Aku berjalan di sebuah lorong gelap. Tempat yang sangat gelap hingga aku tidak bisa menghitung jari tanganku sendiri. Tiba-tiba terdengar sebuah suara bergema. “Rina, seandainya kau tahu, kau sebenarnya adalah anak dari—”
Suara itu terpotong oleh sebuah rasa panas dan perih di pipiku yang membuatku tersadar. Aku mengalami mimpi yang sama 1 minggu ini.
Aku melihat tempat yang sangat kukenali. Kamarku sendiri. Dan seorang wanita di samping kasur tempatku berbaring saat ini. Ibuku.
Dapat kulihat wajah merahnya yang sangat panas, menandakan ia siap meledak kapanpun, yaitu sekarang. Omelannya langsung membanjiri telingaku, yang isinya hanya tentang keterlambatanku untuk bangun pagi dan membantu membereskan rumah. Ah, lebih tepatnya bukan membantu, tapi mengerjakan. Sejak Ayah meninggal tahun lalu, aku yang harus membereskan rumah sementara ibu hanya pergi ke mall dan memasak saja. Tapi aku yang harus mencuci, menyapu, dan tugas rumah tangga lainnya. Yah, tidak sepenuhnya salah sih, mengingat aku anak sulung ibu, pastilah dapat tugas lebih.
Setelah ibu keluar dan membanting pintu kamarku, aku segera menyingkap selimut dan bangun memulai pagi ini.
Yap, memulai pagi di jam 06.15 sebagai Rina Meilina, anak sulung 4 bersaudara umur 12 tahun kelas 6 SDN Marina 02. (yah, walaupun hari ini libur 2 minggu).
Perlakuan ibu yang sering memarahiku dan membela adik-adikku memang bisa kupahami, adik-adikku memang lebih menurut dan tenang pada ibu daripada aku yang tidak asal menurut dan banyak memberikan opini. Tapi, saat ini tekadku sudah bulat, sebuah rencana yang kususun sejak bulan-bulan lalu. Aku mengintip sedikit keluar, kulihat ibu yang sudah berpakaian rapi mengajak ketiga adikku untuk pergi ke mall. Ibu memang cepat sekali perubahan moodnya kalau pergi ke mall.
Aku menunggu adik-adikku keluar dan ibu mengunci pintu. Setelah yakin rumah kosong, aku segera keluar dan mengambil ranselku yang terbesar. Kemudian mengambil seluruh kebutuhan yang aku butuhkan.
10 botol air mineral, 20 bungkus makanan berbeda, jaket dan alat-alat musim dingin, jas hujan, sepatu boot hujan, seluruh uang tabunganku, botol minuman, barang-barang kesayanganku seperti boneka, buku cerita, dan alat tulis serta buku tulis, seluruh pakaianku, serta seluruh barangku yang penting. Semuanya kumasukkan ke ransel.
Awalnya, aku berniat kabur dari rumah dan mengembara, tapi aku merasa aku belum cukup umur, jadi aku memutuskan kabur dan pergi ke rumah sepupuku di kota yang lebih besar.
Aku memakai sepatu olahraga kesayanganku yang kugunakan untuk sekolah, kemudian menuliskan satu kata di selembar kertas yang kurobek dari buku:
Goodbye.
Kertas itu kulemparkan ke depan pintu depan dan aku masuk ke kamarku. Aku melepaskan keramik paling ujung dan masuk ke bawahnya. Kemudian aku memasang kembali keramik ketempatnya. Jalan keluar rahasia.
Rambutku yang sedikit ikal dan panjang di bawah bahu berwarna secoklat selai kacang berkibar diterpa angin di luar rumah. Aku segera berlari ke jalan besar, memastikan waktu di jam tangan merahku, kemudian menggunakan ponselku untuk menelepon paman supaya mejemputku di jalan besar kotanya karena aku akan kesana.
