“Sebenarnya dulu apa yang dilakukan Mister Z pada Ibu?” “Mengapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu, Nang?” “Meskipun saat itu usiaku masih kecil, meskipun Ibu selalu menutup mataku dengan selimut, tetapi… Bayang-bayang Mister Z kerap menghantuiku.” “Maksudmu?” “Aku masih mengingat suara langkah kakinya saat masuk ke kamar kita. Aku juga sempat melihat ketika tubuh besarnya menindih Ibu. Dan aku tidak bisa melupakan tangisan ibu sesudah ia pergi.” “Lupakan Nang. Anggap itu tidak pernah terjadi.” “Apakah pria itu memperk*sa Ibu?” “…….”
“Mengapa Ibu membiarkannya?” “Menurutmu, apa yang harus Ibu lakukan saat itu?” “Ibu seharusnya memberitahuku. Bukankah Ibu bilang waktu kecil aku sangat pemberani? Aku bisa memukul kepalanya atau menggigit tangannya supaya ia tidak menyakiti Ibu.” “Semua itu Ibu lakukan demi kamu, Nang. Jika Ibu melawan, Mister Z bisa memecat Ibu. Kalau Ibu tidak ada pekerjaan, bagaimana nasibmu?”
Perkenalkan, namaku Lanang. Umurku dua belas tahun. Hobiku bermain sepeda. Setiap pulang sekolah, aku akan bersepeda keluar kampung kemudian menyusuri perkotaan, hingga malam tiba. Bersepeda bisa membuatku merasa menjadi orang yang paling hebat di seluruh dunia. Bagaimana tidak? Aku mampu mengayuh sepeda secepat kilat hingga nyaris melambungkan tubuhku terbang di udara. Tanganku pun sangat terampil mengendalikan setang sepeda untuk meliuk-liuk melewati mobil dan motor yang berdesakan di jalan raya. Kehebatanku bersepeda tidak lepas dari jasa teman-teman di sekolahku. Karena kayuhan kakiku akan semakin cepat setiap kali melewati mereka.
“Lanang anak haram… Ibunya Lanang perempuan murahan…“ Mereka kerap meneriakkan kata-kata itu padaku. Kata-kata yang sangat menyakitkan. Namun, sejak aku mampu bersepeda dengan cepat, ucapan-ucapan mereka terdengar seperti angin bising yang sedang melewati telingaku. Tak bermakna dan tak penting untuk dicerna. Aku juga dapat dengan lincahnya menghindari sepedaku menabrak mereka yang mencoba menghalangi jalanku. Selain bersepeda dengan lincah dan cepat, aku juga bisa mengayuhkan kakiku tanpa lelah selama berjam-jam. Kalau yang satu ini, berkat jasa ibuku.
“Mengapa Ibu membiarkan pria itu memegang-megang tubuh Ibu saat Ibu menari?” “Itu demi kamu, Nang. Kalau Ibu marah, nanti tidak ada yang mau kasih tip ke Ibu lagi.” Aku merasa sebagai lelaki paling lemah dan bodoh di seluruh dunia. Mengapa Ibu selalu mengorbankan dirinya untukku? Mengapa aku tidak pernah bisa menolong Ibu? Mengapa aku selalu memberatkan Ibu? Mengapa aku begitu tidak berguna?
Setiap kali aku merasa lemah, bodoh dan tak berguna, aku akan mengayuhkan kakiku di pedal sepeda. Aku terus mengayuh, hingga otakku letih untuk mempertanyakan berbagai hal yang tidak pernah kutahu jawabannya. Akan tetapi, hari ini, entah mengapa, setelah mengayuh selama berjam-jam, otakku tetap saja tidak pernah letih bertanya. Meskipun langit sudah semakin gelap dan keringat mengucur deras di tubuhku. Semua pertanyaan itu seperti gema bersahut-sahutan di telingaku. Aku butuh jawaban, tetapi aku tahu tidak akan pernah ada jawaban. Itu membuatku sangat frustrasi.
Di tengah rasa gundah yang merajalela, kuhentikan sepeda di pinggir sungai yang sepi. Aku menangis dan menangis, mengeluarkan seluruh beban di hatiku yang tidak sepenuhnya kupahami. Entah berapa lama aku menangis. Yang jelas langit sudah sangat gelap ketika tangisku reda. Di sini aku sendiri, ditemani cahaya bulan dan bintang.
Bunyi deru aliran sungai yang begitu kencang memancingku untuk memandang ke arah sana. Selama beberapa lama mataku terpaku melihat air yang mengalir begitu derasnya. Mungkinkah arus sungai yang kencang ini bisa membantuku membersihkan pertanyaan-pertanyaan di kepala yang begitu mengganggu? Aku terus mengamati air yang mengalir selama beberapa lama, hingga akhirnya aku memutuskan. Aku harus mencobanya.
Aku berdiri dan berjalan menuju pinggir sungai. Kututup mataku dan bersiap-siap menghempaskan tubuh ke dalam arus yang deras itu. “Hai, apa yang kau lakukan?” Sebuah suara berat menghentikan rencanaku. Aku membuka mata dan melihat ke arah sumber suara itu. Sejenak, kupandangi wajah pria di hadapanku. Tubuhnya tinggi kurus dan terlihat serasi dengan kemeja kotak-kotak gombroh yang dikenakannya. Sorot matanya ramah ditambah senyum yang selalu terkulum di bibir. Yang paling menarik adalah rambutnya yang gondrong diikat dan anting di telinga kirinya.
