Aku mengisap rokok sembari duduk santai di kursi dekat pohon besar di sebuah taman. Kepulan-kepulan asapnya menari-nari di depan mataku. Cukup menghibur untuk melawan dinginnya malam yang merasuk hingga ke tulangku.
Kubenahi jaket jeans berwarna biru gelap di tubuhku. Rasa banggaku masih belum hilang saat mengenakannya. Ini merupakan salah satu prestasi terbaikku. Bayangkan, aku memakai jaket merk terkenal seharga hampir satu juta. Itu kuambil dari tas belanjaan seorang pria muda yang dengan ceroboh meletakkannya di kereta dorong belanjaan, sementara ia mengamati barang-barang elektronika. Hebatnya aku. Di sebuah mall besar dengan penjagaan ketat, aku mampu mengambilnya tanpa ketahuan. Tidak hanya itu, kupastikan wajahku di layar CCTV pun tidak akan terlihat jelas karena tertutup topi dan kaca mata hitam yang kukenakan. Luar biasa, bukan?
Usai tiga puntung rokok kuhabiskan, aku pun berdiri lalu berjalan pelan. Saatnya bekerja. Kususuri jalan setapak di taman itu sambil mataku melihat sekeliling dengan tajam. Ada sepasang muda mudi yang sedang berpacaran dengan hot-nya. Sebenarnya sempat terbersit untuk mengganggu keasyikan mereka. Tapi kuurungkan, karena hanya membuang waktu saja. Mereka berasyik masyuk di taman umum sudah tanda-tanda kalau mereka memang tidak mampu menyewa sebuah kamar hotel yang paling murah sekalipun.
Aku terus berjalan dan mengamati, seperti serigala yang sedang mencari mangsa. Langkahku terhenti saat melewati seorang kakek sedang duduk dengan tangan menopang di atas tongkat yang diletakkan di sela-sela kakinya. Matanya tampak sendu sambil memandangi tempat bermain anak yang lengang di malam hari ini. Akan tetapi, yang paling menarik perhatianku adalah jam tangan yang dikenakannya. Kalau itu original, aku tahu harganya sangat fantastis.
“Selamat malam. Boleh saya duduk di sini?” tanyaku ramah. Kakek itu mendongak memandang wajahku. Aku semakin dapat melihat guratan kesedihan di wajahnya. Ia menganggukkan kepala. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung duduk di sebelahnya. Selama beberapa detik mataku sempat melirik ke pergelangan tangan kanannya. Jantungku berdegub kencang, karena jam di tangannya itu memang sangat mirip dengan versi originalnya yang pernah kulihat beberapa waktu yang lalu. Aku semakin bersemangat dan yakin kalau dompet di kantongnya pun pasti cukup tebal.
“Sendiri saja, Kek?” Aku membuka percakapan. Dengan jaket mahal yang kupakai, membuatku lebih percaya diri untuk berbicara dengan orang asing. “Iya…,” jawabnya dengan suara parau. “Dari tadi saya perhatikan Kakek melamun. Apakah ada sesuatu yang membuat Kakek resah?” Kakek itu tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Saya hanya sedang kesepian dan rindu pada cucu yang ada di lain kota. Biasanya kalau dia sedang mengunjungiku, dia akan bermain di taman ini.” “Sama ya, Kek. Saya juga sedang merasa rindu pada ayah saya. Biasanya tiap sore ia berjalan-jalan di taman ini.” “Oh, di mana sekarang ayahmu?” “Baru saja meninggal seminggu yang lalu,” jawabku dengan ekspresi sedih. “Saya ikut berduka cita.” Kakek itu menatapku penuh empati, membuatku tidak tega dan sempat ragu untuk melanjutkan. Ayahku tidak meninggal seminggu yang lalu. Atau tepatnya aku juga tidak tahu apakah ayahku sudah meninggal atau belum. Karena sejak kecil aku tidak tahu siapa dia.