Aku segera naik angkutan umum untuk pergi ke stasiun kereta. Setelah sampai, aku menggunakan sisa uangku untuk membeli tiket ke kota paman. Aku tahu harganya karena sampai 2 tahun lalu ayahku sering mengajakku liburan ke rumah sepupuku. Ayah selalu mengajariku tentang perjalanan kesana, lagipula hanya ayahku yang sayang dan membelaku dari ibu. Tapi sekarang beliau sudah tiada, meninggalkanku dan seluruh keluarganya.
Keretaku datang, aku segera naik dan duduk di gerbong 4. Di tengah jalan, aku merasa lapar karena tadi belum sempat sarapan, jadi aku mengambil sepotong roti di tasku dan memakannya sampai habis.
Setelah sampai, aku segera berlari ke jalan besar dan menelepon paman bahwa aku sudah ada di stasiun kotanya, lalu paman bilang bahwa dia ada di depan pintu masuk taman kota. Jadi aku langsung berlari ke taman kota yang pernah diajak dan ditunjukkan sepupuku, Mila Reilina. Rambutnya coklat kayu dan lurus sepanjang rambutku, aku sering mengatakan bahwa kita bisa jadi saudara kembar, mengingat aku dan dia sering kompak seide. Apalagi aku dan dia lahirnya hanya beda 10 menit.
Setelah sampai di depan pintu masuk, aku melihat mobil merah paman dan aku segera melambaikan tangan. Aku segera ikut masuk ke mobilnya dan meluncur ke rumah paman. Ditengah jalan, aku bercerita tentang perlakuan ibu yang membuatku kabur dari rumah, jadi aku lari ke rumah paman. Apalagi sepupuku sering mengatakan bahwa dia selalu ingin tinggal serumah denganku. Lalu aku akan sekolah bersama sepupuku dan keluar dari sekolah lamaku. Apalagi aku tidak punya rencana pulang.
Setelah sampai di rumah biru tipis tingkat 2 jalan Sakura no.15, mobil paman segera berhenti di garasi dan aku turun dengan menggendong ransel besarku. Kemudian aku segera naik ke pintu depan dan memencet bel.
TINGTONG! TINGTONG!
Kemudian pintu terbuka dan tampaklah Mila yang memakai pita ungu di sisi kepalanya. Aku segera memeluknya erat-erat, dan Mila segera menyapa, “Rina! Kau akan liburan di sini? owh yeah!” “Bukan hanya liburan, tapi juga tinggal!” “Benarkah? Owh ye—Tunggu! Apa telingaku benar? Kau mau tinggal disini? YEAHH!” “Yup! Aku akan tinggal disini mulai sekarang! Karena aku kabur dari rumah! Yeah!” ya, moto sekaligus kata andalan kami adalah ‘Owh yeah’. Kurasa itulah kata terlarang kami kalau bertemu Ginkaku dan Kinkaku. “Ya! Tidak baik berbincang di depan pintu, jadi cepat taruh tasmu di kamarku dan kita berbincang di ayunan balkon! Kita jadi roommate sekarang!” jawab Mila. Aku segera menganggukkan kepalaku dan naik ke lantai 2 tempat kamar Mila.
Aku melihat kamar Mila. Kasur double warna biru hangat, dengan 2 bantal putih besar dan selimut hijau toska muda yang tebal dan tentunya sangat hangat. Keset cokelat emas di depan pintu masuk, serta lemari baju sekaligus buku yang besar dan terakhir meja belajar double di samping kasur. Aku segera menaruh tasku di samping lemari dan membuang bungkus rotiku ke tempat sampah di samping pintu. Baru kemudian aku berlari ke balkon dan duduk di kursi ayunan double yang ada sandaran dan pegangannya.