“Saya sedang menyetir melewati jalan ini dan tidak sengaja melihatmu seperti sedang bersedih. Apa yang terjadi?” tanya pria itu sambil membungkukkan badannya hingga wajahnya tepat di depan wajahku. Aku diam saja, tidak tahu harus menjawab apa. Pria itu tertawa. “Jangan takut, Nak. Aku berniat baik, kok.” Ia mengulurkan tangannya padaku. “Perkenalkan, namaku Yanuar. Teman-teman biasa memanggilku Mister Y. Siapa namamu?” Aku tidak suka mendengar nama itu, karena hanya mengingatkanku pada Mister Z. Namun pria itu sangat ramah. Ia mengajakku mengobrol sambil duduk di pinggir sungai. Ia pun tidak marah ketika aku tidak menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Setelah beberapa lama, akhirnya aku luluh juga. Pria itu sangat baik dan membuatku merasa nyaman. Mulutku mulai terbuka dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku ceritakan semua yang ia tanya, termasuk semua keresahanku. Setelah bercerita, aku merasa beban di tubuhku menjadi jauh lebih ringan dan itu sangat menyenangkan.
“Lanang, apakah kau mau membantu Ibumu?” tanyanya sambil mengelus lembut kepalaku. Aku mengangguk cepat. “Aku punya pekerjaan untukmu. Pekerjaannya sangat mudah, tapi kau bisa mendapakan uang banyak.” Aku menatap Mister Y dengan mata berbinar-binar. Ucapannya seperti memberikan secercah cahaya di kegelapan malam ini. “Apakah itu?” tanyaku penasaran. Ia membisikkan sesuatu di telingaku. Sesuatu yang luar biasa dan membuatku sontak bersorak mendengarnya. Aku benar-benar tidak sabar untuk menjalankan pekerjaan itu.
“Kalau Ibumu atau siapa pun bertanya tentang pekerjaanmu, katakan kalau kau menjadi seorang pengantar piza,” ucapnya. Aku mengangguk dengan bersemangat. Kami pun berjabatan tangan untuk kesepakatan malam ini.
Keesokan harinya dan besoknya lagi hingga hari-hari seterusnya, bersepeda tidak hanya membuatku merasa menjadi orang yang paling hebat. Kelincahanku bersepeda membuatku menjadi orang yang sangat berharga. Ya, hanya dengan bersepeda sambil mengantarkan amplop-amplop kecil pada teman-temannya Mister Y, aku bisa mendapatkan uang yang sangat besar. Rata-rata perhari paling sedikit aku mendapat 50 ribu rupiah. Pernah juga sekali waktu aku mendapat tip hingga 200 ribu rupiah.
Aku hanya mengambil sedikit dari uang-uang itu untuk jajan sehari-hari. Sisanya kuberikan pada Ibu. Sebagaimana yang diajarkan Mister Y, aku mengatakan pada Ibu kalau setiap pulang sekolah aku bekerja sebagai pengantar piza. Aku juga meminta Ibu untuk berhenti menari keliling kampung. Aku ingin Ibu mencari pekerjaan lain sehingga tidak perlu berhadapan dengan para pria berhidung belang lagi. Akan tetapi Ibu tidak pernah mengindahkan permintaanku. Ia malah berulang kali bertanya dengan curiga dari mana aku mendapat uang ini. Ia tidak percaya begitu saja dengan ucapanku.
Hingga suatu hari tiba. Saat itu aku sedang memberikan amplop pada salah seorang teman Mister Y, tiba-tiba ada beberapa orang yang mengaku sebagai polisi, datang menangkap kami. Dengan tangan diborgol, kami pun dibawa menuju kantor polisi. Aku sangat ketakutan dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa salahku?
Aku duduk di sebuah ruangan bersama dua orang polisi pria. Mereka menjelaskan kalau amplop-ampop yang kukirimkan selama ini adalah narkoba dan Mister Y adalah gembong narkoba yang mereka cari selama ini. Aku benar-benar tidak bisa mempercayainya. Bagaimana mungkin pria yang sangat ramah dan baik hati seperti itu, ternyata penjahat yang menjadi buronan polisi?
Polisi menanyaiku mengenai Mister Y, bagaimana aku bisa berkenalan dengannya dan kepada siapa saja aku mengantarkan amplop-amplop dari Mister Y. Di tengah ketakutan yang luar biasa, aku mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur.
Beberapa jam kemudian, terdengar suara pintu di ruangan kantor polisi terbuka. Raut wajah Ibu muncul dari balik pintu. Matanya berkaca-kaca saat melihatku dan ia tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. “Putra Ibu kami tahan. Dia termasuk kaki tangan pelaku dan salah satu saksi utama di kasus ini,” ujar salah seorang polisi. Ibu tidak dapat menahan tangisnya. Ia langsung berlari memelukku. “Mengapa kau lakukan ini, Nang? Mengapa kau sampai hati membuat Ibu sedih?” Dadaku terasa sesak. Setengah mati kutahan air mataku. Tangisan Ibu terdengar begitu keras di telingaku, dan aku tetap diam.
Aku melakukan semua ini demi Ibu. Aku tidak mau Ibu terus menerus berkorban untukku. Namun Ibu tidak akan pernah mendengar isi hatiku. Ia terus menangis dan Ibu akan selalu berpikir bahwa beliaulah yang selalu berkorban untukku. Namaku Lanang. Aku adalah lelaki tak berguna yang selalu memberatkan Ibuku dan bahkan membuatnya selalu berkorban untukku.
Cerpen Karangan: Reny Rivai Facebook: facebook.com/isturini