“Siapa namamu anak muda?” “Nama saya Lelaki. Panggil saya Laki.” Tentu aku tidak bodoh untuk memberitahu nama asliku, yaitu Lanang. “Wah, namamu bagus sekali. Lucky… Sebuah keberuntungan,” ujarnya sambil terkekeh. “Nama Kakek siapa?” tanyaku sambil pura-pura membetulkan sepatuku. Ujung mataku mengawasi kira-kira di mana ia menyimpan Ponsel dan dompetnya. “Nama saya Rudi Hartono,” ia menjawab sambil memiringkan badannya ke arahku dan mengulurkan tangannya mengajak berjabatan. Gerakannya membuatku terpana. Ibarat sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitu pula saat ini. Sekali berjabatan tangan, aku bisa melihat jam tangan Rolex di tangannya dengan lebih jelas. Tidak hanya itu. Terlihat Ponsel diletakkan di kursi tempat kami duduk dan dompet di kantong bajunya. Yes!
“Bagaimana dengan Ibumu, Nak? Apakah ia masih bersedih karena kepergian ayahmu?” “Ibu saya sudah lama bercerai dari ayah dan sekarang tinggal di luar negeri dengan suami barunya.” Ibu tinggal di kota lain dan menjadi simpanan seorang pejabat kaya raya. Mau tahu alasannya? Ia ingin memperbaiki ekonomi keluarga kami. Itu semua dilakukan demi aku, putra tunggalnya tercinta. “Oh, kapan terakhir kau bertemu Ibumu?” “Lima tahun yang lalu.” Ya, kali ini aku jujur. Terakhir kami bertemu menjelang pernikahan Ibu dengan pria itu. Aku marah dan kecewa. Mengapa Ibu harus melakukan itu? Mengapa selalu aku yang dijadikan alasan? Dulu, demi aku, Ibu tidak melawan saat diperk*sa. Ibu juga rela tubuhnya dipegang-pegang oleh pria hidung belang saat menari, dan itu demi aku. Betapa buruknya aku sebagai anak lelaki. Aku memutuskan pergi dari rumah. Aku tidak mau Ibu harus berkorban lebih banyak lagi karenaku.
“Sudah lama sekali ya. Apa kau tidak rindu padanya?” Pertanyaannya kali ini membuat konsentrasiku terganggu. Aku tidak terlalu suka pertanyaan ini. Tapi aku harus membuatnya nyaman mengobrol hingga ia tidak menyadari apa yang akan kulakukan padanya. “Ya, setiap malam aku selalu merindukannya. Tetapi…” “Tetapi apa?” “Aku tidak mau menjadi beban Ibu lagi.” Hatiku terasa sakit. Luka yang lama tersimpan terkuak kembali.
Kakek Rudi menatapku lembut. Aku merasa tubuhku bergetar. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin menangis, tetapi kutahan. Perutku lapar dan aku harus profesional bekerja demi sesuap nasi.
Pria itu mengalihkan pembicaraan. Ia bertanya tentang kesibukanku, hobiku dan ia juga menceritakan tentang dirinya. Meskipun asik bercakap-cakap, itu tidak membuatku lengah. Ketika ada kesempatan, dengan cepat kuambil Ponsel yang diletakkan di kursi. Kakek itu tidak menyadari dan terus mengobrol denganku.
Setelah beberapa lama, aku mengajak Kakek mengitari taman. Ia pun setuju. Aku membantunya berdiri. Boleh percaya, boleh tidak. Tanganku dengan cepat mengambil dompet di saku bajunya tanpa ia sadari. Setelah selama dua tahun berguru pada pakarnya dan lima tahun berkecimpung di dunia per-pickpocket-an, keahlianku tidak usah diragukan lagi.
“Waktu kau kecil dulu, apakah ayahmu sering mengajakmu bermain di taman ini?” tanya pria itu. Aku mengangguk cepat. “Ya, Ayah mengawasiku bermain bersama teman-temanku. Kenangan yang sangat indah.” Tidak ada satu pun yang mau bermain denganku. Anak-anak itu lebih senang mengejekku.
