juga tak peduli lagi dengan cibiran dan pandangan sinis dari orang lain yang mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Ia tak perlu lagi menceritakan semua kisah hidupnya, juga alasan mengapa ia menjalani profesinya yang sekarang. Pekerjaan yang amat hina bagi sebagian orang. Ia tak perlu mencari pembenaran atas tindakannya selama ini. Biarlah orang lain menilai dirinya sebagaimana ia sekarang. Meski ia merahasiakan rapat-rapat, terutama setelah ia mengenal Sarah, ia selalu takut keadaan menjadi demikian runyam sebelum ia sempat memperbaiki semuanya. Ia tak yakin ibadahnya diterima Tuhan. Namun disetiap doa yang ia lantunkan selepas shalat ia selalu memohon kepada Tuhan agar memudahkan segala urusannya, terutama yang berkaitan dengan rencananya untuk lepas dari jerat kehidupan malam yang tak berkesudahan, juga rencananya untuk segera meminang Sarah.
Kehidupan Fikri tak pernah sama lagi tatakala ia mulai mengenal wanita iblis bernama Sonya. Apabila ada yang ia sesali seumur hidupnya kelak, tak lain adalah keputusan bodohnya untuk membiarkan dirinya terjerat dalam jebakan yang ditebar perempuan sundal itu. Waktu itu, delapan tahun lalu, Fikri masih berusia tujuh belas. Seorang remaja putus sekolah yang harus menghidupi ketiga orang adik serta mengusahakan pengobatan yang layak untuk ibunya yang menederita penyakit kanker rahim. Saat itu, dua tahun sudah sang nahkoda rumah tangga meninggalkan keluaraga kecil mereka tanpa alasan yang jelas. Dimasa itu kehidupan Fikri begitu susah, untuk makan saja mereka mesti berhutang. Tak terhitung cemoohan tetangga yang ia dengar, juga tangis adik-adiknya tiapkali ia menanggalkan seragam sekolahnya untuk bekerja paruh waktu sebagai montir di bengkel milik H. Karman.
Fikri terpaksa putus sekolah demi menjamin masa depan adik-adiknya. Tiap pagi langkahnya tak lagi menuju gedung SMA Negeri 6 tempat dulu ia menimba ilmu. Hatinya getir tiapkali ia melihat kawan-kawannya tertawa sambil menenteng buku-buku tebal, sementara ia bermandikan peluh, dengan wajah coreng-moreng penuh noda oli. Ia tak dapat lagi mengharap masa depan cerah. Tiap malam, setelah adik-adiknya tertidur pulas ia menangis diatas selembar tikar, tak ada lagi yang ia cemaskan dimalam itu selain kesehatan ibunya, juga perasaan kalut apakah adik-adiknya dapat makan esok hari.
Fikri berhenti bekerja di bengkel Pak Haji setelah ia dengar ada lowongan bekerja di toko roti dengan gaji jauh lebih besar dari yang bisa didapat seorang lulusan SMP seperti dirinya. Ia bekerja mengantar logistik untuk toko roti milik wanita kaya yang kelak menjadikannya sebagai ‘Kucing’ peliharaannya sejak pagi buta. Tubuhnya kian layu, namun tak dipungkiri Fikri tumbuh dewasa lebih cepat dari remaja seusianya. Sejak dulu ia memang banyak disukai gadis-gadis karena paras wajahnya yang rupawan. Fikri tak ambil pusing dengan itu semua. Namun majikan barunya, seorang wanita singel berusia tiga puluh dua tahun amat menyukainya. Tiap kali berkunjung ke toko roti, selalu Fikri yang dicari. Wanita itu kerap memperhatikan Fikri lekat-lekat, mulai dari cara lelaki berpostur atletis itu berjalan, caranya tersenyum, caranya berbicara, hingga gestur tubuh Fikri yang setengah membungkuk tiap kali memberi salam. Jelas sekali, wanita yang selalu tampil modis itu jatuh hati pada Fikri. Dalam konotasi yang berbeda.
