“Nulis lagi kamu Iz?” “Ngak Ma, aku nggak nulis” “Jangan bohong kamu! Itu apa buku sama pulpen” Bu Anisa merampas paksa buku tulis dan pulpen Faiz.
“Harus berapa kali Mama ngelarang kamu nulis? Kamu sumbat apa telingamu itu Iz? Kamu gak mau nurut sama Mama? Mau jadi apa kamu? Mau jadi penulis? Mau minggat lenyap macam Ayah kamu itu?”
Sekelebat kenangan masa lalu melintas di atas kepala Faiz. Kini ia sedang melamun sembari memandangi Sungai Nil dari dalam kamar salah satu Hotel Bintang Lima di dekat Lembah Sungai Nil.
Mamanya tidak pernah menyetujuinya untuk menjadi Penulis. Kerap kali Faiz didamprat Mamanya perkara ketahuan sedang menulis seutas puisi atau sekedar mencatat catatan harian.
Keluarga mereka mempunyai kenangan pilu perihal seorang Penulis. Ayah Faiz adalah seorang Cerpenis salah satu Koran Nasional. Dengan upah honor dari hasil menulis itu Pak Har bisa mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Beliau menghilang secara misterius ketika Negara ini lagi porak poranda.
Ketika kericuhan merambat hampir di seluruh pelosok Negeri ini, krisis moneter sedang melanda. Pemerintahan yang modal-madil. Ketika para Mahasiswa mengamuk dan meluapkan amarahnya. Mungkin semua tahu, tahun itu adalah Era Reformasi. Cerpen-cerpen yang digubah Pak Har sering kali memancing amarah Rezim Pemerintahan. Pesan moral juga kritik-kritik tajam sering kali tersirat dalam setiap cerpennya yang diseotrkan kepada Koran-koran Lokal Nasional itu.
Mamanya berkali-kali memperingatkan Ayahnya untuk tidak lagi menyindir pemerintah. Ajudan-ajudan pemerintah juga beberapa kali langsung datang ke rumah guna menegur dan menggertak Pak Har secara langsung. Bahkan terkesan mengancam. Namun Pak Har tak menggubris ancaman mereka. Beliau berteguh pendirian. Rezim harus dijatuhkan. Negeri ini akan semakin kacau balau jikalau Pemerintah Rezim terus dipertahankan.
Benar saja, disuatu pagi saat Pak Har hendak pergi mengantarkan naskah cerpen ke sebuah Kantor Redaksi Koran Nasional. Sekelompok orang menculiknya di sebuah gang sepi Ibu Kota. Semenjak pagi itu, Pak Har tidak pernah lagi pulang ke rumah.
Naifnya bakat itu menurun pada Faiz. Faiz gemar kali menulis. Nilai Bahasa Indonesianya selalu sempurna dibanding nilai pelajaran lainnya. Hal itu disadari oleh Mamanya. Sering Kali Bu Anisa naik pitam ketika mendapati Faiz sedang menulis. Bu Anisa melarang Faiz untuk menulis. Ia tidak mau anak satu-satunya bernasib sama dengan Suaminya dahulu. Namun Faiz mempunyai tekad yang kuat. Ia tidak mau mengkhianati bakat dan keahlian yang telah diturunkan dari Ayahnya.
Ia selalu menulis. Tentu tanpa sepengetahuan Mamanya. Entah berapa kali Faiz diam-diam membeli sebuah buku catatan. Kemudian sampai rumah didapati oleh Mamanya, lantas buku catatan itu dibuang di sungai belakang rumah mereka. Tulisan-tulisan tangan Faiz kecil hanyut terbawa arus sungai untuk kemudian berlabuh entah ke mana.
Pernah suatu malam Bu Anisa menangis tersedu-sedu. Malam itu Faiz tertidur lesu di kamarnya dengan mata bengap usai menangis. Tengah malan, Bu Anisa memasuki kamarnya. Mengelus-elus rambut anak kesayangannya itu. Tanpa sengaja ia menemukan secarik kertas dan pulpen di bawah bantal Faiz. Serentak memori perihal Suaminya melintas. Bu Anisa meremas kertas itu kemudian ia melangkah ke jendela kamar Faiz yang langsung menghadap ke sungai belakang rumah mereka.
Hati kecil Bu Anisa merasa iba. Ia membuka kertas yang telah diremasnya itu. Bu Anisa gusar, apa yang selama ini sering Faiz tuliskan dalam buku-buku catatan yang kerap kali ia hempaskan ke aliram sungai belakang rumah mereka yang deras. Bu Anisa membacanya.
“Permohonan Maaf
Maaf Yah, bukannya aku melawan Mama. Bukannya aku tidak menuruti apa yang Mama katakan. Bukan juga aku ingin membuat Mama marah. Aku sama sekali tidak pernah bermaksud sedemikian rupa. Aku sangat menyayangi Mama. Terlebih Mama rela bekerja keras guna memberi Faiz makan juga membiayai Faiz sekolah. Namun aku tidak ingin mengkhianati Ayah. Aku tidak ingin menyia-nyiakan apa yang Ayah wariskan kepada Faiz. Perihal bakat dan keahlian ini. Faiz tidak mau menguburnya dalam-dalam. Membunuhnya secara paksa. Aku tau semua ini adalah titipan Ayah yang tentu Ayah ingin Faiz untuk menekuninya. Faiz sayang Mama, Faiz juga sayang Ayah.”
Dada Ibu Anisa serasa ditikam dengan pisau tajam yang runcing. Tulisan itu mampu membuat jantungnya berdetak lambat. Satu bulir air merekah kemudian mengelayut dan membentuk parit di pipi Ibu Anisa. Ia menangis tersedu sedan. Sesenggukan sejadi-jadinya.
Bu Anisa mengurungkan niatnya untuk membuang kertas itu. Ia mengembalikan kertas itu ditempat semula dengan begitu hati-hati. Bu Anisa tidak ingin Faiz terbangun kemudian mendapatinya sedang menangis.
Kejadian itu terjadi 20 tahun yang lalu. Ketika Faiz masih duduk dibangku SD. Kini Faiz telah menjadi seorang Penulis Terkenal dengan segenap karya best seller yang diterjemahkan kedalam banyak bahasa asing. Faiz juga mempunyai Penerbitan yang cukup besar.
Kini pun ia sedang berada di Negeri Kananah lantaran mendatangi undangan guna mengisi seminar terkait bukunya yang laris manis di Negeri Raja Fir’aun itu. Bukan hanya Mesir saja, dengan warisan yang ditinggalkan Ayahnya dulu. Faiz bisa mengelilingi dunia. Ibu Anisa pun kini menghabiskan masa tuanya di kampung halaman dengan menantu juga cucu-cucunya yang lucu dan pintar.
Faiz meneguk segelas kopi seraya memandangi aliran Sungai Nil yang tenang. Ia mengingat aliran sungai deras di belakang rumahnya dulu. Ia berguman, warisan ini akan terus diturunkan disetiap garis keturunan Ayah”.
Banyuwangi, 28 Februari 2021
Cerpen Karangan: Najib Fachruddin Thoha Blog / Facebook: Najib Fachruddin Thoha
Najib Fachruddin Thoha, menulis artikel, puisi, dan cerpen. Anggota komunitas Prosatu7uh, Klub Baca Sanggar Caraka, Kontributor di Platform Kompasiana, Alumni Sekolah Menulis Indonesia.