Kami berjalan pelan sambil terus mengobrol. Sebenarnya aku sudah mau pamit. Kupikir sudah cukup yang ada di tanganku saat ini. Namun Rolex di tangan Kakek itu sangat menggoda. Tentu saja untuk mengambilnya tidak bisa pakai cara biasa.
Aku mengarahkan Kakek ke sudut taman yang sangat sepi. Kusiapkan pisau lipat yang ada di kantong. Sebenarnya aku tidak tega. Pria itu sangat baik dan ramah. Pembicaraan kami malam itu juga membuatku terkesan. Tetapi aku tidak mungkin melewatkan kesempatan emas ini. Jarang sekali mendapatkan korban yang sudah tua renta dan memiliki barang mahal. Sekali mendapatkan jam tangan itu, maka aku bisa pensiun dini. Aku sudah lelah dengan pekerjaan ini. Aku ingin hidup normal.
Mendekati sudut taman, langkah kuperlambat dan kubiarkan Kakek berjalan di depanku. Setelah itu aku bergerak maju dan melingkarkan lenganku di lehernya sambil mengancamnya dengan pisau. “Serahkan jam tangan itu,” bisikku. Kakek itu tampak ketakutan. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia mencopot jam di tangannya dengan gemetar. Ketika aku hendak mengambilnya, tiba-tiba aku merasa ada pukulan keras di perutku. Tidak itu saja, tanganku diputar dan tiba-tiba pisau itu sudah berbalik arah ada di leherku. Kakiku ditendang sehingga memaksaku berlutut. Setelah itu aku melihat beberapa orang berpakaian polisi datang dan memborgolku. Semua berlangsung begitu cepat.
Aku tertegun menatap Kakek Rudi yang tersenyum lebar di depanku. Ia melepas kumis dan rambut palsu yang dipakainya. Pria tua renta itu telah menjelma menjadi seorang lelaki dewasa berusia sekitar 40-an.
“Kami mendapat laporan kalau ada copet yang sering berkeliaran di taman ini, Dan saya mendapat tugas untuk menangkapnya,” katanya sambil tersenyum. Ia menepuk bahuku. “Mas Laki, kau sebenarnya orang yang baik. Kau hanya sedang marah dan kecewa pada Ibumu.” Aku tertegun melihatnya. Bagaimana ia tahu kalau aku marah dan kecewa pada Ibu?
Dua polisi kemudian menarikku masuk ke dalam mobil polisi. Kakek palsu itu mengikuti di belakang kami. Saat aku sudah duduk di dalam mobil, ia membungkukkan badannya di dekat jendela mobil dan menatapku dengan bersahabat. “Maafkan dirimu sendiri dan maafkan Ibumu. Masa depanmu masih panjang, Nak. Masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Aku percaya kau bisa.” Sekali lagi, pria itu mampu membuat tubuhku bergetar dan aku harus berusaha keras menahan air mata yang hendak turun. Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau bisa mengetahui luka di hatiku? Apakah Rudi Hartono memang namamu atau jangan-jangan itu hanya nama samaran?
“Kau tidak perlu tahu namaku yang sebenarnya. Teman-teman biasa memanggilku Mister X.” Aku menatap pria itu dengan nanar. Mengapa ia selalu dapat membaca isi hatiku?
“Aku juga tahu nama aslimu bukan Laki. Tapi aku senang memanggilmu Laki. Aku berharap suatu hari kau benar-benar menjadi orang yang Lucky. Sampai jumpa lagi.” Kakek itu alias Rudi Hartono alias Mister X, beranjak pergi dan melambaikan tangannya padaku.
Tidak lama kemudian, mobil polisi pun melaju pergi. Membawaku dengan segenap rasa yang bercampur aduk. Semua ucapan Mister X menggema di telingaku. Sejak aku meninggalkan rumah lima tahun yang lalu, hari ini adalah hari pertama aku ingin menangis dan bersimpuh di kaki Ibuku. Aku menyesali semua perbuatanku. Aku rindu Ibu. Pria misterius itu, Mister X, dia yang membuatku begini.
Cerpen Karangan: Reny Rivai Facebook: facebook.com/isturini