Tak sampai tiga bulan Sonya memutuskan merekrut Fikri sebagai asisten rumah tangganya. Tugasnya remeh-temeh. Ia Hanya perlu menyiapkan semua kebutuhan Sonya, juga merawat taman serta kebun bunga di halaman rumah Sonya yang tak terlalu luas. Fikri dibayar lebih untuk tugas sepele itu. Sonya sangat memeprhatikan kondisi Fikri dan keluarganya. Fikri amat bersyukur Sonya yang kini ia panggil ‘Tante’, mau membiayai pengobatan ibunya, juga menyekolahkan adik-adiknya di sekolah yang bergengsi, juga menyewakan sebuah rumah untuk keluarga kecil Fikri bernaung. Sebagai gantinya Sonya meminta Fikri untuk menjadi salah satu model di agency milik kawannya. Penghasilannya akan berlipat apabila Fikri mau menekuni dunia keartisan, dari situ ia bisa melunasi semua hutangnya kepada Sonya. Saat itu Fikri ragu, ia tak ada bakat untuk jadi artis. Namun Sonya terus meyakinkannya, bahwa secara fisik Fikri tak kalah tampan dengan artis-artis sinetron yang seliweran di TV.
Fikri tak menaruh curiga pada kebaikan Sonya. Walau bagaimanapun saat itu dirinya masih seorang remaja tujuh belas tahun. Tak ada prasangka apapun saat Sonya menyuruhnya rutin meminum susu juga latihan fisik agar tubuhnya lebih berisi. Fikri didaftarkan di sekolah modelling, dibelikan banyak sekali pakaian, serta dituntut untuk tampil lebih dewasa dari usianya. Cukup enam bulan latihan bagi Fikri yang memang secara postur sudah gagah untuk dapat tampil di peragaan busana yang dihadiri sosialita papan atas. Ia mampu memukau semua mata yang memandangnya. Diatas Catwalk ia nampak sangat mempesona. Ia diajari banyak hal tentang cara bersikap, menata gestur tubuh serta mengatur mimik wajah, tatapan mata, bahkan hingga detail kapan ia mesti tersenyum manis ataupun menatap acuh oleh pembimbingnya, seorang perempuan muda bernama Farah.
Debutnya gilang-gemilang, tak lantas membuat Fikri senang. Ia masih tetap remaja yang baru beranjak delapan belas, ia tak tahu apa-apa tentang apa yang baik maupun yang tidak bagi dirinya. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia akan mendapat banyak uang untuk melunasi hutang-hutangnya juga untuk mengobati ibunya yang tengah terbaring sakit. Ia sama sekali tak mengerti akan arti tatapan tante-tante haus nafsu saat ia menyodorkan tangannya sambil tersenyum saat Sonya memamerkannya pada kawan-kawan sosialitanya. Sonya memperkenalkannya sebagai Steve. Itulah nama yang kelak akan terus disandangnya sebagai ‘kucing’ paling mahal di seantero ibukota.
Dari percakapan yang didengar Fikri selintas lalu, nampak sekali wanita-wanita berkocek tebal itu, terang-tarangan menginginkan Fikri dalam arti yang tak ia pahami. Yang jelas bukanlah seperti tante Sonya yang menginginkan ia jadi kacung di rumahnya. Bukan yang seperti itu. Jelas bukan. Mereka tak hentinya menatap Fikri, dengan tatapan yang membuat Fikri merasa tidak nyaman.
Setelah gala dinner selesai, satu-persatu wanita-wanita itu menuju ruang karaoke, Sonya turut membawa Fikri ke ruangan yang telah disulap serupa diskotek itu. Disana ia melihat apa jadinya dirinya kelak, saat satu-persatu perempuan-perempuan jal*ng itu dilayani tiga orang lelaki yang kesemuanya berwajah tampan dan berbadan kekar yang menari tel*njang sambil memuaskan nafsu binatang Tante-tante maniak s*ks di ruangan itu.