3 hari di rumah sepupuku, aku merasa seperti dianggap anak sendiri bagi paman Hendra dan Tante Anita. Mila pun sangat senang seolah saudara kandung denganku. Di rumah ibuku aku tidak pernah merasa seperti ini. Disini, aku tidak dibeda-bedakan dengan Mila. Mila pun menghargaiku dan memberikan ‘tempat’ disini. Mila mengatakan jadi anak tunggal itu tidak enak karena tidak punya teman main, jadinya semua barang di kamarnya selalu double sehingga Mila merasa mempunyai teman sekamar.
Siang ini, setelah makan siang sup ayam, aku dan Mila main PS di ruang TV di samping kamar. Tiba-tiba Tante naik kemari dan mendekatiku sambil berkata “Rina, ada surat untukmu.”
Aku segera mem-pause gamenya dan menoleh, menerima selembar amplop yang tertulis untukku. Aku melihat pengirimnya. Ibuku! Aku segera membuka amplop dan membuka kertasnya. Bersiap menerima omelannya walau dalam kertas. Ternyata, isinya jauh berbeda dengan bayanganku:
‘Rina, aku tahu kau kabur dari rumah. Aku sudah memperkirakan kau akan pergi ke rumah Mila. Sekarang kurasa sudah saatnya kau tahu, tanyakan ini pada Anita.’
Aku segera menunjukkan surat itu pada Tante, dan tante berkata, “Rina, apakah kau pernah melihat KK atau Akta Kelahiranmu?” “Belum, Ibu selalu mengancamku jika aku melihatnya.”
Tante segera pergi mengambil sesuatu. Kemudian membawa 2 buah dokumen. KK dan Akta kelahiranku! Aku segera melihat isinya yang membuatku terkejut.
Dalam KK, tertulis bahwa aku anak kedua dari Paman, yang merupakan adik kembar dari Mila. Dalam akta juga tertulis bahwa aku, Rina Meilina, merupakan anak kedua dari paman Hendra dan tante Anita! Aku segera meneliti dokumen-dokumen itu, seraya berkata “Berarti aku dan Mila memang saudara kembar? Berarti aku bukan anak dari ibuku? Jadi… jadi…” Tante mengangguk lembut dan menjawab “Ya, sebenarnya kau adalah anak kami dan bukan anak dari Lilla.” Paman naik dan ikut bergabung.
“Lalu… lalu kenapa aku diasuh oleh ibuku? Bagaimana bisa aku dan Mila dikenalkan sebagai saudara sepupu? Bagaimana bisa?” Tante segera menceritakannya. Konon, saat kami baru berumur 3 tahun, keluarga Tante mengalami kekurangan dana. Dana yang dimiliki tidak cukup untuk merawat kedua anak kembarnya, sehingga ayahku menawarkan bantuan untuk merawatku. Ibuku tidak menyetujuinya, karena sudah memiliki 2 anak dan sedang menghamili satu anak lagi. Tapi ayahku mengatakan bahwa dia harus menolong orang yang kesusahan, terlebih karena tante pernah menolongnya saat kekurangan dana dulu. Jadi ayah membawaku ke rumahnya, dan merawatku sampai sekarang. Sementara ibu, yang sejak awal tidak menerimaku, tidak pernah menganggapku dan kurang merawatku.
Aku tertunduk. Jadi, kelanjutan dari mimpiku ini, toh? Aku berbisik lirih. “Pantas saja ayah selalu membelaku, sementara ibu tidak. Rupanya ini alasannya.”
Semua orang memandangku, sejurus kemudian aku mengangkat kepalaku dan menjerit keras, “KALAU BEGITU, AKU AKAN TINGGAL DISINI TERUS SAMPAI SELAMANYA, KAN!? AKU AKAN SANGAT BAHAGIA DISINI! JADI ITULAH ALASANNYA?!” Melihat semua orang terkejut, aku segera menutup mulutku dan berkata “Ups, Maaf.” Semua langsung tertawa.
Setelah waktu masuk sekolah, aku memperkenalkan diri sebagai saudara kembar Mila yang selalu terpisah, tapi kini kami bisa bersama.
Cerpen Karangan: Hikari