Cakrawala kian menjingga, tanda sang surya bersiap turun. Burung-burung berkicau layaknya nyanyian selamat tinggal pada mentari. Sementara di permukaan, adalah halaman penuh dengan rerumputan membentang luas. Sisi kecil duduk di sana seorang diri. Memandang penuh kekaguman corak rupawan yang terbentuk di langit. Dihati kecilnya rasa was-was senantiasa menemani. Mewanti-wanti suara saling balas membalas teriakan dari dalam rumahnya yang tak pernah usai. Sisi kecil makin kecut hati.
Sisi yang malang, Sisi yang jentaka. 3 tahun berjiwa di bumi, Sisi tumbuh dengan keadaan rumah tangga kedua orangtuanya yang kurang sehat. Ia harus rela hari-harinya diisi dengan perselisihan papa dan mamanya yang makin hari makin menjadi. Terkadang ia bingung. Apa yang membuat mama dan papanya bertikai. Makin bingung mengapa papanya dikala naik pitam selalu membanting perabotan rumah.
Sisi sering kali ikut sedih melihat mamanya dikala malam akan menangis dalam diam saat mengira Sisi telah tidur. ‘Kenapa dengan mama dan papa?’ isi hatinya yang takkan pernah terjawab. Sisi tak pernah bertanya pada papa atau mama, karena kecut hati yang melanda.
Purnama terus berganti, seiring dengan Sisi yang terus bertumbuh. Dirinya tak luput dari wajibnya pendidikan, hingga kini Sisi telah duduk di bangku Sekolah Dasar, tepatnya kelas 1. Kini Sisi tengah menunggu jemputan dari orangtuanya. Terus menunggu, dan menunggu. Walau sejam telah berlalu, tinggalah ia seorang diri, Sisi tetap menanti.
“Sisi, kamu mau ibu anterin, pulang?” Seorang guru yang dari tadi mengamati Sisi mulai bertanya. Sisi menggeleng, lalu tersenyum tipis. “Tidak, bu. Saya menunggu orangtua saya saja. Ibu bisa pulang kok, saya tak apa menunggu sendiri.” Sisi menolak halus. Ibu guru nampak tak enak hati, namun tetap berlalu pergi setelah berpamitan pada Sisi.
Tak berlangsung lama penantian Sisi akhirnya terbayar, mobil sedan hitam memasuki halaman sekolah. Sisi nampak girang. Melangkah riang dengan ringan menuju ke arah kendaraan roda empat itu. “Siang-” memasuki mobil, niat hati ingin menyapa kedua orangtua, harus tertahan karena pertikaian lagi. “Kamu gimana, sih?!” papa Sisi nampak kesal. “Sudah, sudah! Jangan menyalahkanku terus! Malu kita dilihat Sisi bertengkar!” mamanya membalas. Maka Sisi memutuskan untuk duduk tenang. Setetes air mengalir di pipi tanpa diminta. Menangis dalam diam. Sisi lelah, Sisi letih dengan semua ini.
Menangis tersedan-sedan di pojok rumah. Menjadi saksi pertengkaran terhebat kedua orangtuanya. Sisi harus kembali merasa pahitnya hidup mengetahui orangtuanaya akan bercerai. Perih terasa di hati, ketika ditanyai “Sisi, kamu pilih. Ikut papa atau ikut mama?!” Sisi makin gundah. Ia tidak menginginkan semua ini. Ia mau mereka bertiga hidup bersama tanpa harus terpisah seperti ini. Maka dengan kepastian hati, Sisi menjawab pasti. “Sisi mau tinggal dengan nenek.” Putus gadis berusia 10 tahun itu. Keputusannya sudah bulat, tak bisa diganggu gugat.
Kini hidupnya bergantung pada cairan-cairan bening di tiang infus. Tubuhnya lemah, tak dapat bergerak barang sedikit. Wajah pucat pasi terlihat lelah. Terkadang bertanya dalah hati, ‘Mengapa harus aku yang mengalami ini?’. Diusianya yang remaja kini, sehari menjelang ulang tahunnya yang ke 15, ia terbaring kaku di ranjang RS. Ada neneknya yang terduduk disamping dirinya, setia menemani. “Sisi yang kuat, ya nak?” wanita renta itu berkata lirih. Sisi tersenyum. “Sisi kuat kok, nek.” suaranya parau. Neneknya bangkit dari duduk, keluar dari ruangan dan langsung memecah tangis yang tak terbendung. Meratapi nasib cucunya yang semenyedihkan ini. Setelah perceraian orangtuanya, ia malah terkena penyakit mematikan. kanker paru-paru stadium akhir. Rasanya Sang Kuasa begitu tak adil. Sebenarnya apa yang direncanakan oleh-Nya?
Mentari berganti, hari terganti. Ini hari paling membahagiakan untuk Sisi. Kedua orangtuanya lengkap berkumpul merayakan ulang tahunnya. Ia diberi hadiah, dipeluk, dicium di pipi, diberi apapun yang ia mau. Senang ia dimanja. Sisi gembira. Hatinya menghangat dengan semua ini. Berharap dalam diam kebahagiaannya berlangsung lama.
“Sisi, mau makan apa, nak?” mamanya bertanya lembut. Sisi membuka mulut, ingin mengeluarkan suara menjawab yang seketika tertahan di tenggorokan. Sakit luar biasa kembali ia rasa. Dahinya meengkerut. Menekan keras dadanya yang terasa sakit. Napasnya tercekat, sesak diarasakan. ‘Jangan.., jangan sakit sekarang.’ ia membatin.
“Dokter! Panggil dokter!” teriakan mamanya. Lalu terdengar derap langkah yang berlari keluar ruangan. “Sayang! Sisi, sabar ya? Dokter datang sebentar lagi.” mamanya mengusap punggung Sisi lembut sembari membawanya ke dalam dekapan hangat. Dalam hati wanita paruh baya ini berharap pada Tuhan dengan air mata berderai. Sisi malah berusaha tersenyum. Biarpun ia pergi, paling tidak ia pergi dengan bahagia.
Semua yang kita lakukan pasti akan ada batasnya. Kita sebagai manusia biasa yang bisa berpasrah pada kehendak Tuhan. Tangisan meraung di sepanjang koridor Rumah Sakit. Tangisan pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya. Nama Sisi disebut-sebut, sungguh terdengar menyayat hati. Dokter hnaya dapat menghela napas.
Mereka tak dapat melawan kali ini. Pertarungan dokter dengan sang pencabut nyawa dimenangkan pencabut nyawa. Semua terdiam dalam larutan kesedihan. Rasa tak rela menggorogoti hati. mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Hanya dapat disesali.
Setidak-tidaknya, Sisi telah bebas dari sakitnya. Ia sudah tenang. Bebannya tak ada lagi. Sisi pergi dengan senyum, senyum dengan kebahagian akhir bersama keluarganya. Inilah akhir kisah Sisi. Sisi yang malang, kini berbahagian di Sana.
Tamat
Cerpen Karangan: Jocelyn Noya