Fikri syok bukan kepalang. Ia tak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya Tante Sonya, dalam keremangan lampu lima watt yang terus mengerjap-ngerjap, wajah itu nampak menguarkan satu ekspresi yang belum pernah dilihat Fikri sebelumnya. Wajah wanita iblis yang tamak dan penuh nafsu. Fikri amat meneysal. Kenapa ia begitu bodoh? Ia tahu dengan siapa Tante Sonya berkawan. Harusnya sejak awal ia curiga. Kenapa Tante Sonya selalu menatap aneh dirinya tiapkali ia basah-basahan saat mencuci mobil? Kenapa ia disuruh latihan fisik supaya tubuhnya berisi seperti binatang-binatang itu? Kenapa Tante Sonya kerapkali memamerkan foto-fotonya di facebook? Sekolah model itu hanya tameng untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Bahwa sejak awal ia telah dipersiapkan untuk menjadi kucing kesayangan Tante Sonya. Membayangkan itu, Fikri bergidik ngeri. Bagaimana pula dengan hutang-hutang yang harus ia lunasi?. Dalam hati ia menjerit, menangis parau, tapi wajahnya tetap ia paksakan tersenyum. Ia berusaha bersikap senormal mungkin. Namun Sonya dapat menangkap apa yang dirisaukan Fikri. Ia tarik lengan pemuda tampan itu dan mengancam akan menagih seluruh hutang-hutangnya, mengusir keluarganya, serta akan membuat hidup Fikri sengsara apabila ia tak menuruti apa yang diperintahkan Sonya.
Fikri hanya menunduk, langkahanya gontai, tapi ia tetap melayani wanita-wanita yang telah membayar mahal dirinya itu dengan perasaan getir yang tak dapat terlukiskan. Sejak itu kehidupan normal seorang remaja lelaki yang mestinya dijalani Fikri dalam keceriaan telah tercerabut sepenuhnya. Kehidupannya memang menjadi semakin makmur setelahnya. Namun ia tak pernah lagi merasa bahagia. Apakah ia tak pernah merasa senang melayani wanita-wanita cantik itu? banyak sekali bukan orang-orang diluar sana yang dengan senang hati menjalani profesi seperti dirinya. Fikri tak dapat menjawab itu. Ia sepenuhnya sadar dengan apa yang ia lakukan saat memuaskan pelanggannya yang kebanyakan tante-tante berkocek tebal itu. Bahkan ia selalu berusaha untuk memberikan servis terbaik kepada pelanggannya. Tapi ia sama sekali tak pernah menikmatinya. Ia bahkan tak peduli dengan bentuk fisik pelanggannya. Yang ia cari hanya uang.
Setelah semalaman bertempur dan terbangun dipagi hari di kamar hotel bintang lima. Yang ia sambar pertama kali adalah pakaiannya dan selembar cek yang biasa diletakkan di saku kemejanya, serta sambil menggerutu menyimpan cek itu untuk membayar hutangnya pada wanita iblis bernama Sonya. Terus seperti itu. Hingga namanya terkenal dikalangan para pencari cinta sebagai kucing paling tampan dan paling gagah di ibukota. Banyak istri-istri pengusaha maupun pejabat yang telah memakai jasanya. Beberapa bahkan pernah menjadikannya kekasih simpanan. Petualangan cintanya terus berlanjut. Ia semakin berpengalaman. Bersamaan dengan itu uang mengalir deras ke koceknya, mengubah gaya hidup serta penampilannya. Kebanyakan dari sahabat masa lalunya yang telah lama tak jumpa berdecak kagum akan penampilannya sekarang. Tapi tak ada yang tahu, bahwa jauh dilubuk hatinya Fikri selalu menyimpan iri pada siapapun yang menjalani hidup dengan cara yang lebih manusiawi. Tak pernah hilang dalam fikirannya untuk dapat berhijrah suatu saat nanti ke kehidupan yang lebih baik.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal